“Manusia adalah spesies paling gila. Mereka menyembah Tuhan yang tidak kelihatan dan menghancurkan alam yang terlihat. Tanpa disadari alam yang mereka hancurkan adalah ciptaan Tuhan yang mereka sembah” (Hubert Reeves)
Epidemiolog (ahli wabah) berkebangsaan Indonesia di Griffith University, Australia, Dicky Budiman, memperkirakan pandemi Covid-19 baru akan teratasi secara global paling cepat pada pertengahan 2021. Hingga kini, virus corona baru SARS-Cov-2 telah menginfeksi lebih dari 13 juta warga bumi dan mengambil nyawa penderitanya hingga mendekati angka 700 ribu. Kenapa mesti sekian lama? Kenapa teori yang menyebutkan ini adalah suatu infeksi self-limiting disease (penyakit yang sembuh sendiri) kok tak nyata adanya? Penyakit infeksi virus yang harusnya pulih dalam dua minggu, kini meminta tempo hingga satu setengah tahun menebarkan teror. Ada sejumlah rahasia yang mungkin tak kita pahami dan membuat kita seakan gagu saat berhadapan dengan wabah ini.
Pertama-tama, pada akhirnya kita mungkin akan sepakat dengan Bill Gates, pendiri perusahaan raksasa Microsoft itu, kita memang tak pernah siap menghadapai wabah. Meski gara-gara pernyataannya ini lalu Gates dituduh berada di belakang konspirasi pandemi Covid-19 ini, faktanya kita memang tak pernah secara serius menyiapkan diri menghadapi wabah. Semua negara, lebih memilih menguatkan armada perang mereka untuk melawan bangsa lain, entah berambisi untuk menginvasi atau sebaliknya hanya demi mempertahankan diri dari agresi bangsa lain.
Hingga kini belum pernah kita dengar sebuah negara secara serius mengembangkan skema yang efektif dan antisipatif, kalau-kalau suatu saat bumi kita diinvasi oleh gerombolan virus. Wabah, bukanlah peristiwa langka. Mari kita ingat bersama-sama, sejumlah wabah fenomenal dalam catatan sejarah manusia. Wabah pes (The Black Death) di abad ke-11 telah merenggutkan tak kurang dari 200 juta manusia, lalu wabah Flu Spanyol yang telah membantai sepertiga penduduk Eropa pada awal abad ke-20. Di era modern ini pun kita telah dikejutkan oleh wabah Ebola yang sedemikian ganas, kemudian wabah SARS dan MERS, yang keduanya disebabkan oleh virus serumpun dengan Covid-19, yaitu virus Corona.
Rahasia lain yang tetap tersembunyi adalah, kita selalu gagal memandang konstruksi utuh suatu wabah. Sebagian besar negara, bahkan negara maju dan makmur sekalipun, terpaku pada studi mendalam menyangkut virus sebagai agent penyebab wabah. Ini, tentu telah membuat mereka menjadi makin ekslusif dan disegani dalam dunia sains. Namun belum cukup intens melihat persoalan secara lebih holistik, entah itu bencana alam maupun wabah, jelas merupakan ekses kerusakan ekosistem yang parah. Kita mengenal apa yang disebut sebagai efek rumah kaca.
Sejak revolusi industri, gas-gas seperti karbon dioksida, methana, dan gas berbahaya lainnya menjadi semakin bertambah di atmosfer sehingga konsentrasinya makin meningkat. Bahkan hingga kini, kita terus melakukan aktifitas buruk yang telah meningkatkan efek rumah kaca seperti penebangan dan pembakaran hutan, penggunaan bahan bakar fosil, pencemaran laut akibat berbagai limbah produksi manusia yang berujung pada pemanasan global. Berbagai negara masih terus berdebat soal kesepakatan emisi karbon, sementara tingkat emisi CO2 saat ini telah mencapai 12 kali lebih besar daripada yang terjadi di tahun 1900. Investasi untuk riset bahan bakar terbarukan dan ramah lingkungan tergerus oleh ambisi menciptakan senjata pemusnah sesama.
Lalu kita dihadapkan pada rahasia umum yang selalu kita abaikan. Sudah sekian banyak pemerhati wabah mengatakan secara gamblang, kunci menyudahi wabah ini, bukanlah vaksin, anti virus atau tim medis dan rumah sakit yang hebat dan canggih. Wabah ini akan lebih cepat diakhiri bila manusia di bumi ini bersatu. Realitanya, alih-alih kompak melawan wabah ini, kita justru terbelah soal berbagai teori yang memicu wabah ini, terutama satu dugaan teori konspirasi yang sungguh tak produktif. Teori ini telah menyerang berbagai pihak, bahkan WHO sebagai otoritas masalah kesehatan di dunia. Wabah yang telah membunuh sekian banyak orang dan memberi kerugian ekonomi lebih dari 7 trilyun dollar US ini, masih ada yang menyangsikan, ini nyata apa tidak? Dampaknya tentu tak main-main, bukan sedikit kemudian masyarakat cenderung untuk mengabaikan protokol kesehatan terkait Covid-19 ini. Bahkan presiden Amerika Serikat, Donald Trump yang dikenal konservatif dan anti sains, yang sejak awal skeptis dengan wabah ini, baru saja pada pekan ini mau memakai masker.
Menjadi pintar saja, tak membuat manusia selamat. Ia harus rendah hati. Ajaran sederhana dalam tradisi masyarakat Bali memberi panduan apa yang dikenal sebagai falsafah Tri Hita Karana. Secara sederhana, ajaran ini dapat dimaksudkan sebagai tiga hubungan baik yakni hubungan baik dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam. Tiada pilihan lain, hanya dengan itu manusia akan selamat. Sebuah dinamika keseimbangan yang holistik dan ramah. Jika tidak, kita takkan pernah dapat hidup damai sentausa di muka bumi ini, atau seperti yang dikatakan Hubert Reeves, bersiap-siaplah menjadi mahluk paling gila! [T]