Sore itu di Kota Minyak – Balikpapan, aku dan kawan gilaku tengah menunggu sebuah kedai makanan sedang bersiap untuk buka. Kami berdua datang 40 menitan lebih cepat dari waktu buka kedai karena tempat satu ini terkenal selalu ramai bukan main. Datang di waktu buka malah memastikan kami hanya ileran karena kehabisan bagian.
Kedai bernama “Warung Sudi Mampir” itu menjual sop kaki dan sate kambing khas Betawi. Ini kedua kalinya kami kemari. Kawan gilaku membawaku ke sini dan menemaniku makan atas nama cinta saja. Sebab, dia kukenal sebagai orang yang sama sekali tidak suka daging kambing. Baginya, bau daging kambing selalu mengundang emosi dan mematikan selera. Sementara aku, aku adalah penggila daging kambing tanpa alasan pasti. Dan kedai satu ini, jujur saja merupakan salah satu yang terbaik dalam hidupku.
Setelah 15 menit mengantre dan 15 menit menunggu makanan siap, semangkuk sop kaki kambing dan sepiring sate kambing muda pun hadir di mejaku. Sembari menikmati sepotong kaki kambing yang direndam kuah susu serta sate kambing yang dilumuri kecap dan potongan bawang merah, tomat, serta cabe rawit; tanpa sadar aku merenung panjang.
Setiap perisa gurih dengan bau khas hewan kaki empat berjenggot itu masuk ke mulutku, dalam benak ternyata tengah berputar sebuah film lama. Film yang di dalamnya ada aku, orang tuaku, dan kedua abangku sedang semangat-semangatnya menyantap sop kaki dan sate kambing. Film yang dulunya merupakan kisah nyata yang sering sekali kami lakukan sebagai hiburan keluarga saat aku masih tinggal di Bali.
Dalam film itu, aku melihat ayah sedang berteriak memanggil pelayan dan menyebutkan pesanannya. Aku pun tersadar, sejak dulu tak sekalipun ayah bertanya kami mau pesan apa. Beliau langsung saja pesan soto kaki dan sate kambing masing-masing satu untuk anggota keluarganya. Kami pun tidak pernah menyesal dengan pesanannya karena memang apa yang beliau pesan, sudah pasti enak.
Film lama ini terus berputar di kepalaku, sampai-sampai aku tidak sadar bahwa aku mungkin mendiamkan kawan gilaku. Tapi, sekali lagi karena alasan cinta, dia tidak keberatan. Apalagi dia memang senang melihatku menikmati makanan dengan lahap. Demi cinta pula dia tidak masalah jika setelah ini bibirnya yang kulumat akan menjadi satu rasa dan aroma dengan sop dan sate kambing ini.
Film yang memutar masa lalu tadi juga membuatku kepikiran soal ayah. Sop dan sate kambing khas Betawi adalah makanan yang paling ayahku suka. Ayahku adalah seorang yang suka sekali mengenalkan apa yang disukainya kepada keluarga. Bahkan beliau sering tak tahu waktu jika ingin mengajak kami memanjakan lidah dan mengenyangkan perut. Tengah malam siap, pagi buta ayo, siang bolong tak masalah, selepas magrib pun jadilah! Tak kira-kira, beliau pun siap menempuh perjalanan lintas kota hanya untuk berburu makanan kesukaannya ini.
Hal yang lebih menarik lagi, “Warung Sudi Mampir” yang ada di Kota Minyak ini memiliki nama yang sama persis dengan kedai langganan kami sekeluarga di Bali. Rasa makanannya pun tidak ada bedanya dengan warung langganan yang terletak di pinggir kandang kuda tersebut. Mungkin itu juga yang membuatku semakin bernostalgia.
Hari itu, aku baru menyadari bahwa sebenarnya aku bukanlah penggila daging kambing. Aku bukan rindu makan sop kaki dan sate kambing yang enak. Apa yang kusukai dan kurindukan dari makan kuliner khas Betawi ini adalah kenangannya.
Hari itu aku juga semakin meyakini. Bahwa makanan dicintai bukan sekadar karena rasa enak, melainkan karena cerita lamanya. [T]