18 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Dari “Metajuk”, Mengenal Lebih Dekat Kultur Agraris Nusa Penida

I Ketut SerawanbyI Ketut Serawan
May 23, 2020
inOpini
Dari “Metajuk”, Mengenal Lebih Dekat Kultur Agraris Nusa Penida

Metajuk di Nusa Penida. Sumber foto: metrobali.com

618
SHARES

Pertanian di Nusa Penida (NP) mengandalkan air hujan seratus persen. Para petani di daerah ini tergolong petani ladang. Musim hujan menjadi momen yang paling membahagiakan bagi para petani untuk melampiaskan hasrat “metajuk” yaitu menanam palawija di ladang-ladang. Namun, waktu metajuk merupakan momen yang tidak dapat ditebak dengan pasti. Perhitungannya sering meleset dari perkiraan sehingga rentan menimbulkan rasa “galau” di kalangan para petani—padahal jauh sebelumnya ladang-ladang mereka sudah diolah dan siap ditanami.

Ketidakakuratan membaca tanda alam sering membuat petani merugi sebelum panen. Ketika hujan turun, mereka beramai-ramai metajuk. Setelah metajuk, eh, ternyata hujan tidak turun-turun lagi. Tanaman palawija yang sudah tumbuh akhirnya mati. Solusinya, mereka hanya menunggu perkembangan cuaca untuk melakukan aktivitas metajuk kedua kalinya bahkan bisa sampai ketiga kalinya.

Sebetulnya, masyarakat NP meyakini bahwa kehadiran musim hujan berada pada garis akhir sasih Kapat atau awal sasih Kelima. Selain itu, masyarakat di kampung saya juga menggunakan tanda-tanda alam seperti kondisi pohonkotuh. Mereka meyakini bahwa jika ranting pohon kotuh bermunculan tunas-tunas daun, pertanda musim hujan (metajuk) akan tiba. Namun, gejala alam ini tidak selalu akurat. Musim hujan bisa saja mundur jauh dari perkiraan. Jika demikian keadaannya, maka masyarakat di kampung saya biasanya menggelar ritual memohon hujan.

Tradisi “Metajuk” di Nusa Penida

Metajuk menjadi sebuah keharusan di NP. Sebab, ketahanan pangan bermula dari sini. Dulu, nasi “kelanan” (nasi jagung) dan nasi “sela” (ketela pohon) merupakan makanan pokok masyarakat NP. Kedua bahan pangan ini juga dapat diolah menjadi jajanan khas NP, misalnya abuk, pulung-pulung, jagung menyanyah, gendar, tape sela, lukis, dan lempog. Karena itu, ketika metajuk, palawija yang tidak boleh absen ditanam yaitu jagung dan ketela pohon. Sisanya, kacang merah, bleleng, sargum, kacang tanah dan lain sebagainya.

Jadi, setiap warga (petani) pasti menanam jagung dan ketela pohon. Selain menjadi makanan pokok dan olahan jajan, pun dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Daun dan batang jagung-ketela bisa dimakan oleh ternak sapi.

Meskipun tradisi metajuk berlangsung sangat lama (mungkin sudah berabad-abad), tetapi saya kurang tahu esensi metajuk. Dari istilahnya, “metajuk” mungkin berkaitan dengan kata /pəñukjuk/ (baca: penyukjuk). Penyukjuk adalah alat yang digunakan untuk melakukan kegiatan metajuk. Bentuknya seperti tombak, tetapi ujungnya dilapisi besi/ baja yang lebih tumpul. Sedangkan, gagangnya terbuat dari kayu, bulat panjang dengan ukuran kurang lebih 1,5 m. Penyukjuk berfungsi untuk melubangi tanah, tempat menaruh atau menanam benih (biji-bijian), misalnya jagung, kacang merah, dan lain-lainnya.

Laksana (1977) mengungkapkan bahwa /penyukjuk/ berasal dari kata dasar /jukjuk/. Mula-mula /jukjuk/ bergabung dengan prefiks nasal, sehingga terbentuklah kata /ñukjuk/. Kemudian, mendapat prefiks {pə-} sehingga menjadi kata /pəñukjuk/.

Saya menduga kata /jukjuk/ sama dengan /jujuk/ yang berarti berdiri. Mungkin istilah metajuk bersumber dari kata dasar /jukjuk/. Kalau memang benar, bisa jadi metajuk bermakna kegiatan menjadikan tanaman berdiri. Ya, kasarnya kegiatan menanam. Apakah semua kegiatan menanam dapat disebut metajuk?

Setahu saya, esensi metajuk bermakna lebih sempit. Metajuk berkaitan dengan aktivas menanam yang menggunakan alat bernama penyukjuk. Penyukjuk berfungsi melubangi tanah (sedalam kurang lebih 5 cm), kemudian dimasukkan benih. Selanjutnya, benih itu ditimbun dengan tanah kembali, menggunakan telapak kaki bagian depan. Aktivitas ini dilakukan sambil berdiri. Mungkin, karena kegiatan menanam sambil berdiri tersebut, maka disebut metajuk.

Kegiatan metajuk melibatkan semua anggota keluarga, mulai dari anak-anak hingga orang tua. Umumnya, laki-laki dewasa membuat deretan lubang-lubang dari penyukjuk. Kemudian, anak-anak, remaja, dan para ibu memasukkan benih (dengan tangan) ke dalam lubang lalu menimbunnya dengan tanah.

Pasca metajuk, ada tradisi ngungkung. Semua hewan ternak seperti babi, sapi dan terutama ayam dikarantina selama kurang lebih 2-3 minggu. Babi dan sapi berpotensi merusak benih yang ditanam, sedangkan ayam (selain) merusak dan sekaligus dapat memakan benih yang tertanam. Sebab, kebanyakan anak babi, anak sapi dan ayam yang dipelihara dilepasliarkan (kecuali babi dan sapi dewasa biasanya diikat di bawah pohon). Ada beberapa babi dikandangkan, termasuk sapi. Jumlahnya tidak banyak. Sementara itu, ayam-ayam ditangkap lalu dibuatkan kandang dadakan. Banyak pula hanya dimasukkan ke dalam keranjang atau diikat pada patok-patok kecil.

Sepanjang ngungkung, para petani mengecek pertumbuhan palawija yang ditanam, sambil membawa benih baru. Mereka melakukan tradisi “mesimpal” yaitu mengecek beberapa benih yang gagal tumbuh. Kemudian, mereka menanami kembali dengan benih yang baru. Kegiatan ini dilakukan ketika palawija berusia 5 hari.

Sepuluh hari pasca metajuk, para petani melakukan aktivitas nyongkrak (membajak). Tujuannya, untuk mengatasi hama rumput liar di antara deretan tanaman palawija. Demi keamanan, kedua mulut sapi penarik jongkrak harus dipasang kronja (sejenis keranjang kecil, agar sapi tidak bisa makan tanaman).

Ketika kegiatan nyongkrak, pembajak diikuti oleh satu orang spesial, biasanya anak-anak. Ia bertugas menyelamatkan tanaman yang tertimpa bongkahan atau gundukan tanah, efek gerakan gigi jongkrak. Jika timbunan tanah dibiarkan menutup tanaman, maka besar kemungkinan tanaman tersebut mati atau cacat permanen.

Kelemahan nyongkrak tersebut ialah di sela-sela satu deretan tanaman tidak tersentuh gigi jongkrak. Karena itu, ada tradisi mulung yaitu membersihkan rumput liar di sela-sela deretan tanaman palawija dengan menggunakan alat sederhana bernama taah dan kekis. Taah berbentuk seperti pahat, tapi ujungnya lebih tumpul. Sedangkan, kekis seperti cangkul tetapi permukaan lebih ramping (memanjang ke samping). Perbedaan lainnya, tangkai kekis lebih panjang bahkan bisa mencapai 2 meter. Tujuannya, agar lebih mudah menjangkau rumput liar yang ada di sela-sela tanaman.

Ketika tanaman berumur 25-30 hari, dilakukan pemupukan tambahan dengan pupuk kimia (setelah dikenal pupuk kimia). Warga di tempat saya menyebutnya dengan istilah ngrabukan.

Kegiatan ngrabukan juga memanfaatkan alat penyukjuk untuk melubangi pinggir (samping) tanaman. Kemudian, pupuk kimia dituangkan di dalam lubang dengan menggunakan sendok makan (tanpa ditimbun lagi). Setelah pemupukan tambahan ini, petani istirahat lama. Mereka menunggu sampai palawija dipanen.

Panen kloter pertama ialah jagung, kacan merah, dan bleleng. Usianya kurang lebih 3 bulan. Hasil panen ini ditaruh dan diawetkan di ponapi (sejenis lumbung), kecuali kacang merah ditaruh dalam sok bodag. Sementara itu, benih-benih (terutama biji jagung) ditaruh dalam belek.

Panen kloter kedua yaitu ketela pohon (ngerih). Namun, panen kedua ini cukup lama, kurang lebih 7 bulan. Karena itu, pasca panen pertama, para petani kembali melakukan bersih-bersih. Sisa pangkal pohon jagung, kacang, dan bleleng dibersihkan. Kemudian, petani nyongkrak dan mulung lagi untuk mendapatkan hasil panen yang optimal. Hasil panen biasanya ditaruh dalam sok bodag atau kampil. Sementara, turusnya (bibit ketela) ditaruh di tempat lembab (basah) seperti di belakang pembuangan air pancoran atau di bawah pohon yang rindang.

Setelah ngerih, ladang-ladang petani praktis mengalami kekosongan kurang lebih 4 bulan. Rentang inilah yang dimanfaatkan oleh para petani untuk menaruh kotoran sapi dan sampah organik/ unorganik. Sampah-sampah yang tidak terurai dibakar. Sementara, kotoran sapi ditebar di atas permukaan ladang.

Selanjutnya, para petani melakukan aktivitas nenggala yaitu membajak dengan tipekal gigi satu. Nenggala merupakan proses pengolahan ladang pertama atau dasar. Melalui nenggala, tanah digemburkan dan sekaligus dicampurkan dengan tebaran pupuk (kotoran sapi dan abu).

Proses pengolahan ladang hampir rampung. Tinggal menunggu musim metajuk. Namun, sebelum ditajuk, tanah kembali digemburkan dengan kegiatan nyongkrak (biasanya giginya empat). Inilah pengolahan yang terakhir. Tujuannya, untuk meratakan bongkah-bongkahan (bungkalan) tanah sehingga permukaannya menjadi lebih datar, halus dan siap ditajuk.

Semua proses nenggala dan nyongkrak biasanya dilakukan dengan sistem gotong-royong. Di tempat saya, namanya tradisi “kajakan” atau “ngajak”. Artinya, mengajak orang lain untuk membantu menyelesaikan pekerjaan kita. Tradisi kajakan ini juga berlaku dalam membangun rumah, membuat sumur, metajuk dan lain sebagainya.

Tradisi kajakan merupakan produk dari kultur agraris. Hingga kini, kultur ini masih ada walaupun tak sekuat pada zaman dulu. Saya ingat, waktu kecil (tahun 80-an) tradisi ini begitu kuat. Biasanya, setiap orang membangun rumah, rompok, dan membajak pasti dikerjakan secara gotong-royong (kajakan).

Sekarang, mulai ada pergeseran. Kajakan masih kuat hanya pada penggarapan ladang seperti nenggala/ nyongkrak dan termasuk kegiatan metajuk. Namun, kajakan berlaku surut terhadap penggarapan rumah. Kebanyakan, sekarang warga menggunakan tukang profesional (digaji).

Seiring perkembangan zaman, proses metajuk juga mengalami penyederhaan dan praktis. Pasca ngerih, beberapa petani tidak melakukan ritual nenggala atau nyongkrak lagi. Apakah ini ada hubungannya dengan terbatasnya sapi yang terlatih? Atau jangan-jangan tidak ada warga yang memelihara sapi karena sudah habis dijual (sebagai modal) untuk beralih ke sektor pariwisata.

Belakangan, beberapa petani tampaknya sudah enggan melakukan nenggala/nyongkrak. Cukup dengan menyemprotkan rumput dengan racun/pestisida. Rumput-rumput tepar. Kemudian, petani langsung melakukan aktivitas metajuk, tanpa proses penggemburan tanah lagi. Pemupukan hanya mengandalkan pupuk kimia.

Mungkin karena kemajuan teknologi? Atau barangkali generasi petani terlalu tua untuk mengendalikan tenggalan dan sapi-sapi yang menariknya. Sebab, pelapis generasi petani sudah tidak ada. Hampir seratus persen, para petani kehilangan regenerasi.

Anak-anak milenial sudah gagap bertani. Mereka tidak tertarik untuk menjadi petani. Apalagi, NP terdampak pariwisata. Bagi mereka, metajuk bukan lagi awal mula pertahanan pangan. Metajuk di ladang adalah dunia lama. Dunia milik para generasi yang sudah reyot. Metajuk milenial adalah aktivitas menanam benih jasa-jasa pariwisata untuk memanen dolar.

Akan tetapi, belakangan panen dolar total terhenti karena pandemi covid-19. Karena itulah, sekarang terlihat sejumlah anak muda milenial menunjukkan semangat bertani. Semangat ini pantas diapresiasi ketika pariwisata memperlihatkan kerapuhannya. Saya berharap sejumlah anak milenial ini konsisten—bukan semata-mata karena pelarian, keterpaksaan dan alternatif sesaat. Saya berharap mereka kreatif, disupport, sukses dan menjadi inspirasi sebagai petani modern ala kekinian. [T]

Tags: agrariaagrarisNusa Penidapertanian
Previous Post

Ketemu Puisi di Jalan #catatanfiksidirumahsaja

Next Post

Idulfitri yang Berbeda & Kepura-puraan Kita

I Ketut Serawan

I Ketut Serawan

I Ketut Serawan, S.Pd. adalah guru bahasa dan sastra Indonesia di SMP Cipta Dharma Denpasar. Lahir pada tanggal 15 April 1979 di Desa Sakti, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Pendidikan SD dan SMP di Nusa Penida., sedangkan SMA di Semarapura (SMAN 1 Semarapura, tamat tahun 1998). Kemudian, melanjutkan kuliah ke STIKP Singaraja jurusan Prodi Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah (selesai tahun 2003). Saat ini tinggal di Batubulan, Gianyar

Next Post
Idulfitri yang Berbeda & Kepura-puraan Kita

Idulfitri yang Berbeda & Kepura-puraan Kita

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Galungan di Desa Tembok: Ketika Taksi Parkir di Rumah-rumah Warga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Rasa yang Tidak Pernah Usai

by Pranita Dewi
May 17, 2025
0
Rasa yang Tidak Pernah Usai

TIDAK ada yang benar-benar selesai dari sebuah suapan terakhir. Kadang, bukan rasa yang tinggal—tapi seseorang. Malam itu, 14 Mei 2025,...

Read more

Mencari Bali Menemukan Diri — Ulasan Buku “Dari Sudut Bali” Karya Abdul Karim Abraham

by Gading Ganesha
May 17, 2025
0
Mencari Bali Menemukan Diri — Ulasan Buku “Dari Sudut Bali” Karya Abdul Karim Abraham

PULAU Bali milik siapa? Apa syarat disebut orang Bali? Semakin saya pikirkan, semakin ragu. Di tengah era yang begitu terbuka,...

Read more

‘Narasi Naïve Visual’ Ni Komang Atmi Kristia Dewi

by Hartanto
May 16, 2025
0
‘Narasi Naïve Visual’ Ni Komang Atmi Kristia Dewi

KARYA instalasi Ni Komang Atmi Kristia Dewi yang bertajuk ; ‘Neomesolitikum’.  menggunakan beberapa bahan, seperti  gerabah, cermin, batu pantai, dan...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

May 13, 2025
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Literasi Film untuk Keluarga: Anak-anak Menonton Sekaligus Belajar
Panggung

Literasi Film untuk Keluarga: Anak-anak Menonton Sekaligus Belajar

AMFLITEATER Mall Living World, Denpasar, ramai dipenuhi pengunjung. Sabtu, 10 Mei 2025 pukul 17.40, Tempat duduk amfliteater yang bertingkat itu...

by Hizkia Adi Wicaksnono
May 16, 2025
Sariasih dan Manisnya Jaja Sengait Gula Pedawa 
Kuliner

Sariasih dan Manisnya Jaja Sengait Gula Pedawa

ADA beberapa buah tangan yang bisa kalian bawa pulang untuk dijadikan oleh-oleh saat berkunjung ke Singaraja Bali. Salah satunya adalah...

by I Gede Teddy Setiadi
May 16, 2025
45 Tahun Rasa itu Tak Mati-mati: Ini Kisah Siobak Seririt Penakluk Hati
Kuliner

45 Tahun Rasa itu Tak Mati-mati: Ini Kisah Siobak Seririt Penakluk Hati

SIANG itu, langit Seririt menumpahkan rintik hujan tanpa henti. Tiba-tiba, ibu saya melontarkan keinginan yang tak terbantahkan. ”Mang, rasanya enak...

by Komang Puja Savitri
May 14, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

May 17, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

May 11, 2025
Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

May 11, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co