Pandemi Covid-19 yang disebabkan oleh virus Corona baru atau SARS-Cov-2, kembali mengingatkan saya pada infeksi virus yang saya alami saat kanak-kanak, yaitu infeksi virus Varicella atau cacar air (chiken pox). Di kampung saya, hingga kini, meskipun kejadiannya sudah sangat jarang, penyakit ini dikenal dengan sebutan nunas paica. Saya takjub, bagaimana bisa tetua kami dahulu menemukan istilah sederhana yang sangat mengesankan ini.
Nunas paica adalah frasa dalam bahasa Bali halus yang berarti memohon (nunas) berkat/kekuatan (paica). Kenyataannya, sains menunjukkan, lebih dari 99.9% penderita cacar air akan kebal seumur hidupnya. Dalam suasana pagi pedesaan, saya masih bisa mengingat udara dingin yang menusuk saat saya dimandikan di bawah pancuran di sungai desa yang bening airnya. Mulai saat itu saya kebal terhadapa virus Varicella, tanpa sentuhan tangan seorang dokter atau sedikit pun obat.
Setelah menulari penderitanya, virus itu dengan sendirinya menghasilkan antigen dalam tubuh inangnya. Antigen itu dapat berupa protein atau molekul lain yang dapat merangsang respon sistem imun, terutama dengan menghasilkan antibodi. Inilah yang disebut dengan kekebalan alami, kekebalan yang tercipta dari kemenangan tubuh melawan kuman infeksius, sebuah paica.
Pertarungan ini tentu berisiko, seseorang dapat kebal atau bisa saja binasa. Meskipun virus ini sangat jarang berakibat fatal, namun pada populasi dengan daya tahan tubuh (imunitas) yang kurang baik dapat menimbulkan berbagai penyulit/komplikasi serius hingga kematian. Kini, kita tak perlu mempertaruhkan jiwa melawan kuman untuk meraih kekebalan. Dewasa ini semakin banyak metode imunisasi buatan yang jauh lebih aman untuk menjadikan tubuh kita kebal akan berbagai penyakit.
Itulah yang sedang kita saksikan hari ini, infeksi SARS-COV2 penyebab Covid-19, telah menewaskan tak sedikit orang, juga membuat sebagian dari mereka kebal. Di China dan Jepang, plasma darah pasien-pasien yang telah sembuh dari infeksi Covid-19, yang kaya antibodi, diberikan pada pasien-pasien Covid-19 dengan gejala sakit berat. Dari uji coba yang masih terbatas ini, dilaporkan dalam 24 jam, pasien-pasien dengan gejala sakit berat yang menerima plasma tersebut telah menunjukkan perbaikan yang cukup signifikan.
Ditandai dengan berkurangnya derajat peradangan, menurunnya jumlah virus (viral load) dan meningkatnya kadar oksigen dalam darah. Sekali lagi, tepat gagasan Sir Charles Darwin soal seleksi alam. Gagasan yang mudah diucapkan namun sering terasa kejam dan terlihat brutal. Namun demikian, peradaban manusia yang kian tinggi, telah memberi inspirasi kebaikan kepada siapa saja, bahkan kepada pasien yang baru sembuh untuk menolong sesamanya yang sekarat. Drama kehidupan ini telah memberi perspektif baru pada seleksi alam menjadi sebuah kompetisi kebaikan.
Tak hanya terjdi pada tatanan organisme individual, ekstrapolasi imunitas ini pun dapat diterapkan pada konstruksi kehidupan yang lebih luas. Kehidupan komunal pada aspek sosiokulturalnya. Dengan gamblang dapat kita lihat bagaiman bangsa Jepang telah kebal terhadap segenap bencana alam, terutama gempa dan tsunami.
Bagaimana bisa? Karena mereka telah belajar banyak menghadapi antigen-antigen tersebut dan menciptakan berbagai antibodi untuk mengimbanginya. Konstruksi bangunan yang pondasinya fleksibel menyerupai troli yang dapat beradaptasi dengan guncangan gempa, bahan bangunan dengan profil risiko cedera yang rendah, mitigasi dini dan berkelanjutan dan masih banyak lagi. Mereka telah menghadapi seleksi alam dengan sebuah rencana, tak lagi sekadar suatu reaksi akut. Seperti yang sudah disebutkan di atas, mereka pun saat ini mengembangkan terapi plasma dari pasien-pasien yang sudah sembuh (recovery) untuk pasien Covid-19 lain yang masih kritis.
Bisakah kita belajar seperti mereka? Rasanya satu hal yang masih terlampau sulit, sebab untuk bereaksi saja kita salah. Reaksi yang salah akan menumpahkan daki berceceran di mana-mana. Bau busuk yang terendus belakangan adalah tuntutan tes cepat (rapid test) yang tak proporsional. Tes cepat Covid-19 yang semestinya untuk pasien dan keluarganya atau tenaga kesehatan yang terpapar, justru ditarik-tarik oleh gerombolan politisi yang entah apa relevansinya?
Mungkin perilaku keji orang yang telah menumpuk masker atau hand sanitizer yang memalukan kita lupakan saja. Namun datang lagi hal-hal busuk lain seperti stigmatisasi pasien Covid-19 beserta keluarganya, bahkan terhadap tenaga kesehatan yang merawat mereka. Situasi ini, seakan-akan gambaran lugas dari seleksi alam yang kejam dan brutal. Sekali lagi, gagasan seleksi alam Sir Charles Darwin benar adanya, dalam perspektif yang merisaukan di negeri tercinta ini. [T]