Tadi pagi saya benar-benar kangen rumah karena postingan teman-teman dan keluarga saya yang menampilkan sayur kelor. Ada yang pakai kuah santan, ada yang pakai kuah bening.
Yang bikin perasaan tidak karuan tentu saja sambal. Ya, sambal. Sudah 3 bulan lebih saya tidak makan sambal sesungguhnya. Karena di Jepang jarang orang mengkonsumsi cabai merah segar, apalagi ditambahi terasi, garam, dan tomat, kemudian diulek. Saya pikir musimnya seperti durian, mangga, atau manggis, tapi kali ini adalah musim kelor.
Tetapi rupanya teman kuliah saya mengatakan kalau di Bali sedang musim menjaga nutrisi agar terhindar dari Covid-19. Dan kelor adalah salah satu sayuran yang diyakini mampu menjaga daya tahan tubuh. Oh, baiklah. Saya, menelan ludah. Tidak kuat melanjutkan ingatan tentang kelor. Saya jadi sepenuhnya sadar saya tidak sedang di rumah, saya sedang bekerja di Jepang.
Saya terdiam sejenak mengingat-ingat upaya apa saja yang saya lakukan untuk menjaga daya tahan tubuh agar juga tidak sampai terhinggapi virus yang menakutkan ini. Idealnya saya melakukan banyak hal baru karena sedang bekerja di luar negeri. Kalau diingat, saya melakukan yoga setiap bangun (entah pagi atau agak siang), kemudian saya minum vitamin, tambah rajin mencuci tangan karena hidup berdampingan dengan orang Jepang.
Sebentar, sebentar. Saya jadi bingung menentukan hal-hal apa saja yang berubah di Jepang sejak Covid-19 merebak. Saya sampai tak menyadarinya.
Memang yang terasa berubah adalah ketika Pemerintah Hokkaido dengan berani mendeklarasi bahwa memang benar daerahnya menjadi kawasan darurat Covid-19, sehingga per hari itu, seluruh hotel termasuk tempat saya bekerja harus menyetujui pembatalan tamu yang menginap dan memberikan pengembalian penuh atas uang yang telah terbayarkan.
Pikiran saya saat itu langsung melayang ke jumlah sisa uang gaji di rekening. Saya harus mengirim kabar ke rumah untuk ancang-ancang.
Saya teringat saat sebelum deklarasi, ketika atasan meminta saya mengambil meja dari salah satu kamar kosong, dan meletakkannya di pintu masuk lobi. Rupanya hotel segera menyediakan hand sanitizer di pintu masuk dan juga di front desk.
Karyawan juga diijinkan untuk mengenakan masker saat bertugas. Terang saja, karena hotel kami ada di wilayah Niseko, kawasan yang menjadi area ski favorit bagi wisatawan dari berbagai belahan dunia. Dinginnya maksimal, menaburkan snow-powder di pegunungan yang cantik.
Kemudian setelah pernyataan dari Pemerintah Hokkaido tersebut serta dicari tahu daerah-daerah dengan case terbanyak, para karyawan dilarang untuk keluar kota untuk sementara waktu. Kami benar-benar diberi gambaran betapa tidak inginnya manajemen mendapati salah satu karyawan menjadi penderita virus ini. Terutama kepada para karyawan muda dan single, yang sehabis gajian biasanya akan mengeksplor objek-objek favorit di pulau paling utara Jepang yang paling dingin ini.
Mereka (dan saya) diwanti-wanti agar tidak sampai menjadi pembawa virus pulang ke negara masing-masing saat musim dingin berakhir. Saya jadi mengkhawatirkan adik tingkat saya yang juga tinggal di Hokkaido, berbeda daerah dari Niseko, yang sempat mengunggah berita tentang dirinya yang harus dikarantina dan diobservasi selama 3 jam hanya karena demam biasa.
Meskipun demam biasa, saya tetap khawatir, memikirkan seseorang yang jauh dari rumah dan sedang sakit. Syukurlah ia bisa melewatinya dengan baik.
Kembali ke hari ini, saya tidak mendapati perilaku saya dan rekan-rekan berubah signifikan. Terutama perihal mencuci tangan. Disini mana ada orang Jepang yang sampai download cara baik dan benar mencuci tangan, tidak ada. Kebiasaan mencuci tangan sudah mendarah daging pada orang Jepang. Tidak serta-merta karena adanya wabah Covid-19.
Jangankan tangan, sepatu saja harus dibuka kalau mau masuk rumah, diganti dengan surippa (slipper/sandal selop). Ke toilet juga sama, aduh, saya awal-awal suka betesaat kebelet tapi harus buka winter bootsganti ke slipper yang disediakan yang hanya untuk beberapa menit itu saja.
Tapi saat pekerjaan sedang lengang karena tidak ada banyak tamu seperti sekarang ini, saya jadi suka ke toilet dan berlama-lama melepas boots. Jiwa Indonesia memang.
Selain itu, apa ya, yang berbeda dari yang keseharian saya bersama orang-orang Jepang di sini lakukan. Social distancing?
Memang tujuannya berbeda, tetapi orang Jepang telah memiliki budaya “ojigi” yaitu membungkukkan badan saat memberikan salam, tidak seperti kita yang berjabat tangan. Mereka juga kerap menjaga jarak pada orang yang baru saja dikenal.
Nah, ditambah lagi usai juru bicara pemerintah memberikan himbauan untuk tidak bepergian, sesaat setelah mengumumkan sekolah-sekolah ditutup hingga tahun ajaran baru (April).
Tentu saja jarak yang tadinya 1-2 meter pada hari biasa berubah menjadi bermeter-meter saat ke luar rumah. Saya alami sendiri, saat ke supermarket membeli kebutuhan sehari-hari. Saya memang orang Indonesia sejati sepertinya, saya membayangkan keadaan yang dramatis, agar bisa saya sampaikan berulang-ulang kepada teman-teman.
Saat saya melihat tidak banyak orang dalam supermarket, imajinasi saya bergentayangan, mendramatisir segala sesuatu. Saya lihat orang-orang mengenakan masker dan sangat menjaga jarak. Semakin meyakinkan. Kemudian saat saya menghampiri bagian makanan siap santap, saya merasa klimaks. Hanya tersisa beberapa kotak bentou, sama seperti di Indonesia, out of stock!
Tapi setelah saya perhatikan, pada kotak-kotak bentou ada tempelan diskon 20%, diskon 40%, diskon 50%, oh, ternyata sudah pukul 19.12, supermarket sudah akan tutup pukul 21.00 dan makanan-makanan diberikan potongan harga karena akan diganti keesokan hari.
Tentu saja rak makanan ini sudah hampir kosong-melompong. Saya lihat ke sekitar, ke rak tissue, kemudian ke rak-rak lainnya, masih tersusun rapi dengan stok yang wajar. Rupanya imbauan pemerintah berguna!
Saya dengar dari teman Jepang saya, sempat disampaikan bahwa segala kebutuhan sehari-hari diproduksi negara sendiri, jadi untuk apa risau? Mereka berhasil mempertahankan kewarasan berbelanja. Jadilah saya gagal menciptakan drama. Semuanya waspada dengan terbiasa.
Rupanya Jepang sudah terbiasa hidup bersih, hidup sehat, sejak lama. Saya jadi tidak punya bahan untuk posting rak kosong dan orang-orang yang berkumpul wara-wiri yang membuat risau. Ya, sudahlah. Biasakan saja, jangan panik tapi tetap waspada. Panik saat harus membayar di kasir saja.
Ah, terlalu banyak yang ingin saya tulis tentang Jepang, tidak hanya tentang ketidak-panikan mereka yang membuat saya terkesan, tetapi nilai-nilai kedisiplinan yang sangat layak kita tiru. Silakan dinantikan, kisah-kisah Jepang melalui saya selanjutnya. [T]