Oleh: Ni Putu Ayu Santika Dewi — SMAN Bali Mandara
“Huh, bisakah kalian tidak mengganguku?” tegurku pada kedua adikku yang cekikikan sambil menatapku penuh tawa. Ayolah, siapa yang tidak kesal ketika diganggu.
“Kami hanya ingin bermain, Kak. Habisnya kakak sih, baru sampai sudah sibuk dengan tugas.” Adik pertamaku mengerucutkan bibirnya pertanda dia sedang marah saat ini.
“Tunggu dulu, kenapa jadi dia yang marah?’ batinku heran.
Sejak seminggu yang lalu aku tiba di Rumah membuatku merasa cukup bosan. Aku memilih bersekolah jauh dari rumah, alasannya agar aku bisa mandiri. Secara kebetulan pula ada beasiswa yang ditawarkan oleh pemerintah, aku tentu tidak menyianyiakan kesempatan yang besar itu.
“Yu, istirahat dulu. Kalau kamu terus memaksakan, bisa gundul kepalamu.”
Aku menoleh melihat Ayahku yang menggodaku. Aku menatap nanar Unit Kegiatan Mandiri yang sekarang ada di depanku. Aku kemudian menenggelamkan wajahku dilipatan meja belajarku, berusaha memendam stres yang sudah ada dipuncaknya.
“Kak Ayu, kakak kenapa?” Adikku yang paling kecil menghampiriku. Kurasakan tangan mungilnya mengusap lenganku pelan.
Aku mendongak menatap manik kelamnya yang terlihat khawatir. Aku tersenyum, membuat adikku itu juga ikut tersenyum. Aku mengusap kepalanya sayang, lalu mencubit pipi tembam miliknya.
“Ayo keluar!” ajakku padanya. Dengan langkah riangnya, dia mendahuluiku.
Kami menuju ke halaman rumah, berniat membantu Ayah, Ibu, dan kedua adikku yang lain, yang sedang memasang fondasi dapur. Aku melangkah dengan santai menuju mereka, namun sebuah serangan mendadak membuatku terjingkrak kaget.
“Awas! Ada kalajengking!” pekik adikku keras.
Otomatis, aku langsung melompat dan menggelantungi Ayahku yang baru saja akan mengambil pasir. Mereka semua menatapku dengan tatapan geli, membuatku membalas tatapan mereka dengan tatapan bingung.
“Ahahahahahaha!” Tawa mereka menggelegar.
Aku jadi malu sendiri menyadari sikapku yang kekanak-kanakan. Adikku itu malah tertawa menatapku sambil sesekali memegangi perutnya karena saking lucunya kejadian tadi.
“Kakak kena tipu, ahahahaha!” Tawanya kembali terdengar, bahkan kini lebih keras.
Aku yang merasa dibodohi langsung berlari mengejarnya. Aksi kejar-kejaran pun tidak terhindarkan. Aku yang sudah geram sekaligus stres sejak tadi pun melepaskan seluruh beban ini melalui aksi lucuku bersama adikku. Hatikku menghangat menyadari tingkah adikku yang membuat bebanku sedikit berkurang.
Liburan yang aku anggap membosankan ini menjadi sangat menyenangkan dan mengesankan. Aku mulai sadar, walau kita jauh ataupun dekat, hubungan yang kita miliki pasti tak akan gampang untuk terputus. Mereka, keluargaku sudah mengangkat sedikit beban yang berat di pundakku
***
Malam harinya, setelah kejadian yang kuanggap cukup memalukan itu, aku kembali mencoba berkutat dengan tugas Kimia yang begitu menyiksa. Jangan salahkan aku yang terus menggerutu tidak jelas. Salahkanlah otakku yang memiliki daya tampung sangat kecil ini. Mau dipaksakan sekuat apapun, pasti tidak akan masuk ke otakku. Aku mendesah kasar, mencoba untuk mengerjakan satu soal yang kurasa terlihat lebih mudah dari pada yang lain. Kurasa.
“Yu!” Aku yang masih berkutat dengan reaksi kimia segera menoleh ke arah suara Ayah yang sedang berjalan menghampiriku. Wajahnya terlihat, emm sulit diartikan mungkin? Aku berbalik menatap Ayah yang tengah membawa HP
“Ada apa, Yah?” tanyaku penasaran.
Ayah mulai menjabarkan pengumuman yang baru dia terima dari pihak sekolahku. Aku terkejut bukan main mendengarnya. Kepalaku semakin berdenyut ketika mendengar libur diperpanjang dalam jangka waktu yang belum ditentukan. Ditambah Ayah menjelaskannya dengan arah bicaranya yang melantur kemana-mana, membuatku bertambah pusing.
Ya, bukan rahasia umum lagi kalau wabah Covid 19 yang membuat seluruh dunia gempar. Ini juga berdampak kepada pendidikan siswa yang jadi sedikit tersendat sepertiku. Aku kembali berkutat dengan rumus kimia yang rumit. Berusaha menanti kabar yang belum pasti datang, sembari membuat kepalaku botak karena rumus kimia ini. [T]