Oleh: Komang Agus Subawa – Desa Pedawa, Buleleng
Agus adalah nama akrabku yang dipanggil oleh orang-orang di sekitar rumah. Rambutku hitam ke kuning-kuningan dan sedikit botak di atasnya mungkin penyebabnya adalah kurangnya perawatan seperti yang dilakukan kebanyakan orang.
Kulit hitam dan tanah liat yang melekat adalah ciri khas yang kumiliki.
Kala itu, 24 tahun yang lalu aku terlahir ke dunia ini, aku lahir dan berkembang di keluarga yang sederhana, rumah yang sederhana, serta jauh dari kata mewah sehingga kurus kering tubuh yang kumiliki. Dulu waktu aku kecil mungkin semasih merangkak, ubi-ubian dan sayur alami ditambah garam adalah makanan yang amat sangat mewah bagiku dan keluargaku.
Tetapi di balik semua itu terdapat banyak hal yang membuatku dan keluargaku bahagia.
Aku berasal dari salah satu desa tua yaitu Desa Pedawa di wilayah Balii Aga. Dan aku tinggal di tempat yang jauh dari pusat desa apalagi keramaian kota dan hampir tiap hari jalan terjal dan berliku tajam kulalui untuk mencari pundi-pundi kehidupan.
Di tempat inilah di gubuk sederhana reod yang hampir rubuh aku tinggal dan beraktivitas. Di tempat ini aku tidur, memasak, bercanda tawa dan semua kegiatan kulakukan di bawah atap gubuk yang bercelah dan berlobang. Namun di balik kesederhanaan itu aku mendapat pelajaran tentang arti sebuah perjuangan dan kerasnya hidup ini.
Sang waktu terus melangkah dan akhirnya tiba aku harus bersekolah, aku pun memasuki tempat untuk menimba ilmu di salah satu sekolah dasar yang ada di desaku. Hari silih berganti dan aku sudah mulai bisa berpikir dan dari sana aku lihat peluh perjuangan kedua orang tuaku untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan yang aku perlukan saat menimba ilmu, siang malam mereka berjuang seakan mereka tidak kenal lelah.
Suatu ketika aku tinggal bersama nenek dan kakekku di bawah gubuk yang sederhana juga. Atap bocor dimana-mana dan sang surya seakan menyelinap masuk lewat celah dinding dan bocornya atap. Ukiran alami yang dibuat oleh sang rayap dan lantai tanah penuh debu menjadi teman hidupku selama ini.
Di suatu hari yang cerah dan umurku saat ini telah menginjak belasan tahun, aku mendengar kabar duka, langit yang awalnya cerah seakan menjadi mendung dikarenakan aku mendengar kabar duka bahwa sang kakek telah berpulang dari indahnya dunia ini. Tubuh seakan kaku dan langkah kaki semakin berat untuk melangkah dan sesampainya di gubuk sederhana kakekku aku mendengar riuh tangis dari luar gerbang bambu yang hampir rapuh.
Air mataku bercucuran seakan membasahi lantai tanah yang penuh debu itu dan tak lama kemudian aku pun tak sanggup membendung air mata dan akhirnya aku juga ikut menangis.
Beberapa waktu kemudian setelah semua proses upacara dan peralatan telah disiapkan akhirnya kami berjalan menuju kuburan untuk melakukan proses kremasi yang diiringi oleh riuh tangis yang seakan berirama.
Hari demi hari berlalu dan perihnya luka yang menyelimuti hati ini mulai terobati oleh sang waktu dan langkah kaki sudah mulai ringan untuk di langkahkan lagi. Beberapa tahun berjalan sepulang sekolah kembali ku dengar irama tangis yang tersendu-sendu, dan setelah aku mendekat kulihat tubuh kusut sang nenek telah terbujur kaku di salah satu tempat tidur. Luka yang selama ini ku sembuhkan bertahun-tahun kini tergores kembali dan di sini aku berpikir haruskah semua orang yang menyayangiku pergi dan tak bisa kulihat lagi.
Hari silih berganti dan luka yang selama ini kutahan sudah mulai terobati dan kini aku harus melangkah sampai akhirnya aku tiba di suatu masa dan aku duduk di salah satu perguruan tinggi dan semua ini kudapatkan dari bimbingan gubuk reod serta kedua orang tuaku.
Di sini aku merasa amat teramat sangat bangga meskipun aku lahir di keluarga yang amat sangat sederhana akan tetapi aku mampu menyelesaikan pendidikan sampai tingkat ini.
Beberapa waktu kemudian setelah lulus aku mencoba melangkahkan kaki ini dan aku mencoba meninggalkan gubuk reod itu ke tempat yang jauh dari desaku ini. Beberapa meter melangkah dari gubuk reod itu air mataku terus menetes seakan tak rela meninggalkan tempat sederhana itu.
Beberapa jam berlalu aku sampai di pusat keramaian kota dan aku tinggal di sebuah kamar kost yang amat teramat sangat mewah bagiku. Hari demi hari ku lalui namun apa daya hatiku berkata lain dan aku sangat rindu akan kesederhanaan di gubuk sederhana di kampungku.
Beberapa tahun berlalu dan tubuhku merasa sudah sangat kelah kemudian aku memutuskan untuk mengakhiri pekerjaanku dan aku akan kembali melangkah ke gubik sederhanaku. Beberapa hari sebelum pulang aku merasa sangat gelisah seakan makan tak enak, tidurpun tak nyenyak hanya gubuk reod-lah yang terdapat di benak dan pikiranku saat ini.
Malam telah berganti pagi dan kini tiba saatnya aku pulang dan mungkin karena kerinduan yang begitu dalam akan gubuk reod itu, aku pulang dengan dengan menempuh waktu yang sangat singkat.
Setelah kaki ini menginjak tanah kelahiranku, aku langsung bergegas menuju gubuk reod peninggalan kakek dan nenek yang sangat berjasa terhadap perjalanan hidupku selama ini. Terkejut aku melihat setelah sekian lama ku tinggalkan, gubuk reod ini masih tetap terjaga dan tidak satu pun peralatan yang kurang, hanya saja warna yang mulai memudar dan bertambah lagi ukiran alami yang di buat oleh sang rayap.
Di sini aku mendapat sebuah pelajaran yang besar dari sebuah gubuk bahwa tidak ada tempat ternyaman selain rumah sendiri meski bagaimanapun keadaannya.
Meski gubuk reod ini sudah tidak kutempati lagi, akan tetapi aku dan keluargaku tidak mengusik ataupun merusaknya, kegiatan persembahyangan dan peringatan-peringatan tertentu masih terus kami lakukan disini. Hal ini kami lakukan karena berkat gubuk reod dan bimbingan orang-orang di dalamnya aku bisa melawan keras dan tajamnya hidup.
Selain itu gubuk reod ini juga menyadarkanku akan sesuatu yang sangat besar bahwa kebahagian sesungguhnya tidak semata-mata karena materi akan tetapi kebahagian yang di yang sesungguhnya adalah kebahagiaan yang berasal dari rasa syukur serta kenyamanan hati. [T]