Di dalam gaguritan Basur, pada tontonan Arja Batur, juga dalam novel Ki Gede Basur, I Gede Basur identik dengan tokoh antagonis yang kejam. Tokoh antagonis, karena direndahkan harga dirinya murka seketika. Murka itu, berlanjut dengan tindakan menyakiti. Bukan menyakiti untuk membuat jera yang merendahkan harga dirinya. Tetapi, menyakiti berlanjut dengan tindakan mencabut nyawa yang dilakukan tidak dengan terang-terangan.
Laku menjatuhkan yang dilakukan kepada I Gede Basur, bukan mengejek. Bukan pula mencaci maki. Laku menjatuhkan harga diri I Gede Basur, dilakukan dengan berterus terang mengatakan memilih sosok pria sebagai pendamping hidup. Sosok pria dimaksud, anak dari pelamar lain. Pelamar itu justru datang dalam tempo bersamaan dengan I Gede Basur.
Selain kejam, I Gede Basur, juga diidentikkan dengan sosok arogan yang menindas. Menindas, tanpa memberi penilaian, setimpalkah hukuman yang diberikan dengan kesalahan yang dilakukan oleh tokoh lain yang menjatuhkan harga dirinya? Sebagai sosok yang ilmu teluh terangjananya tinggi, tinggi pula tingkat intelektualnya, bisa memilah dengan cermat. Sehingga hukuman yang dijatuhkan seimbang dan sebanding.
Sebutan kejam dan penindas kepada I Gede Basur, di kalangan generasi tua penikmat geguritan, masih lekat sampai kini.
Sesungguhnya, di balik dua hal yang menjadi identitas I Gede Basur tersebut, ada sisi baik. Tentu, sisi baik I Gede Basur, yang bila direnungkan menimbulkan decak kagum. Karena sisi baik itu, sesuai dengan norma kehidupan.
Sisi baik pertama. I Gede Basur, dengan kesatria mengaku kalah, kepada Kaki Balian. Ketika keduanya melakukan perang kanuragan, sesudah Kaki Balian mengobati Ni Sokasti.
Saat mengakui kekalahannya, I Gede Basur menanggalkan harga dirinya. Harga diri yang lazim dimiliki orang yang punya ilmu kanuragan teluh terangjana tinggi. Bagi orang demikian, harga diri adalah segala-galanya. Lebih baik mati daripada jadi pecundang.
I Gede Basur di sini, dengan ridla dada menanggalkan harga dirinya, ada yang menyebabkan. Sebagai pihak yang memenangi pertempuran ilmu kanuragan, Kaki Balian masih menghargai diri I Gede Basur selaku penganut ilmu hitam bukan sebagai musuh tetapi sebagai sesama manusia di jalan berbeda. Juga menghargai pendapat I Gede Basur tentang kewajiban penganut ilmu putih dan ilmu hitam. Di samping menghargai pendapat I Gede Basur, Kaki Balian tidak membantah pemaparan I Gede Basur beberapa saat sesudah perang ilmu kanuragan itu berlangsung dengan sengit.
Hal lain yang menyebabkan I Gede Basur menanggalkan harga dirinya. Setelah kalah, Kaki Balian memposisikan I Gede Basur bukan sebagai pihak yang ditaklukkan. Tetapi sebagai pihak yang dibangkitkan kesadarannya melalui wejangan. Wejangan yang tidak merendahkan harkat dan martabat I Gede Basur. Tidak pula melecehkan eksistensinya sebagai penganut ilmu hitam. Pun, tidak meremehkan kemampuan ilmu teluh terangjana I Gede Basur. Walau Kaki Balian memenangi pertarungan ilmu kanuragan dengan telak. Walau Kaki Balian ada di atas angin.
Sisi baik I Gede Basur yang lain. I Gede Basur dengan penuh kebapakan menasihati putranya I Tigaron. Nasihat mana diberikan, setelah usulnya agar I Tigaron menerima Rumanis sebagai istrinya.
Nasehat yang diberikan oleh I Gede Basur: cinta kepada istri, sayang kepada anak dan tanggungjawab kepada keluarga. Nasehat ini menyiratkan makna, hanya keluarga yang dibangun dengan kasih sayang menjadi keluarga yang utuh. Tidak goyah diterpa godaan dan goncangan. Tidak berantakan dihantam gangguan dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Dua sisi baik I Gede Basur ini memberi gambaran. Manusia bukan makhluk apa adanya. Bukan makhluk yang keberadaannya statis. Dalam arti, abadi di satu sisi, apakah sisi baik, ataukah sisi buruk.
Sekaligus pula memberi gambaran, betapa ajaib manusia. Wujudnya yang tunggal ditempati oleh dua hal. Dua hal mana tidak membelah perilakunya seketika. Tidak mengombang-ambing dirinya. Tidak membuat jadi berkepribadian ganda. [T]