Sangat tepat bila dalam sebuah lagu dinyatakan, tanah air tanah pusaka. Pusaka warisan nenek moyang. Warisan yang tak pernah hapus dari hati yang lahir di atasnya. Sebab, di tanah air, di tanah pusaka warisan nenek moyang itu, sang bunda yang merelakan rahim yang dimiliki sebagai jalan bagi yang lahir di atasnya. Lalu memperdengarkan tangis yang pertama, sebagai tanda hadir di dunia. Lalu sang bunda, menyatukan tembuninya dengan bumi. Bumi yang menyangga tanah air warisan leluhurnya.
Karena itu, bila jauh dari tanah air, kerinduan akan terus merongrong. Merongrong dengan menampakkan panorama tanah air. Panorama yang membangkitkan rasa damba untuk berjumpa. Berjumpa menyatakan cinta dan setia. Bukan cinta dan setia sesaat tetapi cinta dan setia selamanya. Walau hujan batu menimpa tanah air tempat keluar, tempat keluar dari rahim bunda, walau hujan emas deras mengucur di tabnah air tempat merantau. Juga merongrong dengan ajakan pulang. Ajakan pulang dalam wujud suara : pulang, pulanglah. Jangan menjadi si anak hilang. Jangan menjadi tega jadi si anak tega melupakan tanah air tempat lahir. Dengar gema panggilan itu, berkumandang ke seluruh dunia. Pulang, pulanglah.
Tetapi, tak selalu panggilan yang dilontarkan kerinduan untuk kembali bisa dipenuhi. Bukan disebabkan ingkar atau durhaka pada tanah air. Bukan disebabkan bersetia pada nukilan : hujan emas di negeri orang lebih baik daripada hujan batu di negeri sendiri. Namun disebabkan karena dilarang. Dilarang oleh penguasa. Dilarang bukan berarti dibenci,dilarang karena berhaluan ideologi bertentangan dengan ideologi penguasa yang tengah menggenggam kekuasaan.
Sesungguhnya, ranah ideologi adalah ranah politik adalah ranah demokrasi. Ranah mana mesti memandang perbedaan sebagai warna di taman.Warna untuk membangun kebersamaan.Tetapi tidak demikian halnya dengan penguasa yang melarang warga sebuah tanah air yang ada di tanah air lain. Yang berbeda haluan ideologi adalah seteru. Seteru yang dikalahkan harus ditiadakan. Ditiadakan dari muka bumi ini, ditiadakan haknya berpolitik atau ditiadakan haknya bertanah air.
Penguasa yang meniadakan hak bertanah air tak peduli, apakah tindakkannya itu melanggar hak-hak azazi manusia atau tidak. Tidak peduli, yang dicabut haknya bertanah air mengalami duka berkepanjangan. Duka berkepanjangan karena kehilangan tanah air. Karena kehilangan tumpah darah yang pertama. Karena kehilangan tanah pusaka abadi yang diterima sebagai warisan leluhur yang mulia. Kehilangan tempat kaki berpijak saat awal melangkah. Kehilangan tempat bernafas sampai hayat tak lagi dikandung badan.
Sang penguasa yang meniadakan hak bertanah air adalah manusia. Yang ditiadakan hak bertanah airnya karena perbedaan ideologi adalah manusia. Bukanlah manusia mempertahankan diri sebagai mahluk utama? Mengapa dengan ini, tindakannya tidak menunjukkan mahluk tidak utama?
Disinilah terbukti, manusia adalah mahluk paradoks. Mahluk yang selalu memunculkan kontradiksi. Mahluk yang selalu melanggar kebaikannya dengan keburukan yang dibuatnya sendiri. Mahluk yang dengan pongah mendobrak kebajikannya dengan kejahatanyang dilakukannya sendiri. Mahluk yang menhanguskan cinta yang dia ciptakan dengan kebencian yang juga dia ciptakan.
Dewasa ini, hak bertanah air,bukan saja ditiadakan tersebab oleh perbedaan ideologi. Tetapi juga disebabkan oleh perbedaan agama. Walau belum merambah ke seluruh dunia. Untuk yang satu ini fakta terpanjang nyata di media massa dan media elektronika, seperti pembunuhan massal atau eksodus besar-besaran mereka yang ditiadakan haknya bertanah air setelah tempat tinggal mereka dibakar. Dan, setelah diusir dengan senjata yang moncongnya terus meledak. Dan mereka yang terusir melakukan eksodus ke tanah air lain dan meminta suaka. Tanah air yang dituju, menerima. Tetapi, bukan sebagai warga baru. Tetapi sebagai warga diberi suaka. Diberi suaka karena didorong oleh rasa kemanusiaan.
Baik yang ditiadakan haknya bertanah air karena perbedaan ideologi maupun karena perbedaan agama, mau tak mau harus mendaftarkan diri agar diterima sebagai warga di tanah air lain tempatnya berada. Walaupun kemudian diterima, tanah air semula akan tetap dikenang. Akan tetap dirindukan. Tak akan pernah dilupakan. [T]