Pertanyaan itu muncul setelah saya nonton sebuah film pendek berepisode di Youtube. Sebenarnya film itu bukan spesifik cerita tentang belajar dan hidup, cuman ada ungkapan menarik dalam sebuah adegan yang kemudian saya adopsi dan plesetkan menjadi judul tulisan ini.
Film itu bercerita tantang seorang tokoh utama yang bekerja di sebuah perusahaan perbankan. Singkat cerita, di salah satu scane ada ungkapan yang begini bunyinya: “People bank to live, not live to bank”. Seketika seperti ada yang nyantol di otak saya. Boleh juga nih kata-kata, ucap batin ketika itu.
Terlepas apakah ini adalah sebuah sihir pemasaran bermoduskan idealitas-idealitas agar orang mau ramai-ramai menabung di bank tersebut, tapi kata-kata itu patut jadi renungan. Sebab kerap kali kita bias dan keliru memprioritaskan mana yang wasilah (media) dan mana yang tujuan.
Orang-orang sering keliru dan malah lebih mengejar wasilah daripada tujuan. Seperti halnya menabung tadi. Sebenarnya menabung itu kan wasilah agar kelak punya simpanan buat biaya hidup. Tapi kemudian banyak yang malah bekerja keras untuk menabung dan menyimpan uang sampai lupa menikmati hidup itu sendiri. Makanya kata film itu people bank to live not live to bank. Menabung untuk hidup, bukan hidup untuk menabung.
Sama halnya seperti bekerja. Bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja. Bekerja hanyalah wasilah, bukan tujuan. Tujuannya adalah untuk membiayai kehidupan. Tapi yang banyak terjadi malahan hidup itu sendiri yang dijadikan wasilah dan dikorbankan untuk bekerja keras mencari uang. Sehingga hidup tak lebih hanya sekedar sebuah wasilah atau media.
Nah, kalau misal konteksnya kita ubah menjadi “belajar”, apakah akan sama seperti kedua adigium tadi? Jadi, study for live atau live for sutdy?
Baik, untuk menghimpun opini, saya sudah menjaring beberapa pendapat dari teman-teman melalui kutipan status WhatsApp yang saya pampang. Tidak banyak, tapi mungkin bisa mewakili kebanyakan pikiran netijen. Meski begitu, tentunya saya sudah mengantongi pendapat saya pribadi.
Ada yang bilang bahwa dia lebih setuju dengan ungkapan “live for study”, hidup untuk belajar. Karena kita sudah “terlanjur” hidup maka sudah tentu kita harus mengisinya dengan hal-hal yang positif semacam belajar. Terlebih, bila mengaca dari anjuran keagamaan, maka mungkin ungkapan yang pas ya live for study itu. Bahwa ada entah itu hadis atau maqolah yang bilang belajarlah sejak dari lahir sampai menuju liang lahat.
Tapi tunggu dulu, arti kata belajar kini ternyata memiliki banyak pengertian. Bahkan sekarang pun belajar hampir bisa diartikan sebagai sebuah proses perjalanan “karir akademis”. Ya, jenjang yang bertingkat dan harus kita tempuh melalui proses lembaga formal akademis untuk dapat meraih kelas-kelas atau kasta pendidikan tertentu. Dari TK sampai S3.
Bahkan sekarang pun untuk mencari orang yang benar-benar tulus untuk belajar tanpa maksud memperoleh pangkat atau predikat pendidikan rasanya masih teramat sulit.
Oke, terlepas dari bagaimana penafsiran ahli tentang hadis tadi, tapi menurut saya, hadis itu adalah hadis motivasi, bukan hadis perintah. Bahwa belajar itu penting iya, tapi hidup untuk belajar saya rasa tidak juga.
Sebab hidup terlalu berharga untuk hanya dijadikan wasilah untuk mencapai sesuatu. Belajar, mungkin kesannya akan lebih positif daripada hal-hal lain. Tapi senyata belajar sama saja seperti aktifitas-aktifitas lainnya. Misal digandeng dengan bekerja atau cari uang, mungkin belajar dan pengetahuan kesannya lebih positif. Tapi bila dipikir lagi, senyatanya itu sama dan biasa-biasa saja.
live for money not money for live, akan sama saja dengan knowladge for live not live for knowladge. So, people work for live not live for work, hal ini juga akan berlaku untuk people study for live not live for study.
Hidup adalah anugrah tuhan yang harus kita rawat dan syukuri. Saya rasa hidup adalah sesuatu yang terlalu mulia bila hanya digunakan sebagai alat atau media menggapai sesuatu. Lagian buat apa belajar kalau tidak ada manfaatnya untuk hidup.
Menggapai cita-cita itu boleh saja, asal tidak mengorbankan hidup hanya untuk cita-cita. Mengorbankan hidup tidak mesti bermakna mengorbankan nyawa. Sampai tidak bisa menikmati hidup pun itu adalah sikap mengorbankan kehidupan.
Persetan dengan hal-hal semacam masa depan, perjuangan, semangat, tantangan, cita-cita, atau apalah terserah bila itu hanya akan memakan hidupmu sendiri. Mempunyai angan-angan dan keinginan itu boleh, tapi ingat, ada yang lebih berharga dari itu semua. Ya, apalagi kalau bukan hidup. [T]