Di Kulidan Kitchen, di Guwang, Sukawati, Gianyar, ada satu lukisan berbingkai kayu dan dilapisi kaca. Ini dipajang di lemari terbuka. Lukisan tersebut bertanda trashstock bali di atas kanannya. Di lukisan ini dua wisatawan macanegara berkunjung menikmati alam Bali dengan latar belakang tanah hijau berbukit dengan tegakan pohon kelapa serta persawahan dibelah oleh aliran sungai dan langit cerah berwarna biru muda memayungi tanah Bali.
Seorang pemandu wisata berpakaian adat menerangkan keadaan alam dan budaya Bali. Dia juga berbicara konsep yang sering dibunyikan oleh pejabat daerah Bali dari dulu sampai sekarang yaitu Tri Hita Karana. Gubernur, Bupati dan Walikota masih suka meniupkan terompet bernada Tri Hita Karana. Salah satu konsep ini adalah keharmonisan manusia dengan alam. Di Seberang sungai , ada seorang anak berusia sekolah membuang sampah sembarangan ke sungai. Wisatawan yang melihat perilaku bocah tersebut bingung dengan kenyataan yang terjadi. Mereka berpikir ini cuma slogan belaka.
Sampah yang dibuang olehnya mencemari lautan. Penumpukan sampah di sungai akibat perilaku tak peduli lingkungan berpotensi menimbulkan banjir yang merugikan secara ekonomi. Kerugian langsung adalah kerusakan rumah, fasilitas umum, sawah dan kendaraan. Secara tak langsung adalah terganggunya wisatawan yang menyebabkan keengganan mereka mengunjungi tempat yang sering dilanda banjir.
Sawah yang tercemar sampah akibat perilaku tak peduli lingkungan mengurangi keindahan alam Bali. Ini menyebabkan pendapatan daerah menurun karena pariwisata terganggu. Perilaku ini merusak dua sendi perekonomian Bali yaitu pariwisata dan pertanian. Belum lagi sampah menyebabkan saluran irigasi terganggu dengan sumbatan sampah sehingga air sulit mengairi sawah. Sungai yang terpapar sampah di hulu menyebabkan sawah di tengah dan hilir tidak maksimal memproduksi beras.
Dari segi kesehatan perilaku buang sampah sembarangan menjadi tempat munculnya penyakit. Sampah makanan yang dibuang sembarangan menyebabkan ledakan populasi lalat. Lalat adalah vector penyakit disentri. Sampah basah sehabis banjir merupakan rumah bagi nyamuk demam berdarah yang dapat merenggut nyawa.
Dari perilaku tak peduli lingkungan saja sudah membahayakan nyawa manusia secara langsung. Saat kesehatan lingkungan terganggu kesehatan manusia terancam. Lingkungan berbau busuk akibat timbunan sampah membawa gangguan psikis manusia. Ada satu penghubung tak kelihatan antara manusia dengan alam yang menjaid bukti bahwa manusia tak terpisahkan darinya.
Sampah yang dibuang ke sungai merusak ekosistem. Plastik, kaca, logam dan bahan kimia di dalam kemasan membunuh ikan dan tanaman air. Sebagian dari sampah mengalir ke laut dan menjadi santapan bagi hewan laut yang penting bagi ekosistem seperti penyu dan yang berfungsi untuk makanan yaitu ikan laut. Usus penyu tersumbat oleh plastik yang disangka ubur ubur sehingga menyebabkan makanan tak dapat dicerna lalu penyu mati kelaparan.
Sampah sampah yang masuk ke laut terurai menjadi partikel amat kecil yang masuk ke dalam tubuh hewan laut. Sampah yang mengandung racun ikut termakan olehnya dan terakumulasi. Saat manusia memakan ikan atau cumi cumi, dia terpapar partikel sampah dan memiliki resiko berbagai penyakit. Pencemaran laut dari berbagai jenis bahan kimia dari sampah dan limbah mungkin salah satu penyebab alergi makanan laut yang banyak dijumpai.
Di sini, Tri Hita Karana yang disajikan oleh media massa dan diajarkan di sekolah sekolah patut dipertanyakan. Skeptis dan kritis terhadap praktek Tri Hita Karana diperlukan. Tri Hita Karana indah di atas kertas namun pelaksaan di lapangan berlainan dari yang diserukan. Mengapa Tri Hita Karana dalam pendidikan formal dan informal belum berhasil membangkitkan kesadaran lingkungan menurut pembaca sekalian? Apa yang kurang tepat dari pengajaran Tri Hita Karana dan nangun sakerti loka Bali di lembaga pendidikan formal?
Pendidikan Bali di kebanyakan sekolah mengarahkan siswa untuk belajar secara pasif mengikuti guru dan buku. Siswa kurang didorong untuk berpikir kritis dan skeptic dalam menyikapi keadaan sekitar. Kenyataan pahit berikutnya adalah lingkungan kampus yang masih terdapat sampah tidak pada tempatnya. Apa yang diajarkan di ruang kelas tidak sesuai dengan kenyataan. Praktek pendidikan Tri Hita Karana gagal membentuk kepribadian siswa untuk penduli pada alam. Pendidikan alam yang sejati adalah pergi ke lapangan lihat keadaan sebenarnya.
Saat ada pendidikan Tri Hita Karana, siswa harus ke luar kelas mengamati gejala yang terjadi. Guru mengembangkan pendidikan yang interaktif kepada siswa, tidak hanya bersifat satu arah dimana siswa menjadi pendengar saja. Siswa diajak berinteraksi dengan warga sekitar untuk berdialog menyikapi kondisi lingkungan yang ada sampah dibuang sembarangan sehingga diambil tindakan kolektif untuk membersihkan dan mengurangi perilaku warga yang buang sampah sembarangan.
Untuk tempat umum yang bukan lembaga pendidikan seperti kulidan kitchen yang merupakan ruang makan dan galeri seni, memajang lukisan yang menggambarkan skeptic terhadap Tri Hita Karana adalah usaha yang baik untuk membangkitkan kesaaran kritis. Saya terinspirasi dari lukisan tersebut untuk menulis artikel ini yang menyatakan skeptic terhadap slogan Tri Hita Karana.
Saat Tri Hita Karana benar benar diterapkan lingkungan menjadi asri dan sehat. Ini menghemat biaya kesehatan yang dikeluarkan dan mencegah penyakit muncul. Lingkungan yang sehat bebas dari bau sampah mengurangin perasaan stress. Kondisi psikologi manusia akan membaik. Ini membantu penyembuhan penyakit yang amat dipengaruhi oleh stress seperti serangan jantung dan sakit kepala. Merawat lingkungan lebih hemat daripada memulihkan kerusakannya dan mengobati penyakit yang muncul. [T]