Dari sisi manusia, munculnya virus Corona tipe baru, jelas merupakan horor penebar rasa ngeri bagi seluruh manusia di dunia. Ia bahkan membuat ciut nyali negara-negara yang selama ini mengaku hebat dan suka bikin ribut. Virus ini telah memberi pelajaran kepada mereka, sehebat apapun sebuah bangsa, dapat saja binasa oleh musuh yang kecil dan tak terlihat.
Mereka, boleh saja melumpuhkan ekonomi musuh-musuhnya dengan perang dagang yang tak punya rasa solidaritas. Atau membasmi prajurit lawan tanpa belas kasihan mengandalkan kecanggihan pesawat pembom nirawak, juga strategi politik licik untuk menguras kekayaan negeri kaya minyak dengan membuat mereka tercerai berai dalam perang saudara. Namun satu mutasi virus yang tak tampak oleh mata membuat kepanikan global, mengingatkan umat manusia soal kerukunan dan kebersamaan, meski untuk itu perlu rasa takut kolektif. Haruskah dari rasa takut? Kenapa kebersamaan tak dibangun saja dari rasa bahagia sejahtera kolektif?
Bagi virus Corona tipe baru yang diberi nama novel coronavirus (2019-nCov), peristiwa ini bisa saja merupakan pencapaian sebuah misi sakral, satu mekanisme pelestarian yang esensial bagi setiap spesies. Mari kita kilas balik sepak terjang virus Corona. Di tahun 2002 ia mengacak-acak dunia dengan wabah SARS (Severe acute respiratory syndrome-related coronavirus) yang telah membunuh tak kurang dari 777 orang dari sekitar sembilan ribu orang terinfeksi.
Sepuluh tahun kemudian, sekitar tahun 2012, merebak kasus MERS (Middle-east respiratory syndrome-related coronavirus). Tipe lain virus Corona yang terjadi di Timur Tengah ini, telah memakan korban jiwa sekitar 22 orang dari 44 kasus yang terjadi di Arab Saudi. MERS disebut angka fatalitasnya lebih tinggi daripada SARS. Di akhir 2019, dunia kembali kalang kabut akibat 2019-nCov. Sebanyak 259 orang telah dikabarkan tewas dan sekitar 12 ribu orang terinfeksi berada dalam berbagai derajat keparahan penyakit. Dalam beberapa rekaman video, suasana kota Wuhan, Propinsi Hubei, China, tempat pertama kali virus ini diidentifikasi, tampak seperti kejadian dalam film-film zombie, penularan sedemikian cepat dan penderitanya berjatuhan di jalanan.
Virus ini awalnya adalah penyakit pada binatang, lalu menular kepada manusia dan menimbulkan gejala penyakit bahkan kematian. Proses ini di kenal sebagai zoonosis, seperti juga penyakit yang disebabkan oleh virus Ebola atau HIV. Seperti subtipe virus Corona sebelumnya, 2019-nCov terutama menimbulkan proses patologi (penyakit) pada saluran pernafasan atas yang dapat menyebar ke paru-paru mengakibatkan infeksi berat dan gagal nafas.
Kenapa menular kepada manusia? Secara ilmiah tentu karena ada kontak antara manusia dengan hewan penderita virus bersangkutan. Kembali pada teori penyakit infeksi, masih relevan interaksi antara 3 faktor ini, host, agent dan environtment. Host terkait dengan sistem kekebalan tubuh penderita yang juga dipengaruhi banyak hal, meliputi usia, gender, ras, penyakit penyerta dan riwayat imunisasi. Agent, dalam kasus ini adalah virus itu sendiri. Bisa juga bakteri, jamur atau mikroorganisme lain yang terkait dengan jumlah dan mutasinya. Terakhir adalah lingkungan yang dengan mudah kita maklumi menjadi faktor risiko infeksi, terutama lingkungan yang tak bersih. Penyakit infeksi bakal terjadi saat keseimbangan ketiga faktor ini terganggu.
Penularan dari binatang ke manusia, sesuai data ilmiah terjadi memang karena kontak antara binatang dengan manusia. Lalu kenapa ia perlu berpindah, menginvasi lalu membunuh manusia? Akan ada berbagai hipotesis untuk menjelaskannya. Sel tubuh manusia yang tak betul-betul sama dengan sel-sel tubuh binatang, setidaknya mengharuskan virus tersebut untuk beradaptasi dengan sel baru, mungkin saja akan diikuti dengan sebuah atau berbagai mutasi. Apapun itu, virus-virus itu harus melakukan sesuatu demi kelestariannya. Bukankah manusia pun begitu? Melakukan berbagai cara untuk kelestariannya. Bahkan kadangkala, demi kelestarian golongannya sendiri, manusia setuju melenyapkan yang lain. Entah itu golongan ras atau agama.
Bukanlah sebuah mimpi atau khayal, telah terjadi kemusnahan berbagai spesies manusia dalam sejarah yang disebabkan akibat peperangan. Dalam buku bestseller karya sejarawan Israel, Yuval Noah Harari, berjudul, Sapiens:A Brief History of Humankind (2014), hal ini cukup terang dijelaskan. Sekitar 50 ribu tahun lalu, Homo soloensis dan Homo denisova terakhir mati. Selang 20 ribu tahun, Neanderthal menyusul. Dan 12 ribu tahun yang lalu, manusia-manusia Flores, yang bertubuh lebih kecil daripada saudara-saudaranya, turut berakhir.
Temuan data-data ilmiah cukup untuk membuktikan bahwa perkawinan silang antar spesies manusia memang terjadi dan keturunannya dapat berkembang-biak dengan baik. Namun, di sisi lain, kadar warisan genetik spesies-spesies yang telah punah itu terlalu kecil dalam tubuh manusia modern, untuk dapat menyimpulkan bahwa Homo sapiens menjadi penguasa tunggal planet ini sepenuhnya lewat jalan damai. Maka bukan hal aneh jika dalam dunia modern telah terjadi holocoust oleh NAZI terhadap etnis Yahudi, juga genosida yang menimpa muslim Bosnia serta pembersihan suku Tutsi dan Hutu di Rwanda.
Virus Corona tipe baru yang menyerang manusia, mungkin sesungguhnya tak berbeda dengan air bah yang menenggelamkan peradaban dan hidup manusia atau macan tutul India (Panthera pardus fusca) yang telah memangsa warga Mumbai. Air yang telah kehilangan akar-akar sebagai dam alaminya atau macan tutul yang tak punya lagi gua untuk bersembunyi. Sebuah fenomena yang telah terjadi akibat kegagalan manusia menjaga keseimbangan bumi yang penuh misteri. Kabut misteri yang kian menebal akibat ketamakan umat manusia. 2019-nCov sepertinya tak hanya datang untuk mengingatkan kita segera mengenakan masker standar, mencuci tangan dengan benar atau kesiagaan sarana kesehatan optimal, juga mengajak kita untuk kembali membaca sejarah. [T]