Program Studi Tari, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, punya acara menarik. Nama acaranya: Bulan Menari. Isi acaranya, ya, pagelaran tari.
Bulan Menari edisi ulang tahun perdana dilangsungkan Selasa 28 Januari 2020 di Wantilan kampus ISI Denpasar. Edisi ini sungguh-sungguh istimewa, karena seniman tari yang tampil adalah para suhu, yakni para dosen dan guru besar. Wantilan ISI pun bergemuruh. Siapa yang tak kangen lihat para suhu menari?
Sejumlah penonton bahkan menetaskan air mata karena terharu. Mereka terharu karena menyaksikan para guru itu mengeluarkan taksu, sebab selama ini kebanyakan hanya mendengar cerita-cerita bagaimana para suhu itu menari di masa mudanya.
Jadi, malam itu, memang lain dari Bulan Menari sebelum-sebelumnya yang biasanya hanya menampilkan penyaji dengan komposisi mahasiswa, alumni, dosen dan umum atau SMK.
Bayangkan saja, Prof. Dr. I Made Bandem, dan Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST.,MA tak hanya menyajikan kehebatan berekpresi dalam gerak yang indah, tetapi juga tampil mengedukasi, memberikan semangat bagi para generasi muda yang hadir saat itu. Apalagi didukung Prof. Dr. I Gede Arya Sugiartha, S.Skar.,M.Hum, turut memainkan ugal memimpin gamelan itu. Aksi para sepuh itu membuat Bulan Menari semakin berkualitas yang mampu membuat penonton tak beranjak pulang, sebelum pagelaran selesai.
Pementasan diawali dengan menampilkan Tari Belibis, sebuah tari kreasi baru karya Swasthi Wijdaja Bandem bersama I Nyoman Winda selaku komposer pada 1984. Tari Belibis ini berangkat dari teks Tantri yang mengisahkan Prabu Angling Darma. Tari ini mengisahkan kehidupan sekelompok burung Belibis yang riang menikmati keindahan alam, namun tiba-tiba dikejutkan oleh kehadiran burung Belibis jadi-jadian, jelmaan Sang Prabu akibat kutukan istrinya yang sakti. Tari ini dibawakan oleh Ni Nyoman Manik Suryani, SST.,M.Si, Ni Nyoman Kasih, SST.,M.Sn, Gusti Ayu Ketut Suandewi, SST.,M.Si, Dr. Ni Made Arshiniwati, SST.,M.Si dan Ni Wayan Suartini,SSn.,M.Sn.
Anak Agung Ayu Kusuma Arini, SST.,M.Si. sepuh yang pensiunan Dosen ISI Denpasar itu menyajikan Tari Panji Semirang karya I Nyoman Kaler. Tari Panji Semirang diciptakan pada 1942 memiliki struktur tari dan ending iringan hampir sama dengan Tari Candra Metu yang diciptakan lebih dahulu sebagai karakter tari perempuan. I Nyoman Kaler bersama I Wayan Rindi mengubahnya dengan mencoba memakai busana laki-laki inovatif. Tak hanya itu, perbendaharaan gerak tari juga disesuaikan dengan karakter. Ni Luh Cawan murid I Nyoman Kaler merupakan penari pertama yang dianggap pantas membawakannya, hingga populer sebagai penari Panji Semirang.
Tarian ini pada mulanya disebut Kebyar Dung karena nada dung mengawali gending kebyarnya. Pada saat ditarikan di Surabaya pada 1984, semua tarian yang tampil harus mempunyai nama, sehingga Kaler bersama kawan-kawannya sepakat memberikan nama Tari Panji Semirang yang mengisahkan Candra Kirana berbusana laki-laki untuk mencari kekasihnya Raden Inu Kertapati. Adapun versi Tari Panji semirang itu, yaitu versi pendek dan versi panjang/lengkap. Pada malam pementasan tersebut A.A. Ayu Kusuma Arini membawakan Tari Panji Semirang versi pendek.
Berikutnya Tari Jaran Teji, salah satu karya dari Prof. Dr. I Wayan Dibia produksi ASTI Denpasar yang diciptakan pada 1985. Tari Jaran Teji berkisah tentang penyaman Dewi Sekartaji bersama para embannya menjadi penunggang kuda yang gagah dan perkasa. Ia menyamar untuk mencari jejak kekasihnya Raden Panji Inu Kerta Pati yang hilang dari istana. Tari ini terinpirasi dari gerak Tari Sanghyang Jaran yang dipadu dengan gerak-gerak tari klasik Bali dan Jawa. Jaran Teji ditarikan oleh Anak Agung Ayu Mayun Artati,SST.,M.Sn, Dr Ida Ayu Trisnawati,SST., M.Si, Dr. Ida Ayu Wimba Ruspawati, SST.,M.Sn., Dr. Ni Made Ruastiti, SST.M.Si, dan Ni Komang Sri Wahyuni, SST., M.Sn.
Tari Gruyuh seakan memberikan suasasana adem, karena menampilkan tari berkarakter tua. Tari berjudul Gruyuh diciptakan oleh Dra. Dyah Kustiyanti, M.Hum, dosen Prodi Tari ISI Denpasar. Tari yang khusus diciptakan untuk Bulan Menari special edition itu ditarikannya bersama Kaprodi Tari Sulistyani, S.Kar.,M.Si.
Berikutnya tampil Dr. Ni Made Wiratini, SST.,MA yangt menarikan Tari Trunajaya, ciptaan dari I Gede Manik. Trunajaya adalah tari kebyar berdarah legong dari Bali Utara. Tarian ini merupakan kreativitas seniman I Gede Manik yang menciptakan dengan rangsangan kreatif Tari Kebyar Legong karya kakeknya yakni I Wayan Wandres/Pan Wandres. Nama Trunajaya merupakan pemberian Soekarno, Presiden RI pertama yangt melihat gagasan tentang ketangkasan, semangat, dan gairah seorang pemuda dalam memandang sekitarnya.
Penonton bersorak girang, ketika Tjok Istri Putra Padmini, penari halus dengan karakter yang kuat yang pernah Bali miliki ditahun 70/80-an menarikan Tari Oleg Tamulilingan. Pada bagian pengipuk, Tari Oleg Tamulilingan itu kemudian dilanjutkan oleh Dr. Ni Luh N. Swasti Widjaja Bandem dan Prof. Dr. I Made Bandem sebagai tamulilingan, penari lakinya. Pentas seni Bulan Menari kemudian ditutup dengan Tari Topeng Anyar, Topeng Legod Bawa yang ditarikan oleh Prof. I Wayan Dibia, SST.MA. [T][B/AD/AR]
- Tulisan ini pertama kali disiarkan di balihbalihan.com