Sudah lama saya tidak ke toko buku. Lalu di malam itu,
kebetulan ada acara literasi di Malang yang ada bazar bukunya. Sekalian,
pertama karena memang gabut gak ada pasangan kerjaan dan aktifitas. Ke
dua, ya hitung-hitung untuk kembali meremajakan gairah membaca yang sudah mulai
memudar beberapa tahun terakhir ini.
Nahas, setelah sampai di lokasi bazar buku, saya tiba-tiba bimbang. Bingung antara lihat-lihat buku atau malah lihat-lihat yang beli buku. Pasalnya, selain ramai karena banyak pengunjung, di sana juga ramai akan cewek-cewek cantik. Ampun, jadi salah niat saya waktu itu.
Bayangan saya ke sana adalah banyak buku-buku dengan judul yang luar biasa. Yang pas dengan selera saya yang sok-sokan indie meski suka tidur si sore hari. Paling tidak lah dua dari tiga syarat jadi anak indie sudah saya miliki. Puisi, kopi, dan senja. Puisi dan kopinya sudah sip, tinggal senjanya yang ketinggalan. Tak apa, aku jadi anak separuh indie juga tak masalah.
Awal ekspektasinya sih gitu. Lihat-lihat buku sastra yang bisa bikin mata manja dan hasrat membaca bisa semakin membara. Meski tak bisa memiliki semua, setidaknya bisa elus-elus kovernya sambil ngarep-ngarep ada yang ngisi rekening secara diam-diam biar bisa beli buku tanpa mengorbankan perut di akhir bulan.
Wuss, semua itu lenyap melayang setelah banyak ciwi-ciwi canteq berkeliaran di depan mata. Buku-buku itu kalah menarik dengan pengunjung-pengunjung yang datang. Mata saya pun tak jadi menelisik judul-judul buku yang sudah ditata di meja. Ya, sesekali menunduk pura-pura cari buku, setelah itu toleh kanan toleh kiri. Siapa tahu ada yang cantik yang bisa dinikmati mata. Sayang, hanya boleh dilihat tak boleh dibawa.
Sempat muncul bayangan bisa dapet kenalan di toko atau bazar buku. Siapa tahu bisa jadi seperti kata Limbong pada Rangga dalam film Ada Apa dengan Cinta: “Berawal dari buku, berlanjut ke malam Minggu.” Tapi apalah daya, imajinasi hanyalah imajinasi.
Saya pun pulang dengan tangan kosong tak bawa buku apa-apa. Yang ada hanya membawa rasa iri dan sakit hati melihat cewek-cewek itu bersama laki-lakinya masing-masing. Sementara saya ke sana bersama temen-temen sesama jenisnya. Yampun, segitu ngenesnya saya.
Parahnya lagi, kebanyakan dari teman cowok yang bersama saya
itu telah menyimpan hubungan romantis dengan ceweknya masing-masing.
Paling-paling yang senasib dengan saya, yang masih jomblo singgle bisa
dihitung tangan. Untungnya mereka masih mau menemani kaum-kaum tuna asmara
untuk jalan bareng atau sekedar mengusir kegabutannya.
Setelah sampai di rumah kontrakan, seorang teman memposting sebuah foto di Whatsapp yang berlokasi di bazar buku yang saya kunjungi tadi. Lalu saya komen status itu. Saya bilang dalam chat: “Situ ke bazar mau lihat-lihat buku apa lihat-lihat yang beli buku?” Ternyata dia menjawab dua-duanya. Paling tidak, bukan hanya saya yang ke toko buku untuk lihat-lihat pengunjungnya. Masih ada yang lain selain saya. Berarti saya masih normal. Untung lah kalo gitu.
Saya pun bilang pada teman saya itu: “Kalau dulu waktu masih
semester-semester awal mungkin yang akan fokus diliatin ya buku-bukunya. Tapi
kalau sudah hampir-hampir semester dua digit kayak gini, apalagi masih jomblosinggle, nunduk sejenak baca beberapa judul buku sudah untung. Sisanya ya
jelalatan liatin anak orang.”
Memang, godaan romantisme-romantisme di saat muda ini begitu menggelora. Bila dituruti, bisa jadi bucin tulen kau. Budak cinta. Ke mana-mana pacaran ngedate bawa anak orang. Uang habis buat nyenengin anak orang. Padahal perut sendiri belum pernah disenengin. Dengan alasan cinta dan pengorbanan (katanya) banyak muda-muda yang meramu kemesraan dengan mudi-mudi. Jadi golongan bucin dan bucinah.
Gak ada salahnya sih mau jadi bucin apa tidak, tapi coba dipikir kembali. Apa tidak percuma kalau waktu cuman dihabiskan untuk hal-hal yang berbau cinta-cintaan? Ok, bikin-bikin alasan kalau Si Do’i bisa membangkitkan semangat belajar dan mengerjakan tugas kuliah? Ok, boleh juga. Nggak-nggak, tak akan saya gunakan dalil halal-haram agama untuk membantahnya. Agama bukan cara instan untuk menang kawan.
Tapi mari pikir lagi. Tokoh nasional atau bahkan internasional mana yang besar namanya karena pacaran? Pak Habibi? Itu karena ilmunya, tapi kebetulan punya kisah romantis sama bininya dulu lalu diangkat sebagai film. Tapi yang lebih dianggap sama orang kan tetap ilmunya, bukan kisah romantisnya. Sekali lagi, tokoh siapa yang besar namanya karena pacaran? Tapi kalau tokoh yang besar dan terkenal nama serta perjuangannya karena buku itu banyak. Contohnya, Tan Malaka. Ya, dia adalah imam jomblo seindonesia kawan.
Jadi pilih menghabiskan waktu dengan pacaran atau bergelut dengan buku? Ok, terserah anda. Mungkin akan banyak yang jawab: menghabiskan waktu dengan pacar sambil baca buku. Ok, jawaban sip itu. Jawaban aman. Tapi yakin bisa pacaran dan kencan sambil baca buku? Kok saya kurang yakin kalo ada cewek yang mau diajak kencan ke toko buku selain Cintanya Rangga ya. Dan saya pun kurang yakin ada laki-laki yang pede mau ajak pacarnya kencan ke toko buku selain Rangganya Cinta.
Aduh, kayaknya saya terlalu menggebu untuk mendebat orang yang pacaran ya. Baik, itu mungkin karena perjalan asmara saya yang kurang mulus. Sehingga saya sensitif dengan kata-kata pacar, kekasih, cinta, atau apalah macam-macam. Toh, pacaran itu ada gunanya juga meski tak sebanyak manfaat baca buku. Hehe. Masih mau bantah? Nulis artikel dulu lah biar adil kita orang.
Makanya, ketika orang nanya ke saya kenapa gak pacaran, maka jawaban saya adalah: alangkah percumanya kalau energi dan gelora yang menggebu di masa muda ini dihabiskan untuk main cinta-cintaan. Toh belum pasti juga bakal jadi pasangan selamanya. Bisa jadi putus tengah jalan atau bahkan bisa saja nahas ketika hampir menuju pelaminan, duh. Tapi kalau dihabiskan untuk baca buku, dijamin gak bakal rugi kalian-kalian.
Dak usah serius-serius membandingkan besar mana manfaat cinta-cintaan sama baca buku. Toh meski yang banyak baca buku juga belum tentu sukses. Tapi ingat, yang banyak baca saja belum tentu sukses, apalagi yang gak baca. Kan gitu?
Memang, melewati hidup tanpa cinta itu serasa hambar, abu-abu, gersang. Tapi plis, rasa cintanya itu memang gak salah, tapi cara mengungkapkannya yang sering kali salah. Kalau bisa cinta-cintaan sambil baca buku sih boleh saja, mantab itu. Dibawa nulis-nulis sajak biar kayak penyair-penyair gagah gitu. Ya bagus lah. Kalo bisa, sekali lagi kalo bisa.
Saya bukan orang yang anti pacaran-pacaran club. bukan anggota gerakan ITP (Indonesia Tanpa Pacaran). Toh dalam hati paling dalam saya juga pengen kok (tapi gagal), hiks hiks. Tapi mari buka mata lebar-lebar, alangkah baiknya kan kalau energi dan gelora muda kita itu dicurahkan untuk hal-hal yang lebih positif semisal membaca. Bisa maju melesat kalau gitu Indonesia. Sebab saya kurang yakin negara ini akan maju oleh orang-orang yang pacaran.
Datangi pasar buku, toko buku, bazar buku meski pada akhirnya malah jelalatan liatin anak orang. Itu adalah upaya kita untuk membentuk kecintaan pada buku. Kata Mbak Nana kan: “Cuma perlu satu buku untuk jatuh cinta pada membaca. Cuma satu buku. Cari buku itu. Mari jatuh cinta.” Ya, mari jatuh cinta. #ngodekamu
Maka setelah saya pulang ke kontrakan sehabis dari bazar buku itu, keesokan harinya saya kembali lagi. Mencoba memperbaiki niat yang rusak karena mata jelalatan saya. Saya cari buku meski sesekali masih lirik sana lirik sini liatin cewek cantik. Akhirnya saya putuskan untuk pulang membawa buku meski hanya satu. Pulang dengan bawa buku dan pikiran-pikiran yang tak menentu tentang cinta. Lalu saya nulis artikel dengan judul BUCIN (Buku dan Cinta). Bukunya didapat, cintanya entah ke mana. [T]