“Ku mohon kemarilah Putri. Lama dukaku mendambamu. Datanglah Putri seperti awan hujan pada musim kering. Hanya kau Putri, hanya kau”, kata Aja. Pangeran tampan, cerdas dan berani itu kepada Indumati. Belum habis, kata-katanya menjelma puisi:
kau halimun
bagi kenestapaanku
yang kemarau
cahya kilat
benderang kala gelap
pada hatiku
hanya hatiku
aku musim kering
gelisah dan
lara
kau puisi
yang lenyap begitu saja
dari renungku
tak tergapai
hilang jadi hujan
menghujam
rambutmu awan pekat
dengan tangan ku sisir
saat kita terbaring lelah
Indumati
pipimu telah siaga
menadah air mata
yang dipintanya dari matamu
Menurut Mpu Monaguna, kata-kata Aja seperti hujan yang memekarkan bunga Asana. Kata-kata itu tertanam dalam benak Indumati dan mengecambah, sampai pada waktunya siap menjerat dadanya dengan sesak karena ditumbuhi akar cinta. Mereka akhirnya menikah.
Aja seperti bermimpi memangku rembulan terang. Empat mata saling tatap, seperti ingin tenggelam pada kedalaman masing-masing. Aja mencium Indumati tiba-tiba. Indumati hampir marah, tersungut, tapi lenyap seperti embun menjelang siang.
Indumati, Dewiku
aku masih muda dan tidak berdaya
tapi kau memilihku
menolak raja-raja perkasa
pastilah deritamu
atau belas kasih para dewa
penyebab cintamu padaku
Apa sebab Indumati hanya diam tanpa sepatah katapun? Dia bimbang. Bagaimana cara menghadapi desakan Aja yang telah memangkunya dengan mesra. Hanya ada satu cara jika musuh terlanjur mendesak sesuka hatinya: Serang!
Indumati memukul aja sekuat-kuat tenaganya. Tapi tangan sang Putri seperti ranting muda yang melambai lembut. Lengannya selentur dahan ramping tertiup angin. Raut wajahnya seperti kuntum bunga Padma didekati lebah. Amarahnya pada Pangeran seperti gula mengembun: manis.
“Pangeran Aja, sepertinya pangeran benar-benar telah hanyut ke dalam derasnya sungai gairah. Pangeran mencoba merayuku, melepas ikatan rambutku, dan membelit pinggangku. Tapi itu tidak akan berhasil Pangeran. Tidak mungkin aku mengalah padamu”, bisik Indumati.
“Indumati, aku menyerah kalah. Sejak awal bertemu aku sudah kalah. Anting-antingmu mengikat leherku. Sedang matamu dengan kejam menusuk tepat di titik jantungku. Alismu yang runcing seperti mata panah yang beracun menancap di hatiku. Aku tak ingin menyerangmu Dewi Indumati, aku hanya memohon belas kasihan padamu. Obati aku dengan air matamu. Yang aku pinta, hanya, kita saling menyeka air mata”, keluh Aja terbata-bata.
“Pergi! Jangan mendekat Pangeran. Yang Pangeran katakan hanya omong kosong. Mana mungkin Pangeran mendekatiku hanya karena itu”, Indumati makin marah dan cemberut.
Pangeran Aja malah makin senang melihat Indumati. Dia hanya tersenyum menahan tawa. Indumati merasa sesak di dada. Air matanya berlinang. Dipikirnya, setelah ini tidak akan ada lagi hasrat mesra dan cinta. Dia menutup wajahnya dengan selimut, agar kecantikannya tidak hilang setelah dicium Pangeran. Lipstiknya meleleh karena Pangeran Aja.
Saya, ada di antara mereka berdua. Tapi mereka tidak melihat saya. Saya pembaca kisah Sumanasantaka karya Mpu Monaguna. Cerita selanjutnya begitu mesra, sampai-sampai tangan saya gemetar di atas keyboard dan gagal menuliskannya. Saya adalah pembaca yang kalah. Penulis yang gagal. Tapi biarlah, tidak apa-apa. Sebaiknya tulisan ini saya akhiri dengan begini:
Indumati
rembulan terang bulan kesepuluh
rindu adalah rindu
yang menuntut bertemu
KACANG [Kamus Cangak]:
- Harapan : kelemahan dan kekuatan dalam wujud yang sama
#Tulisan ini didasarkan pada buku Sumanasantaka [2014] oleh P.Worsley, S. Supomo, M. Fletcher dengan kerjasama T.H.Hunter, edisi bahasa Indonesia.