Ada kebanggaan tersendiri yang terkandung dalam kata “sukla”, yang seolah-olah bermakna murni atau virgin, suci dan lain sebagainya dan “surudan” seolah-olah tidak murni, tidak suci dan lain-lain. Jika kedua kata ini dilekatkan pada kata benda yang dipakai, semisal baju, sandal, kain dan lain-lain kata sukla bisa diartikan sebagai baru yang belum pernah dipakai, dan yang sudah dipakai tidaklah kemudian disebut sebagai “surudan”, tetapi hanya disebut tidak ‘sukla” saja.
Bagaimana dengan makanan yang kini ramai dimainkan untuk kemudian dilabelkan meniru-niru gaya klaim-klaiman tetangga sebelah yang sarat politik ekonomi?
Awalnya stiker sukla mungkin tidak menuntut imbalan ekonomi jangka pendek, tapi pasti ada efek ekonomi jangka menengah dan jangka panjang yang ingin dipetik secara “arif’, ” bijaksana” dan “suci” dari keluguan dan “kebelogajuman” para pedagang krama Bali. Bahwa dengan adanya stiker “sukla” itu seolah-olah mereka telah turut serta dalam membela adat dan budaya Bali. Padahal mungkin mereka tak tahu persis apa arti “sukla” yang sesungguhnya itu, dan apa hubungannya dengan adat dan budaya Bali. Mungkin yang mereka tahu dan rasakan bahwa dengan adanya stiker “sukla” itu dagangan mereka sudah mendapat stempel “suci” yang membedakannya dengan dagangan-dagangan tidak suci lainnya.
Bagi pedagang itu yang penting mereka diuntungkan, diberikan stempel “suci” (yang diwakili oleh stiker “sukla’) walaupun yang mereka jual belum tentu suci. Karena mengukur kadar kesucian itu amat sangat sulit, seperti mengukur kadar keiklasan yang berpusat di hati, yang hanya hati kita dan Tuhan lah yang tahu sesungguhnya. Maka, jika kemudian ada yang uglug-uglug datang menempel sesuatu yang bisa menambah keuntungan, maka tentu harus diterima dengan tangan terbuka, senyum lebar dan kefanatikan yang amat sangat. Alasannya hanya satu, yakni karena merasa diuntungkan.
Sayangnya rasa “merasa” diuntungkan yang sesungguhnya tidak menguntungkan ini, sering dipakai oleh orang luar untuk mengambil simpati krama Bali. Kenapa orang luar? Karena kalau seseorang itu adalah orang dalam, maka tentu ia tak akan mengambil keuntungan dari kelemahannya sendiri, hanya orang luar yang berlagak di dalamlah yang tega mengambil keuntungan, dengan strategi memperkuat kedalaman krama Bali, yang justru didangkalkan karena hanya dimanfaatkan sebatas wacana, slogan dan ceremony. Hal seperti ini hanya bisa dilakukan oleh orang ada di dalam tetapi tanpa pijakan sehingga selalu merasa di luar. Sehingga setiap usaha yang yang seolah-olah untuk sebuah kedalaman menjadi terpental,, semakin menjauhkan, sehingga makin menantang untuk melakukan stategi dan strategi lagi.
Salah satu contohnya adalah kata “sukla” yang lazimnya dikaitkan dengan sarana berupacara kini ditempelkan pada dagangan. Dalam segala keirukpikukan upacara, kata “sukla” yang diversuskan dengan “surudan” selalu terdengar. Hal ini menyangkut bahan dan alat berupacara, seperti misalnya pisang, mangga, berat, kelapa yang sudah “surudan” sudah dipakai aturan sebelumnya atau sudah dimakan, tidak diperkenankan lagi untuk dihaturkan ke hadapan Tuhan/Ida Sang Hyang Widi Wasa dan segala manifestasinya. Demikian juga kain yang pernah kita pakai, payung, selendang dan lain-lain.
Kata “sukla” yang berkaitan dengan makan ini sepertinya hanya untuk Tuhan dan manesfestasinya, sangat jarang yang dipakai untuk manusia. Kalaupun kadang-kadang ada juga beberapa orang yang masih merasa riskan untuk menikmati makanan “surudan” lebih disebabkan oleh anggapan seseorang/sekelompok orang terhadap perbedaan status sosial saja. Rasa-rasanya hampir sebagian besar krama Bali yang benar-benar krama Bali akan sangat menikmati jika memakan “surudan”. Bahkan dalam sebuah tradisi adat ada yang sampai berebut untuk mendapatkan “surudan”. Jadi dalam hal ini, Tuhan atau para dewa-lah yang menikmati makanan yang sukla dan krama Bali sangat bahagia memakan ” surudan”.
Dalam bagawadgita juga dijelaskan tentang keistimewaan memakan makanan sisa persembahan atau “surudan” dan tak pernah ada penjelasan tentang keistimewaan makan makanan “sukla”. Hal ini juga dilakukan oleh leluhur kita, yang wajib menghaturkan banten “saiban”, banten kecil berupa nasi dan lauk pauk sebelum kita menikmati makanan. Ini berarti yang kita makan sehari-hari adalah ” surudan”. Atau begitu juga kebiasan keluarga yang mempersembahkan makanannya (baik ditunjukan maupun hanya diucapkan dalam hati) sebagai wujud rasa syukur sebelum menikmati makanan
Kebiasaan-kebiasaan itu terlihat sederhana, namun setelah dipikir-pikir bermain sangat dalam. Kedalaman ini, bisa kita temukan jika kita mencoba memahami energi, bahwa apapun itu mengandung energi. Ada energi positif dan ada energi negatif yang sulit dipahami oleh manusia biasa. Energi positif dan negatif itu mungkin saja ada dalam berbagai makanan yang kita makan.
Berbeda jenis dan asal makanan berbeda juga kadar dan jenis energinya. Makanan yang berasal dari binatang berkaki empat, binatang mamalia, memiliki kadar dan jenis energi yang berbeda dengan binatang berkaki dua, ikan, jenis serangga dan lain-lain. Tentu akan berbeda juga dengan jenis makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, tumbuhan besar, sedang, kecil atau jenis perdu, rumput maupun lumut. Begitu juga dalam hal cara mendapatkan makanan dan mengolahnya, tentu ada kadar, dan jenis perbedaan yang rumit yang, sulit kita pahami. Dan leluhur kita dengan segala kesederhanaannya mengajarkan kita untuk mempersembahkan makan itu kehadapan Tuhan sebelum menyantapnya. Persembahan makanan kepada Tuhan akan menjadikan makan sebagai “surudan” yang juga berarti segala energi buruk yang menyertainya telah ternetralkan.
Mungkin leluhur kita tak paham energi, tak membaca bagawadgita dan juga tak mahir menghapal veda. Tetapi segala tingkah laku sederhananya yang sampai pada kita, ternyata bermakna sangat dalam. Mampu memberi jalan terang diantara kecerdasan-kecerdasan jaman now yang menyesatkan. [T]