Sedari mereka tak diberikan tanda, mereka pun tak dibalas jasanya. Begitu kiranya semboyan yang relevan untuk kondisi guru dimasa kini. Pertama, izinkan saya mengucapkan Selamat Hari Guru untuk seluruh pendidik di Nusantara. Apapun yang diharapkan oleh para pendidik di negeri ini, semoga bisa segera mereka raih. Apapun yang terbaik untuk pendidikan di negeri ini, semoga bisa segera kita raih.
Saya tak ingin berbicara banyak mengenai kondisi pendidikan di Indonesia. Saya yakin, kita semua tahu gambaran umumnya. Kali ini, izinkan saya mengupas realita ini dari sudut pandang seorang guru muda yang baru 2 minggu mengajar di salah satu sekolah swasta di Ibukota. Prihal menjadi guru, sungguh tak pernah terlintas dalam benak saya jikalau saya harus menjadi guru saat ini dan sekarang juga. Bukan tak ingin, hanya saja saya merasa tak siap jikalau harus sekarang.
Saya hanya berpikir, jika menjadi guru hanya agar mendapat jatah libur yang pasti dan tunjangan sana-sini, maka hilang sudah fokus dari mendidik itu sendiri. Bagi saya, menjadi tenaga pendidik haruslah benar-benar berasal dari kemauan untuk mencerdaskan generasi muda bangsa. Jangan terlalu berorientasi kepada apa yang kelak didapatkan guru, tetapi apa yang mampu diberikan ke siswa. Setidaknya, itu adalah pikiran awal saya selama ini.
Saya memang seorang lulusan sarjana pendidikan. Sudah sewajarnya jika setelah lulus kuliah saya menjadi seorang tenaga pendidik. Namun apadaya, diawal saya tlah jatuh hati terlebih dulu dengan dunia jurnalistik. Sayangnya, hal yang membuat saya jatuh hati tersebut tak bisa saya lakoni untuk saat ini dikarenakan beberapa faktor sosial salah satunya pendapatan sebagai seorang jurnalis masihlah sangat minim.
Saya awalnya selalu menepis omongan ini. namun sungguh malang saya memiliki komitmen. Singkat kata, saya termakan omongan sendiri. Guru. Kini saya tlah menjadi guru dengan status tidak tetap di salah satu sekolah swasta. Boleh dikatakan, salah satu alasan saya menjadi seorang guru di sekolah swasta terlebih di Ibukota dikarenakan gaji yang saya dapat terbilang “masuk akal” jika dibandingkan dengan gaji di tempat asal saya. Gaji ini yang kelak saya pakai untuk menafkahi diri sendiri setidaknya untuk saat ini dan membantu meringankan beban orang tua.
Selepas saya memiliki pemikiran bahwa upah atau gaji itu teramat penting untuk memenuhi kebutuhan hidup, saya jadi sadar kalau apa yang saya idealiskan selama ini tentang guru ialah “Bullshit” total. Tak hanya guru, pekerjaan lain pun rasanya akan memilah secara terpisah antara pendapatan dan tujuan daripada pekerjaan tersebut. Saya rasa, tak benar-benar ada dokter yang sangat mulia ingin membantu seseorang yang sakit tanpa dibayar. Jikalau memang ada, saya yakin ia memiliki bisnis sampingan disamping menjadi tenaga medis. Saya tersadar, semua jenis pekerjaan terutama yang memberikan jasa, pastilah memerlukan “tanda” dan “balas”.
Beberapa tempo lalu, sempat viral berita mengenai seorang guru yang tak digaji selama kurang lebih 11 bulan. Berangkat dari berita inilah, saya mulai faham bahwa guru di Indonesia kini tak hanya mendapatkan julukan “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” tetapi juga “Pahlawan Tanpa Balas Jasa”. Saya sadar bahwa apa yang selama ini saya pikirkan ternyata tak sesempurna itu. Diluar sana, mungkin lebih banyak lagi guru yang bernasib demikian.
Wajar saja jika fokus mereka beralih kepada Hak dan bukan lagi sekadar menjalankan Kewajiban semata tanpa diberi balas jasa (gaji). Semulia-mulianya sebuah pekerjaan yang memberikan pelayanan atau jasa seperti guru, mereka tetaplah manusia biasa yang membutuhkan pendapatan untuk keberlangsungan hidup sehari-hari.
Apapun motivasimu menjadi seorang tenaga pendidik, entah karena uang atau memang dedikasi, lakukan kewajibanmu setulus mungkin dan perjuangkan hak mu sekeras mungkin. Musabab Negeri ini cukup “tuli” mendengar rintihan kalian, wahai para guru yang tak terbalaskan jasanya. [T]