Balaya sriyai yasase abhisicami – (Yajurveda XX. 3)
Wahai pemimpin, engkau dinobatkan untuk memberikan kekuatan, kemakmuran, dan kemahsyuran kepada rakyat.
_____
Obesitas pemimpin masa kini, banyak mimpi-mimpi masyarakat kecil hendak digenapi atas dasar janji, namun tak satupun terealisasi, eksistensi jadi inti, yang penting naik posisi menduduki kursi masalah janji urusan nanti-nanti. Benar atau tidaknya tentang fakta ini, semua kembali pada sudut pandang serta opini masing-masing pribadi, tapi tanpa dipungkiri inilah yang sedang terjadi di era masa kini.
Krisis pemimpin melanda benak masyarakat kini, tentang kurangnya rasa percaya masyarakat terhadap sistem kepemimpinan yang berlangsung, bukan karena semata-mata pemimpinnya sendiri tapi karena keputusan pemimpin yang terasa terdapat koalisi aksi pemaksaan agar tercipta situasi yang kondusif, tentunya segala keputusan yang nanti akan di aktualisasi dengan bonus materi dan tidak ada pihak yang menolak atau sangsi, toh juga saudara sendiri apalagi sudah diberi materi untuk aksi berdiam diri.
Percaya atau tidak lihatlah disekelilingmu, tatanan sistem dinasti atau keturunan dan sistem kekerabatan masih mendominasi sebagai pendamping-pendamping pemimpin dibagian vital nan strategis, terlepas dari berkualitas atau tidaknya, silakan nilai sendiri. Tapi apakah itu sebuah jalan keluar? Atau jalan pintas yang dianggap pantas? Barangkali dengan pandangan pesimistis tentang keahlian-keahlian kepemimpinan ini telah menyebabkan munculnya keraguan atau parahnya tingkah masa bodo akan Negara, lembaga ataupun intitusi tempat rakyat kecil bernaung, pergolakan hanya terjadi dibawah, membara bak merapi yang sedang erupsi,
Menelisik kembali kebelakang melalui geguritan niti raja sasana karya dari Cokorda Mantuk Ring Rana, terdapat sebuah ajaran yang memiliki kemampuan memimpin, artinya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain atau kelompok tanpa mengindahkan bentuk alasannya. Ajaran untuk tetap berprilaku objektifitas sebagai pemimpin, mengutamakan kepentingan bawahan atau rakyat bukan kerabat. Hal tersebut dituangkan dalam geguritan Tri Ulahing Budhi, sebagai berikut;
Wenten malih ulah telu, ne patut rangsuk ring budi, kapisane wijayastra, sopadina kaping kalih, ping tri nagara jnana, papasten pratingkah becik (Gnt. II-26).
Terjemahannya:
Ada lagi tiga perbuatan, yang patut untuk dipahami, yang pertama Wijayastra, Sopadina yang kedua, dan yang ketiga adalah Nagarajana, itulah pasti perbuatan yang baik.
Wijayastra wastan ipun, ratu kukuh nggawe becik, mangulahang sama dana, uning yan sami ngajrihin, ngicalang manah kamurkan, wijile arum manis (Gnt. II-27)
Terjemahannya:
Wijayastra artinya seorang raja selalu membuat kebenaran, selalu adil dalam memberikan anugrah, tahu dan disegani oleh rakyatnya, menghilangkan pikiran marah dan dengki, selalu mengeluarkan perkataan yang manis.
Sopadina ping ron ipun, ratu mantep budi suci, tan agawok ring mas arta, wruh yen tan binakta mati, maweweh tan jinalukan, nguningi wong sanagari (Gnt. II- 29).
Terjemahannya:
Yang kedua adalah Sopadina, seorang raja yang memiliki pemikiran suci, tidak silau akan kekayaan, sebab mengetahui, tidak akan dibawa mati, dalam memberi tidak mau imbalan, mengetahui keadaan semua rakyatnya.
Nagara jnanane mungguh, manggawe ayuning gumi, mamahayu bala rusak, miwah pura marga titi, mandodoti wong kawudan, wong luwe sinungan nasi (Gnt. II-30).
Terjemahannya:
Nagarajana selanjutnya, berbuat untuk kesejahteraan rakyatnya, memperbaikan keadaan rakyatnya, serta tempat suci jalan dan jembatan, membantu orang yang kesusahan, memberi makanan bagi mereka yang kelaparan.
Ketiga perbuatan yakni Wijayastra, Sopadina, dan Nagarajana adalah perilaku seorang raja (pemimpin) yang dilandasi oleh keluhuran budhi. Ketiga perbuatan sebagaimana di atas hendaknya diusahakan oleh siapapun yang menjadi raja (pemimpin) dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai seorang pemimpin. Sebuah harapan besar bagi rakyat saat ini, pemimpin mau mendengarkan dan mengembalikan segala bentuk kualitas diri bukan dengan mencari eksistensi lalu meniadakan esensi kesejahteraan rakyat maupun bawahan.
Semua perlu berbenah mulai dari bawah, kesalahan yang terjadi tidak semata-mata karena pemimpinnya sendiri, namun ada persentase keliru dari rakyat maupun bawahan yang silau akan janji dan koin-koin perak yang diberikan untuk menggunakan hak pilihnya atas nurani materi bukan lagi hati. Perubahan sifatnya kekal abadi, tidak ada yang tidak mungkin, percayalah Santhi akan kembali dengan jalan bhaktining manut ring swadharmaning pakaryan, mari bersama-sama membangun negeri dan intitusi dengan integritas tinggi demi terciptanya senyum diri, bersama dari hati. [T]