Simpul awal peradaban Bali dan parameter kerusakan Bali bisa dilihat di sembilan teluk yang mengitari Bali.
Sembilan teluk yang istimewa (NAVA-SĀGARĀVARTEṢU) dari awal masehi menjadi titik-titik bertumbuhnya peradaban Bali. Bahkan jauh sebelum itu. Dari kesembilan teluk itu, merujuk berbagai temuan arkeologi dan rujukan prasasti, berkembang menjadi hunian, masih sampai kini menjadi titik yang disucikan. Disakralkan oleh masyarakat Bali. Namun, karena istimewa kesemua teluk ini, banyak kepentingan masuk, umumnya dengan alasan pengembangan fasilitas pariwisata, yang ujung-ujungnya diprivatisasi, 9 teluk ini bisa menjadi titik-titik parameter mengukur kerusakan Bali.
Apa saja 9 teluk tersebut?
1. Teluk Gilimanuk, disebut juga sebagai Teluk Lumpur. Terletak di bagian ujung barat pulau Bali. Dikenal sebagai Pelabuhan Gilimanuk oleh masyarakat umum. Tapi jika masuk ke dalam ke Teluk Lumpur, kawasan adalah salah satu kawasan terindah dan penuh ikan dan burung yang paling menarik di Bali. Dari jaman prasejarah kawasan ini dihuni oleh manusia Bali yang menjadi cikal-bakal kita sekarang. Peninggalannya sampai kini masih terkubur dan sudah teliti tersedia bukti-buktinya di Museum Gilimanuk. Sayang, Museum Gilimanuk yang menjadi bukti dari 100 tahun sebelum masehi manusia Bali telah melakukan “ritual potong gigi” ini tidak dikelola dengan memadai, padahal Museum Gilimanuk dan kawasan Teluk Gilimanuk sudah jelas menjadi bukti-bukti awal dari peradaban Bali yang sangat penting. Kawasan ini bisa menjadi pusat belajar bagi generasi muda Bali mengenal leluhurnya secara arkeologis dan melihat peradaban Bali di awal masehi. Teluk ini meliputi hutan menuju kawasan Segara Rupek yang menjadi salah satu pusat spiritual yang banyak dikunjungi umat Hindu.
2. Teluk Terima dikenal sebagai teluk yang menjadi penyembarangan ke Pulau Menjangan. Teluk ini meliputi kawasan Hutan Bali Barat, Sumerkelampok-Sumberbatok-Terima, yang dikenal legendanya sebagai tempat berpulangnya Jayaprana, kini Pura Teluk Terima (Jayaprana distanakan) berada di pinggir hutan Teluk Terima. Titik dimana terjadi perang dalam kisah Jayaprana dan tumpah darah akibat kepentingan penguasa yang ingin menyerobot istri bawahannya. Pulau Menjangan yang menjadi bagian wilayah Teluk Terima berkembang menjadi tujuan dharmayatra, berdiri berbagai Pura, tapi sekaligus tempat plesiran dan berjamuran hotel di sekitarnya. Bola liar yang bisa melalap kelestarian hutan dan teluk. Investasi yang masuk telah ada yang menerima penolakan warga.
3. Teluk Banyuwedang masih berada di Kawasan Hutan Bali Barat. Masuk kawasan Desa Goris dan sekitarnya, menjadi kawasan pariwisata Bali yang sangat pesat perkembangannya di tengah-tengah hutan bakau dan pantai kawasan hutan. Perkembangan dan masuknya investasi di teluk ini telah memunculkan sederatan kasus masalah pelanggaran terhadap kawasan hutan negara. Pura yang disucikan di sini adalah Pura Banyuwedang dengan mata air panas yang secara turun-temurun menjadi tempat nunas tamba (memohon kesembuhan/obat).
4. Teluk Penerusan-Sumberkima dengan Gisi Kisik dan Gili Putih, salah satu teluk yang keindahannya luar biasa dengan dua pulau munggil berpasir putih. Menjadi incaran banyak pengembang. Kawasan telah dilirik Pemerintah Kolonial Belanda menjadi kawasan pertambakan perintis ditahun 1930-an, dan sampai kini potensinya masih sangat besar. Kini nasibnya diserbu investor pengembangan fasilitas wisata. Telah muncul berbagai kerumitan urusan pertanahan sangat besar, beberapa konflik tanah belakangan mengemuka di kawasan ini.
5. Teluk Sendang, dengan Pura Pucak Gunung Beratan yang menaunginya. Kawasan ini masih sedikit terisolasi dan tidak banyak dikenal kecuali menjadi budidaya mutiara. Teluk ini bisa dilihat dari Pucak Gunung Beratan, Desa Pemuteran, Gerokgak, Buleleng.
6. Teluk Bawang (Celukan Bawang), sebelum kemerdekaan celuk ini masuk wilayah Desa Pengulon, teluk yang disakralkan dikenal sebagai tempat ‘tenget’, dengan pelabuan, sekarang kawasan ini menjadi pintu masuk batubara untuk PLTU Celukan Bawang yang telah menuai penolakan keras dari warga. Bermula dari keluhan sejumlah warga atas polusi PLTU Celukan Bawang I, yang beroperasi sejak 2015. Warga memperkirakan jika pembangkit listrik kedua beroperasi, polusi udara dan polusi suara yang mereka alami akan semakin buruk. Bersama Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI-LBH) Bali dan lembaga pemerhati lingkungan Greenpeace, warga melayangkan gugatan pertama ke PTUN Denpasar pada 24 Januari 2018.
7. Celuk Padang (Padang Bai), dikenal sebagai Pelabuhan Padang Bai, dengan Pura Silayukti dan pasraman Mpu Kuturan yang termasyur sebagai salah satu Maharsi terpenting yang menjadi arsitek kebudayaan Bali. Dalam naskah lontar Negarakrtagama dan Calonarang, teluk ini telah disebutkan sebagai Teluk Padang di desa Padang — kini disebut Padang Bai (baai, bahasa Belanda untuk teluk). Dari data ini kita mengetahui setidaknya dari abad ke 11 teluk ini menjadi salah satu pusat peradaban spiritual Bali yang penting.
8. Teluk Benoa, kawasan spiritual agung Pura Sakenan dan sekitarnya. Semenjak Orde Baru menjadi multi kompleks persoalan. Multi kepentingan dan rawan dicaplok raksasa investasi. Patut disyukuri sekalipun belum tentu ajeg pelaksanaannya di lapangan, baru saja Teluk Benoa ditetapkan sebagai kawasan maritim, melalui KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46/KEPMEN-KP/2019 TENTANG KAWASAN KONSERVASI MARITIM TELUK BENOA DI PERAIRAN PROVINSI BALI. Setelah didemo 5 tahun oleh puluhan desa pakraman dan pemuda Bali, yang tiada henti menuntut pembatalan rencana reklamasi teluk ini. Teluk ini menyimpan sejarah panjang perjalanan para rsi yang berlabuh dan bermukim di Sakenan/Serangan dan sekitar kawasan teluk ini.
9. Teluk Jimbaran telah berkembang menjadi kawasan pantai Jimbaran yang menjadi tujuan wisata terpilih. Teluk Jimbaran telah dihuni dari masa prasejarah. Temuan sekitar teluk Jimbaran telah diteliti dengan baik. Dan Pura Ulun Siwi di Jimbaran adalah salah satu kulminasi dari perkembangan penduduk yang mukim di Teluk Jimbaran. Teluk ini sebelum dibangun Airport Ngurah Rai membentang sampai Kuta dan Pantai Peti Tenget dengan Pura Peti Tenget yang telah ada dari berabad sebelum Danghyang Nirartha ke Bali. Kemungkinan peninggalan zaman Raja Udayana, bersamaan juga dengan Pura Uluwatu dan Tanah Lota yang satu garis kawasan bersimpul di Teluk Jimbaran.
NAVA-SĀGARĀVARTEṢU yaitu SEMBILAN TELUK MENGITARI BALI tersebut adalah kosmologi yang menyerupai genggaman kosmik penyangga pantai dan tepian melingkari Pulau Bali.
Masih ajeg atau mulai roboh konsep “SEGARA-GUNUNG” yang dimuliakan di Bali, yang menjadi dasar kesadaran menata Pulau Bali, bisa dilihat di 9 titik teluk ini. Jika teluk-teluk ini dipreteli dengan sembarang dan dikuasai demi pentingan investasi semata yang menghapuskan atau meniadakan nilai-nilai sejarah, nilai-nilai instrinsik, dan merusak kelestarian alamnya, maka di sinilah titik-titik robohnya konsepsi “segara-gunung”. Roboh pula seluruh tatanan pulau.
Sembilan teluk ini adalah hilir dari “Segara-Gunung”. Titik SEGARA-nya. Jika rusak di hilir, tinggal menunggu menjalar ketuk-tular ke daratan dan pegunungan mewabah sampai danau dan simpul-simpul air di kaki pegunungan, titik-titik ‘SEGARA-GUNUNG’ yang ada di hulu pulau.
Sembilan teluk ini benteng terdepan “SEGARA-GUNUNG”, benteng terdalamnya Sanghyang Catur Danu, empat danau yang menjadi pusat peradaban Bali Aga dan Bali Mula yang bertahan kukuh dari berabad di masa silam bertahan di kerimbunan dan kelebatan pohon pegunungan yang kini sudah mulai keok digunduli dan diserbu berbagai pengerusakan.
Sembilan teluk dan empat danau ini akan menjadi ruang pertarungan (KALA MASA) abadi di Bali dalam penegakan TRI ANGGA (tiga tubuh sekala niskala Bali) yang berwujud tatanan PARAHYANGAN, PALEMAHAN, PAWONGAN. Robohnya semua itu bisa dilihat pertama-tama di SEMBILAN TELUK YANG MENGITARI BALI tersebut.[T]
Catatan Harian 28 Oktober 2019