A. Gambaran Umum
Eka Kurniawan dalam lamannya menuliskan bahwa sebuah media sastra seharusnya lahir dari satu gagasan besar, dari kegelisahan, dan lahir dari satu visi mengenai kesusastraan macam apa yang ingin diciptakan. Selain itu, menurutnya tanpa hal itu beribu-ribu media hanya akan menjadi pajangan karya belaka untuk memuaskan ego para penulisnya. Bahkan dirinya hanya melihat bahwa media (baca: koran) merupakan jalan pintas bagi penulis pemula untuk “go national” atau penulis-penulis mapan untuk mengisi daftar hadir tahunan.
Walaupun demikian, seorang Eka Kurniawan juga menulis di media-media di mana karyanya tersebar, sepertiKompas, Jawa Pos, Tempo, Majalah Esquire, dan Media Indonesia. Terlepas dari apa yang dikatakan oleh Eka, sejatinya media juga memiliki peranan yang bisa dibilang sangat penting dalam kelahiran seorang penulis. Ada benarnya pula apa yang dikatakan Eka bahwa koran adalah jalan pintas penulis pemula untuk “go national”.
Beberapa penulis besar Indonesia termasuk juga penulis Bali bisa dibilang lahir dari sastra yang dimuat di media. Mereka dikenal berkat karya-karyanya yang terpampang di media. Bahkan seorang Agus Noor menetapkan jalan hidupnya sebagai penulis ketika cerpennya yang berjudul Kecoa dimuat di Harian Kompas tahun 1988.
Namun, dewasa ini keberadaan media khususnya koran yang memuat karya sastra semakin hari semakin berkurang. Beberapa koran taklagi memuat karya sastra karena kalah saing dengan dunia digital, termasuk media sosial. Mahalnya biaya cetak juga membuat beberapa koran menyiasatinya dengan mengurangi jumlah halaman. Dampaknya, halaman yang tak produktif, jika tak mau disebut sebagai halaman yang tak menghasilkan uang, dihilangkan. Halaman sastra salah satu yang menjadi sasaran penghilangan. Sebagai contoh, Bali Post yang dulu memuat cerpen berbahasa Indonesia, belakangan taklagi memuat cerpen berbahasa Indonesia. Redaktur cerpen Bali Post, Oka Rusmini mengatakan dihilangkannya halaman cerpen disebabkan kurangnya halaman. Bahkan, halaman sastra Bali pun sempat dihilangkan beberapa waktu dan kemudian dimunculkan kembali.
Saat ini di Bali media cetak yang dalam hal ini adalah koran yang masih memuat karya sastra, yaitu Bali Post yang memuat puisi berbahasa Indonesia, cerpen berbahasa Bali dan puisi berbahasa Bali; DenPost yang memuat cerpen, puisi, esai atau kadang kritik sastra berbahasa Indonesia; Tribun Bali yang memuat puisi serta esai; Pos Baliyang memuat puisi, cerpen, dan esai baik berbahasa Indonesia maupun berbahasa Bali. Juga ada tabloid Lintang yang khusus memuat karya anak, serta tabloid Tokohyang memuat “goro-goro” karya Putu Wijaya.
Untuk mengetahui sekilas keberadaan sastra di koran, penulis melakukan obrolan kangin-kauh dengan beberapa redaktur sastra di tiga media, yakni DenPost, Pos Bali termasuk dengan redaktur Mediaswari (sisipan Pos Baliberbahasa Bali), serta Tribun Bali.
Pertama kita mulai dari obrolan penulis bersama DenPostdengan redakturnya Made Sujaya. Berikut adalah petikan obrolanya. (keterangan: P: penanya, S: Sujaya)
P: “Om Swastistu, Pak. Boleh bertanya sedikit, Pak?”
S: “Nanyatentang apa?”
P: “Tentang sastra di DenPost. Bagaimana keadaannya sekarang? Bisa cerita sedikit?”
S: “DenPostmembuka ruang sastra sejak tahun 2005. Sejak mulai menerbitkan edisi Minggu. Awalnya hanya memuat cerpen dan belakangan juga memuat puisi dan esai. Tiga genre ini coba dipertahankan, yakni cerpen-puisi-kritik/esai. Memang, awalnya rubrik sastra di DenPost tidak begitu dilirik. Mungkin karena kesan sebagai koran nomor dua. Berbeda dengan Bali Post, induknya. Tapi, dua tahun terakhir, respons para pengarang dan penulis mulai bagus. Pada awalnya harus menghubungi penulis atau pengarang untuk ikut berpartisipasi mengirimkan karyanya. Akan tetapi, kini menurut saya banyak penulis yang berlomba untuk mengirim tulisannya. Bahkan, sekarang bisa dibilang kewalahan menerima “serangan” karya dari pengarang atau penulis.”
P: “Kuantitas karya yang masuk bagaimana, Pak?”
S: “Dari tiga genre sastra yang dimuat di DenPost, yang paling banyak peminatnya adalah puisi. Dalam seminggu, bisa sampai 10 penulis yang mengirim puisi yang mana setiap penulis umumnya mengirim 5—10 puisi. Sementara itu, cerpen dalam seminggu masuk ke meja redaksi sebanyak 5—8 cerpen. Namun, yang paling minim pengirim adalah kritik/esai. Oleh karena itu, dalam sebulan biasanya hanya ada dua esai. Bahkan kritik sastra lebih jarang (pengirimnya). Hal ini seperti menegaskan betapa susahnya menemukan penulis kritik sastra.”
P: “Kalau kualitasnya (bagaimana), Pak?”
S: “Dari segi kualitas, karya yang masuk memang harus diakui belum stabil. Terkadang ada karya yang bagus dan menarik, tetapi terkadang sangat lemah. Namun, keadaan ini tentu sesuatu yang biasa karena para pengarang yang mengirim tulisan umumnya sedang berproses.”
P: “Banyak penulis (asal) Bali yang ngirim (tulisannya), Pak?”
S: “Jika dilihat dari daerah asal penulisnya, memang kebanyakan justru lebih banyak berasal dari luar Bali.”
P: “Oh begitu. Kemudian, secara umum apakah bisa disebut media cetak masih dibutuhkan saat ini oleh pengarang untuk menampilkan karyanya?”
S: “Memang harus diakui kini media cetak memang bukan satu-satunya wahana bagi pengarang untuk menampilkan karyanya. Media cetak tidak lagi memegang hegemoni untuk menentukan kualitas karya seorang pengarang. Namun, melihat respons para pengarang yang tetap mengirim karya ke media cetak, saya optimis bahwa hingga saat ini (tahun 2019) media cetak masih dibutuhkan, tetapi tidak dalam pengertian satu-satunya wahana. Pengarang sekarang punya banyak pilihan untuk mempublikasikan karyanya. Kini pengarang bisa berkata kepada redaktur media cetak, “Jika dalam sebulan karya saya tidak dimuat di media Anda, saya akan tarik karya tersebut.” Dulu, pengarang tak seberani itu karena wahananya terbatas. Kalau menurut saya, pertanyaan pentingnya justru “Apakah media cetak masih merasa penting menyediakan halaman sastra?” Kenyataannya, banyak media menghilangkan halaman sastra karena dianggap tidak menguntungkan secara ekonomi karena tidak memberi dampak pada peningkatan iklan. Ketika masih ada satu-dua media setia menyediakan halaman sastra, tentu itu pantas dicatat.”
P: “Nah kalau itu bagaimana jawabannya, Pak?”
S: “Dua bulan lalu saya ke Jakarta. Saya mampir ke Taman Ismail Marzuki (TIM) di Cikini. Di sana ada toko buku bekas milik Jose Rizal Manua. Semua teman pengarang/penulis yang pernah ke TIM pasti kenal dia. Saya membeli beberapa buku lama dan sempat ngobrol lama dengannya. Saya tanya alasannya masih bertahan membuka toko buku bekas ketika orang taklagi membaca buku. Dia menjawab begini, “Memang orang taklagi membaca buku. Tapi, tempat seperti ini tetap harus ada.” Artinya apa? Ada tanggung jawab budaya dan tanggung jawab sejarah. Halaman sastra di media cetak itu juga bagian dari tanggung jawab budaya dan sejarah. Dengan segala keterbatasannya, DenPost masih menyadari tanggung jawab budaya dan sejarahnya itu. Paling tidak sampai hari ini (tahun 2019).”
Hampir sama dengan DenPost, Pos Bali juga memiliki beberapa permasalahan yang mirip. Apanya yang mirip? Begini kata redaktur sastra Pos Bali, Putu Gede Raka Prama Putra yang biasa dikenal dengan Tudekamatra. Sejak berdiri, Pos Bali memang menyediakan ruang bagi penulis/pengarang untuk menampilkan karyanya. Awalnya koran ini memuat sastra edisi Minggu yang sesuai namanya, dimuat pada hari Minggu. Belakangan ini, rubrik edisi Minggu digabung dengan edisi Sabtu, tetapi tetap dengan penamaan edisi Minggu. Berikut adalah hasil wawancara penulis dengan redaktur sastra Pos Bali. (keterangan P: penanya, R: Tudekamatra)
P: “Bli, sorry mengganggu. (Saya ingin) nanyasedikit tentang sastra di Pos Bali, dong! Perkembangannya bagaimana, juga kualitas dan kuantitas(karya)nya.”
R: “Ya jika dilihat dari kuantitas karya yang masuk bisa dibilang cukup ramai terutama untuk puisi. Namun, yang mengirim karya keseringan nama yang itu-itu saja. Puisi yang masuk dalam seminggu rata-rata 2—3 nama pengarang dan bahkan ada penulis yang mengirim puisi hampir setiap minggu. Sementara, untuk cerpen sebulan hanya 2—3 judul sehingga kadang-kadang halaman sastra tak memuat cerpen karena naskah yang masuk taklayak terbit atau memang takada naskah. Untuk esai, kami kekurangan naskah. Dalam sebulan palinghanya ada dua tulisan esai saja.”
P: “Lumayan-lah, Bli. yang penting masih ada yang berkarya. Lalu bagaimana dengan kualitasnya?”
R: “Khusus untuk puisi, beberapa penulis puisi ada yang kualitas karyanya kian meningkat dibandingkan kiriman sebelumnya. Dalam hal pemilihan dan pengembangan tema yang makin kreatif, misalnya. Dari sini pengarang juga belajar untuk mengembangkan karyanya. Kalau cerpen maupun esai yang masuk (kualitasnya) biasa-biasa saja.”
P: “Kalau asal penulisnya dari mana saja, Bli?”
R: “Penulisnya kebanyakan berasal dari luar Bali.”
P: “Oke bli. Oh ya, masih pentingkah koran menyediakan rubrik sastra, Bli?”
R: “Rubrik sastra di koran masih penting mengingat keberadaannya merupakan salah satu ruang untuk memberikan tempat bagi penulis sastra berkarya. Namun, akan menjadi sebuah dilema ketika ruang sastra tersebut dihadapkan dengan kontribusinya terhadap bisnis media. Rubrik sastra justru adalah cost, tak memberi income sehingga keberadaannya sering dianggap beban dalam bisnis media, apalagi di tengah kondisi saat ini di mana ongkos cetak terus menanjak dan oplah yang kian tak menentu.”
Media massa yang ketiga, yaitu Tribun Bali. Seperti yang sudah disampaikan di atas, Tribun Bali juga mempunyai rubrik sastra. Bagaimana dengan kondisi rubrik sastra dan karya-karya dalam rubrik tersebut di Tribun Bali? Berikut adalah hasil wawancara penulis dengan redakturnya, yaitu Ni Ketut Sudiani. (keterangan: P: penanya, U: Sudiani)
P: “Mbok Sud, bagaimana keadaan (rubrik) sastra di Tribun Bali? Apakahbaik-baik saja atau bagaimana, Mbok?”
U: “Sejak dua atau tiga tahun belakangan Tribun Bali membuka ruang sastra. Ada dua genre sastra yang dimuat, yakni puisi dan esai. Namun, esai yang dimuat takselalu esai sastra. Kita fokus ke puisi saja. Sejak awal membuka ruang sastra hingga kini, penulis yang ikut berpartisipasi khususnya dalam mengirimkan puisi cukup banyak. Bahkan tanpa diduga atau di luar ekspektasi, penulis yang berpartisipasi takhanya dari Bali, tetapi juga dari Aceh, Jawa, Kalimantan, bahkan Sulawesi. Sebagai media lokal, saya menganggap ini adalah sebuah kejutan apalagi sampai saat ini Tribun Balibelum mampu memberikan honor pada penulis yang mengirim karya. Ketika dimintai persetujuan, apakah karyanya bersedia dimuat walaupun tanpa honorarium, kebanyakan penulis mengatakan bisa. Dimuat (karyanya) di koran masih menjadi suatu kebahagiaan bagi penulis walaupun kini sudah masuk ke era digital dan media cetak semakin ditinggalkan.”
P: “Wahlumayan bagus, Mbok. Lalu kalau kualitas karyanyanya, Mbok?”
U: “Sebaran kualitas karya yang masuk beragam mulai dari pemula hingga yang sudah berusia lebih dari 40 tahun. Ini bermakna dari segi latar usia masih ada yang menyukai puisi dan masih menganggap ruang sastra di koran sebagai tempat berkarya dan masih memiliki prestise tersendiri. Penulis yang mengirim karya ke Tribun Bali ada yang masih pada level bawah hingga level atas. Menurut saya, itu adalah bentuk kesederhanaan dari si penulis dan membuktikan tak ada hierarki antara usia dengan media yang disasar. Namun, sayangnya, jika melihat dari daerah asal dan kegigihan mengirim karya memang harus diakui penulis Bali kalah jauh dengan penulis luar Bali. Penulis Bali yang mengirim karya ke koran ini hampir penulis yang itu-itu saja, seperti Winar Ramelan, Angga Wijaya, atau Esa Baskara. Kita juga tahu kalau di Bali dalam hal pemuatan sastra corongnya masih ke Bali Post apalagi dengan keberadaan Umbu Landu Paranggi yang takhanya sekadar melakukan hubungan media dengan pengirim karya, tetapi juga melakukan pembinaan.”
P: “Walaupun kini Bali Post telah mempreteli dengan sedemikian rupa ruang sastra yang ada, ya(?) Kemudian Bagaimana dengan jumlah karya yang masuk, Mbok?”
U: “Seminggu rata-rata redaksi menerima puisi dari tiga penulis dengan jumlah naskah bisa mencapai 30 karena satu penulis bisa mengirim hingga 10 puisi. Pada waktu tertentu, teman di media sosial juga berpengaruh terhadap jumlah karya yang masuk. Maksudnya jika si A karyanya dimuat di koran dan mempublikasikannya di media sosial miliknya, temannya akan ikut mengirim karya ke koran yang memuat karya si A sehingga dalam seminggu bisa masuk 7—8 nama.”
P: “Masih perlukah koran membuka ruang sastra?”
U: “Terlepas dari pandangan media cetak yang oplahnya mengalami penurunan dan banyak media digital yang bermunculan, tapi rasa printed memang beda dan ada kesenangan tersendiri. Sederas apapun gempuran media online dan sebebas apapun ruang digital menyediakan ruang takberbatas, kehadiran sastra di media cetak tetap penting. Mengapa? Tanpa bermaksud mendiskreditkan nilai online, masih luas dipercaya bahwa tingkat akurasi dan filterisasi penyajian di (media) cetak lebih rigid daripada (media) online. Hal ini dapat dimaknai bahwa dengan membaca (media)cetak, pembaca disuguhkan tulisan yang telah melalui sebuah proses penyaringan sehingga apa yang mereka konsumsi, setidaknya diharapkan memang akan bermanfaat—semoga—lahir dan batin. Sementara di (media) online, ada sekian jibunan informasi dan berita, di mana pembaca dituntut untuk menyeleksi dan memilih sendiri apa yang ingin dibaca. Proses memilah—belum lagi kerap terjerembab klik bait—tentu akan menguras waktu. Belum lagi tanpa disadari pembaca akan ‘singgah’ ke sana ke mari, tergoda oleh judul yang ‘memikat’. Sekali lagi, dalam konteks karya sastra, memang bukan berarti sebuah karya terbilang bagus jika dimuat di media cetak. Tidak sepenuhnya juga bisa dikatakan demikian. Berikutnya, mengapa sastra tetap penting hadir di media cetak, terkhusus yang terbit secara harian? Apabila diilustrasikan, sastra ibarat vitamin bagi rohani pembaca. Bayangkan jika setiap hari pikiran kita dicekoki dengan isu-isu politik, kriminal, kemiskinan dan hal-hal lain yang cenderung mengeringkan hari-hari kita. Nah, di sinilah peran sastra dan tulisan-tulisan kebudayaan untuk menyegarkan kembali daya imajinasi dan sisi humanis pembaca.”
Selain koran, di Bali juga ada beberapa saluran sastra yang cukup aktif. Ada media online, yakni tatkala.co dan balebengong.id. Belakangan ini, bukan hanya media arus utama atau media digital yang berkembang di Bali, melainkan ada pula zineatau fanzine yang juga memuat karya sastra. Sebut saja I Ni Timpal Kopi,Pemantjar, dan Mula Keto Zine.
Tatkala.co‘berkantor’ di Singaraja dengan penggeraknya sastrawan Made Adnyana Ole dkk. Media ini juga sangat fokus dengan keberadaan karya sastra, baik cerpen maupun puisi serta esai, baik esai sastra maupun nonsastra. Saat awal-awal terbentuk, pengirim sastra pada media ini sangat banyak sehingga bisa memuat genre sastra secara berkala dan konsisten.
Namun, belakangan, walaupun tatkala.co merupakan media online yang konsen terhadap karya sastra, nyatanya pengirim karya sastra justru semakin hari semakin berkurang. Pada bulan September 2019, misalnya, hanya memuat satu cerpen saja. Bahkan, pada bulan Juli dan Agustus 2019 tidak ada cerpen yang dimuat, sementara sebelumnya pada Juni 2019 ada tiga cerpen yang dimuat. Yang lebih memperihatinkan lagi, yiatu pada bulan Juli hingga awal Oktober 2019 tak ada satu pun puisi yang dimuat. Terakhir, tatkala.co memuat puisi pada bulan Juni 2019 dengan jumlah penulis sebanyak lima orang, Mei 2019 satu penulis, dan April 2019 sebanyak 2 penulis. Menurunnya kuantitas karya sastra yang masuk ke tatkala.co juga diakui oleh pemiliknya sendiri, Made Adnyana Ole. Berikut adalah kutipan singkat wawancara penulis dengan Made Adnyana Ole (keterangan: P: penanya, O: Made Adnyana Ole)
O: “Karya saatra makin sedikit, tapi banyak saatrawan nulis esai. Mungkin mereka tahu puisi dan cerpen takbegitu banyak pembacanya atau memang dalam menulis (puisi dan cerpen) memerlukan stamina khusus.”
P: “Yabutuh stamina khusus memang nulispuisi dan cerpen, Pak.”
Kendati demikian, keunggulan media ini adalah memiliki penulis tetap yang mengirimkan karya secara rutin, baik setiap minggu atau beberapa waktu sekali dengan ritme yang teratur, semisal Oka Rusmini dengan serial “Koplak”-nya yang terbit setiap minggu.
Sama seperti tatkala.co, balebengong.id juga memiliki penulis esai tetap, yakni Oka Rusmini dengan serial “Men Coblong” dan I Ngurah Suryawan. Selain itu, media ini juga menyediakan ruang puisi dan cerpen. Akan tetapi, pengirimnya juga sedikit. Seperti yang dikatakan pemiliknya, Luh De Suryani, dalam seminggu rata-rata ada satu karya sastra yang masuk. Namun, berdasarkan pengamatan penulis, terakhir, media ini memuat cerpen pada bulan Maret 2019. Sementara itu, puisi tidak ditemukan (dimuat).
Kabar sastra dari dunia zine juga nyaris sama dengan media arus utama atau online. Zine I Ni Timpal Kopihadir sejak tahun 2016 lalu dan sebagian besar dapat diakses pada laman laten.xyz. Pada terbitan pertama zine ini telah memuat cerita semisal “Telur, Lele dan Sejenisnya”; “Mas Rio dan Formula”; “Adipati Kera”; serta cerita lainnya. Kadang ada juga puisi, yang mana satu edisi memuat satu atau dua nama penulis. Namun, di beberapa edisi juga kadang takmemuat karya sastra. Walaupun demikian, keberadaan zine ini perlu dipertimbangkan karena sejatinya karya sastra memiliki medianya sendiri untuk tetap hidup.
Di samping sastra Indonesia modern, di Bali sejak tahun 1920-an juga muncul genre sastra Bali modern yang selanjutnya disingkat SBM. Seiring perkembangannya juga lahir beberapa media yang memuat karya SBM. Beberapa bertahan dan tidak sedikit juga yang tumbang seperti majalah Kulkul, Satua, atau Canangsari. Beberapa media yang memuat SBM yang masih bertahan yaitu Bali Orti (Sisipan Bali Post), Mediaswari (sisipan Pos Bali),Majalah Buratwangi, dan Suara Saking Bali.
Mediaswari mengikuti induknya, yakni Pos Bali yang muncul pada edisi Minggu, tetapi terbit hari Sabtu. Terdapat dua halaman khusus untuk tulisan berbahasa Bali dan didominasi oleh sastra. Satu halaman untuk cerpen dan puisi atau prosa liris, sedangkan seperempat halaman lainnya memuat esai. Dengan redaktur Ni Made Ari Dwijayanti, sekali terbit halaman ini memuat masing-masing satu cerpen, rata-rata tiga judul puisi, dan satu judul esai. Berikut adalah kutipan wawancara penulis dengan redaktur Mediaswari. (keterangan: P: penanya, A: Ni Made Ari Dwijayanti)
A: “Rata-rata setiap minggu ada dua pengarang yang mengirim karya, kadang seminggu bisa tiga pengarang, kadang satu pengarang, dan kadang bahkan takada naskah yang masuk.”
P: “Ada pengarang baru, Mbok?”
A: “Pengarang ini datang dan pergi bak hantu. Ada nama yang dulu sering mengirim, tiba-tiba menghilang. Namun, beberapa nama di antaranya juga ada nama baru dari kalangan mahasiswa maupun siswa.”
P: “Temanya apa saja, Mbok?”
A: “Cerpen yang masuk kebanyakan bertema kehidupan sosial. Sementara itu, esai sesuai keinginan penulisnya. Ada seorang penulis yang rajin ngirim esai sesuai dengan topik yang menarik pada minggu tersebut. Namun, sayangnya penulis tersebut gagal dalam eksekusi. Untuk puisi kebanyakan bertema seputar cinta dan alam.”
Selanjutnya, majalah sastra yang khusus memuat SBM, yakni Majalah Buratwangi. Majalah ini dikelola oleh pencinta sastra Bali modern dari Karangasem. Awalnya terbit bulanan sejak Maret 1999, dan kemudian terbit setiap enam bulan sekali dan berhenti terbit Desember 2006. Namun, tahun 2017 majalah ini kembali diterbitkan bekerja sama dengan Balai Bahasa Bali dengan frekuensi terbitan empat bulan sekali.
Majalah ini memuat karya sastra berupa cerpen, puisi, prosa liris, naskah terjemahan, esai, dan kadang naskah drama. Sekali terbit biasanya memuat 5—8 cerpen, 4—5 nama penulis puisi, 2—3 esai, satu prosa liris, dan satu naskah drama. Senasib dengan sastra Bali modern lainnya, majalah ini mengalami kekurangan kiriman naskah sehingga kerap memuat karya dari buku yang sudah terbit serta mendapat bantuan naskah dari Suara Saking Bali.
Selain Majalah Buratwangi, juga ada Suara Saking Bali yang merupakan saluran karya berbahasa Bali khususnya sastra dengan media online atau digital lewat laman suarasakingbali.com dan juga berbentuk e-majalah bulanan Suara Saking Bali yang disebarluaskan lewat kanal-kanal media sosial dalam format file pdf. Setiap karya yang telah dimuat di e-majalah, dimuat pula dalam laman suarasakingbali.com.
Wahana bersastra bagi sastra Bali modern ini digagas oleh sastrawan Bali Modern yang melihat sedikitnya saluran dalam berkarya. Setiap bulannya Suara Saking Bali menerima kiriman cerpen rata-rata 3—4 naskah, kiriman puisi dari 2—3 penulis, serta esai rata-rata 1—2 naskah. Keberadaannya mampu mengajak para mahasiswa dan siswa untuk ikut menulis. Satu edisi e-majalah ini memuat sebanyak empat cerpen, empat puisi, satu esai, kadang juga memuat cerita terjemahan dan prosa liris, serta cerita bersambung.
Namun, kelemahannya, dalam pemuatan karya di media ini tidak ada sistem seleksi dan hanya melewati proses penyuntingan dalam hal tatabahasa. Hal ini karena memang sejak awal pendiriannya diniatkan sebagai tempat bagi penulis sastra Bali modern, dari yang baru belajar menulis sampai yang senior untuk memajang karyanya di tengah rendahnya minat masyarakat Bali terhadap sastra Bali modern.
B. Semacam Tabulasi Data
Berikut tabel akumulasi rata-rata karya yang masuk ke redaksi dan pemuatan karya sastra di beberapa media di Bali, baik sastra Indonesia maupun sastra Bali modern.
tabel 1. Frekuensi Pemuatan Karya Sastra di Media Massa di Bali
Cara membaca tabel:
- Pada kolom Frekuensi Terbitan, jika ada (-) artinya frekuensi terbit kadang tidak tentu.
- Pada kolom Naskah Masuk (Dimuat Persekali Terbit), misalnya, angka 50 (4) artinya naskah yang masuk sebanyak 50, sedangkan yang dimuat 4 naskah per sekali terbit sesuai frekuensi terbitan.
Selanjutnya, berikut adalah grafik pemuatan karya sastra pada tiga media online,yaitu tatkala.co, balebengong.id, serta suarasakingbali.com.
grafik 1. pemuatan karya sastra di tatkala.co (Januari – 9 Oktober 2019)
grafik 2. pemuatan karya sastra di balebengong.id(Januari – 9 Oktober 2019)
grafik 3. pemuatan karya sastra di suarasakingbali.com(Januari – 9 Oktober 2019)
C. Semacam Analisis
Dari pemaparan di atas, kita tidak bisa mengatakan bahwa di Bali minat penulis mengirim karya sastra ke media cetak lebih sedikit daripada ke media online. Hal ini bisa dibuktikan dari grafik di atas yang mana pemuatan di media onlinecenderung mengalami penurunan, sedangkan pemuatan sastra di media cetak bersifat tetap. Mengutip pernyataan Sudiani, bahwa ada prestise berbeda yang dirasakan oleh penulis jika karyanya dimuat di media cetak meskipun dalam media cetak ada syarat batas panjangnya tulisan.
Selain itu, adapula fenomena bahwa media di Bali yang memuat karya sastra untuk sastra Indonesia kebanyakan diserbu oleh penulis luar Bali dibandingkan dengan penulis asal Bali sendiri. Hal ini bisa dilihat dari karya yang dimuat sebagian besar adalah karya penulis luar Bali dan juga bisa dilihat dari hasil wawancara dengan beberapa redaktur media massa, seperti yang sudah disampaikan di atas. Apakah ini salah atau tidak baik?
Terkait pemuatan sastra berbahasa Bali atau sastra Bali modern, belakangan ini juga mengalami kelesuan. Baru-baru ini, sekitar tahun 2014-an, kita akan menemukan nama-nama yang beragam yang bisa ditemukan di koran Bali Pos (rubrik Bali Orti). Banyak penulis muda yang bermunculan dan memperlihatkan bahwa semangat sastra Bali modern tengah menggebu-gebu saat itu. Tidak hanya itu, di media sosial semacam facebook juga kerap lalulalang penulis mengunggah karyanya, baik yang dimuat di media maupun yang langsung diunggah di media. Komentar pun bermunculan dan penuh dengan pujian. Itu menunjukkan ada sesuatu yang baik dalam sastra Bali modern walaupun kita belum sampai pada pembicaraan tentang kualitas karya. Namun, seiring berjalannya waktu, semangat itu seakan semakin pudar. Saya sendiri melihat lembaran koran atau majalah yang memuat sastra Bali modern seperti lembaran-lembaran tanpa gairah.
D.MengingatIstilah Ulat-ulatan Klangsah dalam Puisi Bali Modern
Mari kita berbicara tentang puisi Bali (puisi berbahasa Bali). Saya mendapat istilah ulat-ulatan klangsah dari budayawan Wayan Westa. Pada 30 Juli 2017, saya membagikan tautan puisi I Made Suarsa yang dimuat di Suara Saking Bali di grup facebook Suara Klungkung. Puisi ini dikomentari oleh Wayan Westa. Ia mengatakan ini bukan puisi, melainkan ulat-ulatan klangsah. Saya bertanya kenapa disebut ulat-ulatan klangsah, Ia menjawab (yang saya tulis apa adanya), “Begini bila ingin paham puisi yang baik, bacalah Chairil Anwar, Sapardi, Subagio Sastrowardoyo, Gunawan Muhamad, di Bali Raka Kusuma, Tusti Edi, Ketut Sumarta,.. dan satu penyair tua dari Singaraja, sy lupa namanya. Yang lain bukan penyair, pesilat kata2“
Saya membalas komentar tersebut, “Napi Pak Putu Sedana nggih sane ring Singaraja guru, penulis puisi Mati Nguda?” Kemudian saya lanjutkan dengan komentar, “Oh nggih tiang ngerti mangkin guru.” Ia menjawab, “Iyaaaa, itu dah, dahsyat itu dik. Kalau puisi mudah ditebak, isinya nuturin..ya apalah artinye…hehehe.”
Percakapan tersebut kemudian ditanggapi penulis puisi Bali yang mengaku mengikuti gaya Made Suarsa, yakni Made Suar-Timuhun, “Beh uli pidan tiang bakat nuutang gayane pak Made Suarsa, berarti tiang pelih guru Wayan Westa? Bakat ngulat klangsah.”
“Hehehe, tan ja iwang, sebagai karya kreatif sy tak buang2 waktu untuk baca yg gituan, biarkan diapresiasi teman2 lain. Nulis puisi berat, memahami lebih berat,…yg menyatakan gampang…layak dipertanyakan,” kata Wayan Westa membalas komentar Made Suar-Timuhun.
Pada komentar lain, muncul Idg Trinandita dengan komentar sanggahan, “Mantaf pak Wayan Westa. Yening kenten jeg liu sampun nak takut nulis puisi….. Nyanan nikaang ngulat klangsah… Tapi mantaf niki masukannya… Yening dados tunas indayang contoin siki puisi sane patut…. Ampura tiyang meled sahuninge…”
Di bawahnya, Wayan Westa berkomentar, “Sy tak penyair, tapi jiwa yg haus bisa merasakan mana air kemasan dan mana air anakan…”
Beberapa hari berikutnya, Idg Trinandita menulis puisi dengan judul “Ulatan Klangsah” yang diunggah di grup facebook Suara Saking Bali. Berikut adalah puisi tersebut.
Ulatan klangsah
Idupe ring Bali
Tan lempas teken ulatan klangsah
Anggo ngae pengetisan krame
Ritatkale wenten panca yadnya
Ulatan klangsah
Wantah mabuat pisan
Pinake piranti
Nyujur Sangkan Paraning Dumadi
Saking manah subakti
Ring Hyang Parame Kawi
Melarapan manah suci
Ngaturang pejati
Ulatan klangsah
Pinaka bukti
Ring sajeroning ati
Dumogi ajeg lestari…..
2 Agustus 2017
Pada kesempatan ini saya tidak ingin ikut memberikan pandangan, membantah, ataupun mengamini percakapan di facebook ini. Saya hanya menuliskan ulang dan memunculkannya kembali bahwa ada istilah ulat-ulatan klangsah dalam puisi Bali modern. Saya berharap ini bisa menjadi bahan diskusi.