Pada buku “Paduan Wacana & Apresiasi Musikalisasi Puisi”, dijelaskan arti Muspus menurut pengarangnya Hamdy Salad bahwa Musikalisasi Puisi atau Muspus adalah segala bentuk dan jenis karya musik yang digubah, dibuat, dan disusun berdasarkan teks puisi yang ditulis penyair sebagai karya sastra dan telah dipublikasikan sebagai karya puisi secara umum.
Yang sering menjadi permasalahan dalam perkembangan Muspus hari ini di Bali adalah bukan pada ranah pembedaan antara Muspus dan lagu yang menyerupai bentuk Muspus. Sedangkan saya sendiri memang masih bingung bagaimana bentuk Muspus aslinya? Karena Muspus begitu blur dan samar, disini ruang Muspus mempunyai daya cipta yang begitu luas, karena pada kenyataanya tidak ada hal-hal yang harus diikuti secara teori untuk mencipatakan Muspus.
Tapi pada hari ini khususnya di Bali ruang Muspus yang begitu luas itu hampir tak terlihat pada kelompok-kelompok pegiat Muspus. Mungkin memang ada beberapa kelompok yang mempunyai kesadaran lebih akan hal itu, tapi ada juga beberapa kelompok yang terdoktrin oleh ketentuan bentuk Muspus oleh kelompok yang mereka anggap berhasil membawakan Muspus.
Ada kecendrungan kelompok satu dengan kelompok lainya semacam mengikuti bentuk dan jejak dari kelompok yang dianggapnya berhasil, padahal pada kenyataanya ruang Muspus itu tidak seperti itu karena pada satu sisi tidak ada tradisi atau aturan Muspus yang tertulis dengan sah.
Kecendrungan daya cipta semacam itu mungkin memang menjadi baik pada satu sisi, untuk sekiranya menjadi pemikat agar pegiat Muspus semakin banyak. Tapi pada satu sisi menjadi masalah juga, karena setelah merasa mengikuti dan diikuti tidak ada sikap tegas setelah itu. Dan kasus-kasus semacam ini sering sekali terjadi jika ada perlombaan Muspus, jika melihat lomba Muspus hampir semua peserta meniru apa yang dianggapnya berhasil oleh terdahulunya kemudian diikuti tanpa ada sebab dan akibatnya untuk mencari tahu lebih lanjut.
Apalagi ditambah ruang bergerak Muspus hari ini bisa dikatakan hampir tidak ada, belum bisa saya mengatakan bahwa Muspus menjadi kubutuhan khusus bagi kelompok pegiat Muspus itu sendiri. Mungkin ada beberapa kelompok yang mencoba mengadakan pentas Muspus dengan tiba-tiba tanpa ada angin dan hujan, tapi itu hanya sekali dua kali setelah itu selesai. Jika demikian, bagaimana misalnya jika sekarang saya memposisikan diri sebagai penikmat Muspus. Kelompok tertentu sering kali mengatakan bahwa Muspus itu mempunyai pendengarnya sendiri. Soal itu mungkin saya paham, demikian pula hal lainya juga pasti demikian. Jangankan Muspus, makanan saja pada hari ini bisa mempunyai penikmatnya sendiri.
Hal-hal atau pengambilan sikap seperti itu mungkin bisa menjadi keresahan saya pribadi sebagai penikmat Muspus, selain karena rasa penasaran saya tentang kelompok itu mengeksplor musik. Ada juga rasa keingin tahuan saya tentang pembawaan sebuah karya puisi penyair kemudian direspown dengan bentuk lain salah satunya Muspus, tentu saja ada proses Panjang pastinya untuk mengubah bentuk puisi menjadi sebuah Muspus. Akan lebih menarik rasanya ketika saya menonton sebuah pentas Muspus kemudian mengetahui pula rekaman jejak kelompok tertentu dalam berproses.
Hal demikianpun juga sangat jarang saya perhatikan di kalangan Muspus itu sendiri. Mungkin bagi saya karena kurangnya ruang-ruang yang kolektif untuk kelompok Muspus, tapi jika benar itu adalah titik fokus dari masalahnya. Kemudian dimana letak kesadaran sebagai kelompok pegiat Muspus untuk memperluas jangkauan pendengarnya? Tentu saja jawaban bahwa Muspus itu mempunyai penikmatnya sendiri kurang tepat untuk menjawab pertanyaan ini. Karena saya sendiri menyadari bahwa kemauan penikmat pun selalu menginginkan hal baru, dan contoh kecil yang terjadi misalnya pada diri saya adalah seperti lagu-lagu keseharian yang saya dengarkan.
Saya mengalami perkembangan soal lagu, misalnya ketika jaman SMP saya mendengarkan lagu yang Pop sekarang sudah mulai mendengarkan lagu yang agak sedikit keras seperti Metal atau Rock Alternatif. Itu bagi saya adalah contoh perkembangan yang pasti dirasakan dan dialami oleh tiap orang karena rasa kaingin tahuan dan kesenanganya mendengar musik, kemudian apakah kelompok Muspus tertentu melakukan pembacaan semacam itu? Kalau yang saya takutkan dari diri saya sendiri sebagai penikmat Muspus adalah ketika saya sudah mulai nge-fans oleh satu kelompok Muspus tapi kemudian pembawaan Aransemenya monoton begitu saja. Yang saya takutkan adalah saya mulai bosan dan mulai berpaling ke hal lain. Itu kan bisa dikatakan bahwa kelompok tertentu menjadi alat mematikanya gerakan Muspus secara perlahan, karena tidak melakukan perkembangan. Dengan demikian penikamtnya satu persatu mulai bosan dan lebih memilih musik dangdut misalnya. Karena misalnya seperti dangdut-pun mengalami hal perkembangan tersebut, saya mungkin tidak begitu paham soal sejarah musik.
Tapi jika dipikir-pikir kembali benar saja bahwa dangdut mengalami hal perkembangan, dulu ketika saya SD sepulang sekolah pasti dapat saja mendengarkan lagunya Rhoma Irama, dengan alunan musiknya yang kadang mempengaruhi jalan saya seperti kuda laut. Karena bunyi gendangnya yang seperti memantul. Sedangkan musik dangdut hari ini, sudah banyak sekali variasinya. Semacam diremix menjadi House Musik Funky (DJ). Yang membuat saya ketika mendengarnya-pun tak karuan, tapi penikmat dangdut tetaplah penikmat dangdut. Kesadaran seperti itu mungkin harus lebih dibesarkan mengingat bentuk Aransemen Muspus hari ini hampir seragam bentuknya. Dengan demikian untuk nge-fans dengan satu kelompok Muspus saja saya tidak bisa hari ini, karena hampir serupa bentuk dari segi Musiknya. Yang mana mau saya idolakan?
Kalau saya tafsirkan sendiri, seperti halnya saya menulis ini dengan segala tafsir saya sendiri. Tentu saja mungkin bagi saya bahwa titik permasalahnya adalah kurangnya ruang kegiatan atau eksploratif pada Muspus itu sendiri, dan kurangnya antar pegiat untuk saling bertatap muka kemudian membicarakan bagaimana Muspus hari ini. Karena ruang yang bisa menyediakan hal tersebut adalah lomba saja, yang tentunya dari jauh hari ketika berproses yang disiapkan adalah ego yang begitu tinggi kemudian rasa memiliki Muspus yang dibungkus dengan perasaan senioritas.
Sehingga ketika bertemu pada ruang perlombaan yang terjadi hanya “Sapa Ala Semut”, ketawa-ketawa lalu setelah itu selesai. Mungkin akan berbeda jadinya ketika Muspus memang disiapkan untuk dipersentasikan, atau menggelar parade Muspus dan sharing proses misalnya. Mungkin itu bisa menjadikan hal dan pengetahuan baru bagi kelompok lain. Dan menjadikan Muspus makin berkembang, bukan hanya semangat saat lomba saja. Karena terkadang kelompok yang sering kali kalah dalam perlombaan selalu merasa gagal menjadi Kelompok Muspus lalu berhenti berMuspus. Sudah menjadikan penikmatnya pergi perlahan, lalu kemudian mematikan perlahan pula kelompok yang lainya.
Mungkin kelompok “Senja Di Cakrawala” adalah salah satu dari sebagaian kelompok yang menyadari hal tersebut, ada kesadaran bahwa keresahan mereka terhadap dunia yang mereka geluti. Karena kelompok ini adalah salah satu Pegiat Muspus yang begitu aktif di Denpasar, bahkan sering kali menjuari perlombaan Muspus dari berbagai kelas dari se-Kecamatan sampai Provinsi. Bahkan saya pernah diceritakan oleh salah satu anggotanya bahwa sebelum mengikuti lomba tersebut mereka hanya bersiap dan berlatih hanya 2-3 hari sebelum perlombaan.
Dan hasilnya sangat membanggakan bagi mereka ketika meraih juara 1. Tentu sudah tidak diragukan lagi bagaimana mereka dalam Permuspusan Duniawi khususnya di Denpasar bahkan Bali. Kemudian apakah ini adalah contoh keresahan mereka ketika melihat Mupus hari ini, semoga saja. Ketika dihadapkan dengan ruang yang bisa dikatakan kolektif, kolektif dari segi acaranya kemudian dari segi pengkonsepanya hingga disiapkanya tim penulis yang dibebaskan untuk menuliskan proses untuk kelompok ini. Kebetulan saya adalah tim penulis dari kelompok Senja Di Cakrawala. Semoga saja sikap yang diambil dalam mengahadapi hal apapun selalu disertai dengan pembacaan yang Panjang.
Karena saya turut senang juga ketika melihat kelompok ini begitu sibuknya menyiapkan konsep pentasnya nanti di acara “Apresiasi Sastra” Festival Bali Jani untuk tanggal 8 November. Begitu semangatnya pula saya mendengarkan berbagai cerita yang dilontarkan dari bebrapa anggotanya ketika menceritakan konsepnya dan pembacaanya terhadap Muspus. Walaupun saya tidak begitu paham apa sebenarnya konteks yang dia ceritakan, tapi saya merasa senang dan dapat tertawa bersama saat berdiskusi.
Karena yang saya peribadi perlukan sebagai penikmat Muspus adalah rekam jejak proses dan pola berpikir apa yang hadir untuk menciptakan satu karya tersebut. Dan saya karena lebih memilih mencoba berserius dalam kesenian teater akhirnya mencoba menyambungkan-menyambungkan saja pembicaraan dalam konteks berkarya ala anak muda. Sehingga menimbulkan percakapan yang hangat dan cara berpikir baru dalam berproses. Tugas saya sebagai teman yang baik pasti mendengarkan dan mencoba memberikan pandangan baru dalam berproses, pun demikian dengan mereka. Mereka selalu memberikan kisah dan hal yang baru bagi saya. Serta keterbukaan mereka dan kehangatan kelompok mereka dalam menerima seseorang, “lho malah curhat”.
Jadi mereka mencoba mengkonsepkan dan mengobservasi beberapa puisi yang sudah disiapkan kemudian mencoba melakukan suatu hal baru dalam kelompok mereka sendiri. Menyusun dan mengaitkan dari satu masukan dan diskusi mereka pada anggota mereka, kemudian akhirnya kemarin sempat bercerita kepada saya bahwa mereka akan membuat konsep pentas yang “ala-ala Vintage gitu dah”, atau seperti style anak muda jaman 90-an, itu dari segi kostumnya. Kemudian dari segi panggung mereka mencoba merubah suasana panggung tersebut menjadi ruang tamu. Saya tidak tahu jelas bagaimana detail ruang tamu yang mereka susun karena mereka sendiri juga masih ingin mengembangkan idenya yang sudah disepakati bersama. Karena nanti mereka akan pentas di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Art Centre.
Nantinya mereka akan Memusikalisasikan Puisi dari Wayan Esa Bhaskara berjudul “Hujan” dan “Sekolah Hari Pertama” karya Frischa Aswarini. Dari pembicaraan mereka menyatakan bahwa, pemilihan puisi itu sendiri dengan pertimbangan memilih dua jenis puisi yang dirasa berbeda untuk dibawakan agar tidak melulu mendayu-dayu. Menurut mereka juga bahwa tantangan terbesar dari memusikalisasikan puisi adalah memaknai puisi itu sendiri karena multitafsirnya. Kedua puisi yang sama-sama berbicara tentang waktu, hanya saja pada puisi “Hujan” lebih pada sebuah penantian sampai habis waktu, begitu ujar mereka.
Sedangkan untuk puisi “Sekolah Hari Pertama” lebih pada perjalanan keseharian yang menuai harapan. Sebagian besar konsep musikalisasi ini dengan dasar percobaan, misalnya jika genre musik dibuat berbeda dari biasanya. Karena pada biasanya mereka memusikalisaikan puisi dengan genre Balad, kemudian akan menjadi seperti apa dan seberapa jauh berhasilnya Senja Di Cakrawala ini menyajikanya. Nantinya puisi “Hujan” dengan genre Pop Blues Alternatif dan puisi “Sekolah Hari Pertama” bergenre Folk Alternatif. Mereka berharap juga dengan percobaan ini semoga Muspus menjadi lebih bervariatif.
Untuk penutup tulisan ini jangan lupa datang dan ramaikan nanti acara “Apresiasi Sastra” dalam rangkaian Festival Bali Jani, tanggal 8 November 2019. Di Taman Budaya Art Centre, Denpasar, Bali. Mencoba sama-sama menyaksikan dan melakukan pembacaan ulang tentang sudah sejauh mana “Bali Jani”? Sebagai penutup pula saya pribadi ingin mengutip beberapa kata dari teman-teman Senja Di Cakrawala bahwa “Apapun itu, semua hal alangkah baiknya dikerjakan dengan sederhana termasuk bermusik”, ujar Yoga salah satu anggota Senja Di Cakrawala.
Dengan demikian saya berpikir pula sesederhana apa kira-kira nantinya pementasan Muspus mereka? Saya pun tak dapat membayangankan kalau tidak menyaksikanya langsung. Atau jangan-jangan kutipan tersebut mempunyai makna lain seperti misalnya apa memang harus sesedrahana itu melihat realitas dan perkembangan Muspus hari ini? Sebab “Ibarat jantung, musik adalah kehidupan. Memiliki detak dan ritme”, ujar Hanny salah satu anggota Senja Di Cakrawala. Betapa tegangnya ketika melihat konteks kutipan yang seakan berada pada maksud berbeda, yang satu sederhana yang satunya lagi menganggap bahwa musik adalah detak jantungnya. Ada ketegangan yang belum usai hanya dalam proses ini untuk Muspus. Mari sama-sama menjadi pengapresiasi [T]