16 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

“Menanam Puisi di Emperan Matamu” – Melihat Esa Menanam Kata-Kata Tak Biasa

Ulfiatul KhilmibyUlfiatul Khilmi
November 2, 2019
inUlasan
“Menanam Puisi di Emperan Matamu” – Melihat Esa Menanam Kata-Kata Tak Biasa
46
SHARES

Mengulas buku antologi puisi berjudul Menanam Puisi di Emperan Matamu karya Wayan Esa Bhaskara adalah salah satu pengalaman berharga bagi saya. Pasalnya ini adalah kali pertama bagi saya untuk belajar mengulas sebuah buku sastra. Buku dengan sampul dominan berwarna biru dan putih ini memiliki tebal kurang lebih 106 halaman, dengan jumlah puisi yang termuat sebanyak 99 judul. Buku puisi ini diterbitkan di bawah naungan Mahima Institute Indonesia.

Hal pertama yang langsung menarik perhatian adalah sampul bukunya. Pada sampul bukunya terdapat gambar seorang wanita yang hampir tenggelam dalam air dengan menyisakan bagian mata sampai ujung kepala. Jelas di sini ada alasan mengapa bagian mata tidak ikut terendam. Sesuai dengan judul Menanam Puisi di Emperam Matamu, terdapat kata ‘mata’ yang terlihat menjadi fokus penulis. Mengapa harus bagian mata? Barangkali mata (penghilatan) adalah indera yang paling sering kita gunakan dalam merasakan, menilai, dan memahami berbagai macam perisiwa. Untuk itu, Esa sengaja memilih ‘mata’ sebagai perihal identik dengan isi antologi puisinya. Mungkin, mata bagi Esa adalah cara ia menemukan puisi-puisi miliknya ini.

Hal tersebut juga terlihat dalam judul buku Menanam Puisi di Emperan Matamu yang sengaja dipilih. Menanam Puisi di Emperan Matamu kiranya dapat dipahami setelah melihat isi buku ini sendiri, yakni dapat dilihat dari perspektif sebagian besar judul-judul puisi Esa dalam buku ini, seperti “Meminjam Sore”, “Lawar Buatan Nenek”, “Siang”, “Pagi”, “Malam”, “Bebek-Bebek Danau”, “Gula-gula Kapas”, “Ritual Minum Teh”, “Sambal Matah”, serta masih banyak judul-judul yang bersumber dari lingkungan yang dekat dengan kita, tetapi sering terabaikan. Pada buku antologi Puisi ini, Esa berniat menghadirkan hal-hal tersebut. Dengan demikian, Menanam Puisi di Emperan Matamu adalah kumpulan penghilatan mata seoarang penyair Esa yang terangkum dalam buku Antologi puisi.

Lebih dalam lagi, kita akan menemukan bahwa ada hal-hal yang menarik setelah membaca buku antologi puisi ini. Hal-hal yang terasa mencolok, tidak biasa, dan terkesan disengaja oleh Esa, yakni pemilihan diksi. Ada dua macam keunikan diksi yang bisa dilihat dari buku ini. Esa menyelipkan diksi tidak biasa dan diksi kaku yang ingin dileburkan dalam baris-baris puisi. Diksi-diksi yang jarang kita temui penggunaanya dalam karya sastra. Diksi yang cenderung digunakan dalam tulisan ilmiah, seperti artikel.

Dalam beberapa puisinya Esa sengaja memasukkan diksi tidak biasa, seperti Lelaron(bait ke-3, baris ke-3, puisi Sajak Tiga Bagian), Cecabang (bait ke-2, baris ke-4, puisi Sajak Tiga Bagian), dan Tetiba (bait ke-2, baris ke-3, puisi “Galungan”). Mari kita bahas mengenai diksi asing yang Esa selipkan di puisinya. Diksi ini sekilas seperti diksi baru, tetapi jika ditelurusi melalui proses pembentukkan kata maka akan ditemukan bahwa diksi ini tidak baru hanya saja belum sering digunakan, baik dalam lisan maupun tulisan. Diksi ini mengalami proses reduplikasi (pengulangan) sebagian yang mirip dengan proses pembentukan ‘lelaki’ dari kata jamak ‘laki-laki’ atau ‘bebunga’ dari kata ‘bunga-bunga’. Jadi diksi ‘cecabang’ adalah bentuk jamak dari ‘cabang-cabang’ begitupun dengan ‘lelaron’ atau ‘tetiba’. Hanya saja dediksi ini jarang digunakan dan Esa sengaja menyelipkan ini ke dalam puisi dengan tujuan khusus. Satu-satunya cara untuk mengetahui adalah menilik latar belakang penyair sendiri. Siapakah Esa?

Wayan Esa Baskhara selain seorang penulis yang bergaul di komunitas Mahima, Singaraja. Ternyata juga seorang pengajar bahasa Indonesia. Maka, kemungkinan terbaik yang bisa disimpulkan, yaitu Esa sengaja menciptakan “diksi baru” tersebut dengan motif ingin berkontribusi pada perkembangan kosakata bahasa Indonesia. Ia ingin membuktikan bahwa kata-kata tidak berbatas pada apa yang sudah biasa digunakan. Ia ingin mengenalkan banyak variasi kata lagi. Sebab jika melihat latar belakangnya yang menjadi seorang pengajar, rasanya tidak mungkin dediksi itu dihadirkan tanpa ada alasan tertentu.

Masalah diksi dalam puisi Esa tidak berhenti menciptakan kesimpulan-kesimpulan baru, ditambah soal diksi-diksi kaku yang Esa masukkan ke dalam baris-baris puisi. Kata-kata yang amat jarang berada dalam sebuah puisi romantis. Hal ini menjadi kontradiktif dengan tema-tema yang ia ambil. Puisi Esa adalah puisi yang lahir dari seorang yang berlatar belakang dekat dengan alam, puisi yang lahir dari cerita-cerita kecil yang begitu tenang. Sungguh terasa kontra apabila ia memasukkan diksi-diksi kaku dan beku. Diksi seperti itu sebenarnya pernah diterapkan oleh penyair Afrizal Malna yang memiliki latar belakang kehidupan kota. Puisi Afrizal kebanyakan tidak berangkat dari alam, tetapi berangkat dari kehidupan kota dan segala kekakuannya. Dalam kasus ini diksi kaku terasa pas dalam puisi Afrizal. Kita ambil contoh judul puisi “Arsitektur Hotel” miliknya tahun1984. Diksi kaku “arsitektur” terasa pas dengan tema yang menceritakan segala kondisi kota yang identik dengan hal berbau “kaku”.

Dalam permasalahan ini, beberapa diksi kaku milik Esa serasa tidak pas dengan tema yang ia ambil, seperti diksi seafood dan de javu pada puisi “Ikan Bakar” dan “Seporsi Sore” atau diksi bermetamorfosa pada puisi “Sajak Sepotong Rindu”. Dalam kasus ini diksi pilhan Esa terlalu kaku untuk gaya puisi yang berlatar belakang puisi romansa. Seakan saya melihat baris-baris puisi milik Esa adalah tempat bereksperimen dengan kata-kata. Bagi saya kata-kata itu tidak sepenuhnya menyatu. Tiap membaca selalu ada yang mengganjal di perasaan. Selalu saya terpikir, “Oh harusnya begini! Pakai kata ini! tidak begini!”. Namun, tidak semua diksi kaku ternyata tidak bisa menyatu.

Beberapa diksi Esa ada yang mampu melebur, seperti diksi café pada puisi “Di Kota Asing” Ini atau diksi prototype pada puisi “Perang”. Dalam hal ini Esa mampu membuat diksi kaku tersebut hadir untuk menggambarkan suasana dalam puisinya. Kata café dalam kasus ini mampu menjadi ciri hadirnya suasa kota dalam puisi “Di Kota Asing Ini”, atau prototype yang mampu melebur dalam puisi “Perang”. Inilah kemudian yang masih menjadi PR untuk Esa dalam eksperimen kata-katanya: meleburkan kata-kata kaku agar mampu menggambarkan isi dan tema puisi miliknya. Esa boleh saja beranggapan tidak ada aturan dalam memilih kata seperti apa. Patut kita hargai hal tersebut, tetapi tetap dengan batasan tidak mengusik kenikmatan pembaca.

Dalam sebuah karya sastra biasanya selalu termuat beberapa hal yang menggambarkan siapa penyair. Begitupun dalam buku ini. Latar belakang penulis secara sadar atau tidak akan muncul dalam karyanya. Wayan Esa Baskhara adalah pemuda asli Bali yang berasal dari Kabupaten Tabanan. Hal tersebut sangat nampak pada beberapa unsur budaya miliknya yang ia masukkan dalam buku puisi ini, seperti puisi “Tarung Jago” (tradisi mengadu ayam jago yang biasa dilakukan oleh kaum pria di Bali ), “Galungan” (hari raya masyarakat Hindu bali), “Tumpek Landep” (perayaan setelah hari Saraswati), “Saraswati” (perayaan atas turunnya ilmu pengetahuan), “Nyepi” (hari raya agama Hindu), “Sambal Matah” (sambal khas Bali) dll. Kita tahu bahwa beberapa contoh judul di atas memiliki hubungan atau merupakan bagian budaya Bali sendiri. Esa mungkin sengaja menyisipkan budaya Bali karena memang budaya Bali telah menjadi bagian dari kehidupannya. Untuk itu, sedikit banyak dari buku antologi puisi Menanam Puisi di Emperam Matamu sudah dapat dibaca latar belakang penyair yang tema puisinya berhubungan dengan budaya miliknya.

Secara garis besar membaca antologi puisi Menanam Puisi di Emperan Matamu karya Wayan Esa Baskhara seperti mendengar si penyair bercerita soal dirinya. Bagaimana cara Esa memandang bagian-bagian hidup, pengalaman, dan hal-hal sederhana. Bagaimana Esa merekam jejaknya sendiri dalam puisi dengan keberanian bereksperimen kata-kata. Bagaimana sosok Esa menghadirkan diri dalam puisi, sosok pengajar dan penyair. Dalam buku ini Esa beberapa kali mengangkat kisah-kisah mengenai pagi, siang, malam, serta orang terkasih. Bagi saya, puisi Esa ini adalah gambaran seorang Esa yang berbicara dengan romantis. Terlepas dari ketidaksetujuan akan beberapa hal, saya h tiap-tiap lembarnya. Membaca dimanapun sesempatnya, di kelas, kantin kampus, lapangan Renon, juga kost-an, rasanya tetap sama: menyenangkan. Saya merasa Esa seperti sedang mendongeng dan bercerita soal perjalanan hidupnya kepada saya. Berikut kutipan puisi milik Esa yang mengena pada perasaan saya.

Nyeri-nyeri pernah buat ibu cemas

Dan tiap kali aku tertawa

Lututku luka

Ia kembali berujar, “jangan cepat besar ya, Nak!”

(2015)

(“Luka di Lutut Kiri” hlm.17)

Puisi milik Esa menyajikan banyak hal sederhana yang sering kita lupa. Bagaimana waktu berjalan, sepertinya Esa melihatnya dengan sangat jeli. Dari pagi, siang, dan malam tidak satupun yang luput jadi puisi. Hal-hal sederhana yang mampu ia ubah menjadi rentetan puisi yang mampu membuat kita berdebar tiap kali membacanya. Setelah membacanya, beberapa puisi Esa membuat saya bertanya, “Puisi untuk waktuku sendiri seperti apa? Apa pagi kali ini kesiangan? Apa siang kali ini ketiduran? Apa tidur kali ini kemalaman?”

Tags: BukuPuisiresensi buku
Previous Post

Kebudayaan Keluarga Bali dalam “Antologi Cerpen Belog” Menurut Kacamata Pendatang

Next Post

Membaca Bagaimana Peristiwa ‘65 Disembunyikan Lewat Karya Sastra

Ulfiatul Khilmi

Ulfiatul Khilmi

Mahasiswa Semester III Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, UniveristasUdayana. Lahir di Lamongan, Jawa Timur pada tahun 1999. Pemudi yang baru menjejaki dunia Seni dan Sastra sejak satu tahun belakangan. Ikut tergabung dalam Teater Orok Unud dan Teater Cakrawala.

Next Post
Membaca Bagaimana Peristiwa ‘65 Disembunyikan Lewat Karya Sastra

Membaca Bagaimana Peristiwa ‘65 Disembunyikan Lewat Karya Sastra

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

‘Prosa Liris Visual’ Made Gunawan

by Hartanto
May 15, 2025
0
‘Prosa Liris Visual’ Made Gunawan

SELANJUTNYA, adalah lukisan “Dunia Ikan”karya Made Gunawan, dengan penggayaan ekspresionisme figurative menarik untuk dinikmati. Ia, menggabungkan teknik seni rupa tradisi...

Read more

Mengharapkan Peran Serta Anak Muda untuk Mengembalikan Vitalitas Pusat Kota Denpasar

by Gede Maha Putra
May 15, 2025
0
Mengharapkan Peran Serta Anak Muda untuk Mengembalikan Vitalitas Pusat Kota Denpasar

SIANG terik, sembari menunggu anak yang sedang latihan menari tradisional untuk pentas sekolahnya, saya mampir di Graha Yowana Suci. Ini...

Read more

‘Puisi Visual’ I Nyoman Diwarupa

by Hartanto
May 14, 2025
0
‘Puisi Visual’ I Nyoman Diwarupa

BERANJAK dari karya dwi matra Diwarupa yang bertajuk “Metastomata 1& 2” ini, ia mengusung suatu bentuk abstrak. Menurutnya, secara empiris...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

May 13, 2025
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
45 Tahun Rasa itu Tak Mati-mati: Ini Kisah Siobak Seririt Penakluk Hati
Kuliner

45 Tahun Rasa itu Tak Mati-mati: Ini Kisah Siobak Seririt Penakluk Hati

SIANG itu, langit Seririt menumpahkan rintik hujan tanpa henti. Tiba-tiba, ibu saya melontarkan keinginan yang tak terbantahkan. ”Mang, rasanya enak...

by Komang Puja Savitri
May 14, 2025
Pendekatan “Deep Learning” dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila 
Khas

Pendekatan “Deep Learning” dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila

PROJEK Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P-5) di SMA Negeri 2 Kuta Selatan (Toska)  telah memasuki fase akhir, bersamaan dengan berakhirnya...

by I Nyoman Tingkat
May 12, 2025
Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space
Pameran

Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space

JUMLAH karya seni yang dipamerkan, tidaklah terlalu banyak. Tetapi, karya seni itu menarik pengunjung. Selain idenya unik, makna dan pesan...

by Nyoman Budarsana
May 11, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

May 11, 2025
Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

May 11, 2025
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co