Edisi 21/10/19
KOPLAK menyandarkan tubuhnya di kursi depan teras depan rumahnya. Berita-berita yang muncul belakangan ini benar-benar menganggunya, yang paling mengangetkan adalah penusukan terhadap Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto. Pelaku penusukan terhadap Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto, SA alias AR, memerintahkan anaknya untuk melakukan serangan kepada personel kepolisian.
“Anaknya menggunakan pisau ini dan sudah diperintahkan oleh Abu Rara untuk juga melakukan serangan terorisme ke aparat kepolisian,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo di Gedung Humas Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (17/10/2019). Dedi menuturkan, hasil pengembangan pemeriksaan terhadap SA dan istrinya, FA, menunjukkan bahwa total terdapat tiga senjata yang digunakan untuk penyerangan. Bagaimana mungkin seorang ayah tega menyuruh anaknya untuk membunuh? Koplak menarik nafas. Apakah yang terjadi di negeri ini? Lalu muncullah beragam komentar-komentar yang tidak memiliki hati menganggap peristiwa itu adalah setingan.
Bayangkan alangkah mengerikannya jika peristiwa yang menimpa Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto juga bisa terjadi pada para pejabat publik yang lain, atau publik figur. Koplak merinding, membayangkan keejadian itu. Bagaimana kalau itu terjadi pada dirinya?
“Bape, sudah lihat TV?!” suatu anak semata wayangnya Kemitir terdengar penuh emosi. Kemitir juga berbicara sangat panjang mengingatkan Koplak harus mulai berhati-hati. Koplak juga diwajibkan oleh Kemitir untuk mulai menjaga sikap, jangan asal bicara, juga jangan asal mengambil keputusan.
“Pokoknya Bape harus hati-hati, karena Bape itu pejabat publik.” Sahut suara kemitir dari seberang. Koplak terdiam, jujur dia benar-benar takut juga, jika ada warganya melakukan hal-hal yang tidak dipikirkan Koplak.
Koplak menarik nafas mencoba menimbang kembali perjalanan hidupnya sebagai Kades di desa yang tidak bisa dijangkau oleh peta Google. Apakah mungkin ada orang yang tega melakukan hal-hal yang tidak diinginkan padanya? Apakah kebaikannya sebagai Kades tidak dihargai para warga desanya? Bukankah Koplak juga tidak pernah melakukan hal-hal yang menyimpang.
Koplak sadar betul, sebagai orang desa yang lahir, tumbuh dan berkembang di desa Koplak tidak memiliki impian yang muluk-muluk. Dulu, Koplak memaksakan diri belajar keras dan kuliah di fakultas ekonomi universitas negeri di Bali, dengan tujuan sederhana, ingin membangun desanya sehingga mampu bersaing dengan desa-desa yang lain. Desa-desa yang dilihatnya di TV. Kata TV, desa-desa yang berkembang dan tumbuh dengan baik, tentu membuat warganya makin makmur, begitu kata TV. Koplak juga tidak bermimpi mengidentikkan kata “makmur” berarti menjadi kaya. Koplak hanya ingin membangun desanya dengan cara pikir orang desa. Koplak sangat sadar membangun desa bukan berarti mengubah desa menjadi kota atau bergaya sok kosmopolit.
Koplak hanya ingin berharap sekaligus bermimpi agar bisa membangun desa dan mampu menciptakan kesejahteraan dan standar hidup yang lebih tinggi bagi penduduk desanya. Koplak juga tidak ingin mengubah desanya yang hidup dari hasil pertanian dan peternakan menjadi objek wisata? Mengubah tanah-tanah pertanian jadi hotel? Tidak. Koplak ingin desa tempatnya tumbuh berkembang satu tangga demi satu tangga untuk maju, minimal bisa menjadi desa yang memiliki ketahanan pangan. Orang-orang desa tidak ada yang kelaparan, tidak ada yang keleleran. Yang utama, anak-anak desa bisa dengan mudah mengakses pendidikan. Karena Koplak yakin pendidikan yang baik mampu membuat anak-anak desa juga memiliki harga diri dan tidak kalah dengan anak-anak kota yang dimanjakan dengan beragam fasilitas yang memudahkan mereka tumbuh-kembang dengan baik.
Koplak sadar menurut data yang diberikan oleh nara sumber di kantor Gubernur, 92,89% penduduk desa di Indonesia penghasilan utamanya adalah pertanian. Lalu jika data sebesar itu kemana larinya hasil pertanian? Kenapa di koran-koran sering ada berita beras mahal, cabe tidak ada di pasar, dan hampir semua bahan pangan bisa raib? Lalu bangsa ini menunggu impor dari beragam negara untuk memenuhi kebutuhan pangannya.
Koplak terdiam, pikirannya dihajar dengan beragam pertanyaan-pertanyaan. Apakah timpangnya ekonomi yang membuat seseorang yang taat beragama tiba-tiba saja tega membunuh? Koplak kembali menimbang ke masa lalu, selama dua periode menjabat sebagai Kades apakah ada pernyataan atau tingkahnya yang membuat seseorang terluka hatinya? Tertusuk jantungnya? Koplak menarik nafas dalam-dalam. Mengingat kembali seluruh hal yang telah dia lakukan selama memimpin desa ini, sambil berharap negerinya makin aman, karena di bulan Oktober ini Koplak memiliki Presiden baru, semoga negerinya makin teduh. Tidak ada lagi buzzer politik di media sosial yang ributnya seperti tawon. Semoga negeri ini makin damai, tenang dan tidak berisik. [T]