Jika ditanya apakah mau mandiri atau tergantung sama orang lain, pasti jawabannya bisa ditebak “hidup mandiri, untuk apa tergantung dengan orang lain”. Pertanyaannya selanjutnya, bagaimana mewujudkan kemandirian itu, tentu tidak semudah pada saat kita menjawab pertanyaan tadi, perlu sebuah proses dan kemauan yang kuat untuk mewujudkan kemandirian tersebut.
Tentang kemandirian hasil kerja, orang Bali terwakili dari istilah dakin lima pedidi (kotoran tangan sendiri) dan peluh pedidi (keringat sendiri). Kedua ungkapan dalam Bahasa Bali ini biasanya digunakan untuk mengakui sebuah hasil kerja yang dilakukan secara susah payah tanpa bantuan orang lain akan hasil dimilikinya. Dengan demikian jika orang mengatakan “umahe ene nak dakin lima pedidi” sudah jelas maknanya bahwa rumah itu adalah hasil kerjanya sendiri. Lantas apakah secara spirit kata dakin lima dan peluh pedidi sesederhana itu, bagi saya jauh dari pada itu, kebiasaan orang Bali untuk bertahan mandiri sudah ada dan mengakar dalam kebiasaan orang Bali.
Jika kita hidup di era 90 Televisi Nasional sering menayangkan berbagai acara tentang kemandirian perempuan Bali khususunya pada peringatan hari Kartini. Dalam tayangan tersebut ditampilkan perempuan Bali yang bekerja keras menghidupi keluarganya, bahkan lengkap dengan tayangan klip beberapa perempuan Bali yang sedang ‘nyuwun’ (menjunjung) bawaan berat-berat, beternak, atau bekerja di sawah/ladang. Hal ini sering memunculkan anggapan bahwa perempuan Bali mandiri karena para lelakinya pemalas, sehingga mereka harus menghidupi keluarganya sendiri.
Tentu anggapan tersebut tidak semuanya benar sebab, pada era tersebut eksploitasi besar-besaran tentang Bali sampai keplosok-plosok desa, dan mereka hanya menumukan sosok lelaki yang setiap siang hanya ngecel siap atau pegang ayam jago aduan, metajen (judi sabung ayam) sehingga hal tersebut memunculkan stigma bahwa lelaki Bali tidak memiliki etos kerja yang baik, padahal jika melihat tradisi agraris Bali para lelaki tersebut sudah turun kesawah jam 05.00 pagi hingga matahari terasa terik, disela-sela istirahat tersebutlah biasanya orang Bali ngecel siap sebagai hiburan dikala lelah habis bekerja di sawah.
Hal itulah yang jarang diketahui oleh para pelancong sehingga mereka menganggap lelaki Bali itu pemalas, padahal tidak sedemikian bahwa perempuan Bali memiliki keinginan yang kuat untuk tetap bersama-sama membangun keluarganya sehingga sebisa mungkin apa yang bisa dikerjakan untuk meringkankan beban keluarga mereka. Kemandirian perempuan Bali tersebut tentu merupakan sprit dari dakin lima dan peluh pedidi yang mereka wujudkan dalam bentuk ikut andil dalam membantu ekonomi keluarganya.
Bagi generasi muda Bali, anjuran untuk mandiri sudah ditanamkan saat mereka masih kecil, dari urusan memakai pakian adat Bali, cara memahami adat budaya dan adat istiadat Bali bahkan sampai anjuran bagi mereka yang sudah menikah untuk bisa membuat rumah sendiri dan hidup mandiri jauh dari orang tua. Kemandirian hasil kerja memang sangat penting ditanamkan bagi generasi muda Bali agar mereka tidak terlanjur sebagai generasi penikmat. Jika hanya menjadi generasi penikmat dan tidak dibiasakan menghasilkan sesuatu tanpa dakin lima pedidi dan peluh pedidi maka kemandirian orang Bali lama-kelamaan akan terkikis dan berdampak bagi eksistensi Bali di masa depan. [T]