Beberapa hari ini, dan baru kali ini, saya ikut membantu menjaga salah satu stand terkece di Buleleng Festival (Bulfest) 2019 yang dibuka secara resmi mulai 4 Agustus dan berlangsung hingga 10 Agustus. Stand “Taman Literasi Buleleng Creative Hub”, namanya. Stand ini, adalah kolaborasi dari beberapa komunitas. (Jika ingin tahu lebih banyak, silakan kunjungi stand kami di Zona I Rumah Jabatan Bupati Buleleng).
Hampir setiap hari saya di sana. Dari pagi sampai sore. Di sana, selain obrolan-obrolan berkualitas, candaan-candaan yang jauh dari kata garing, rasa kekeluargaan, kejadian-kejadian yang tak terduga, ada satu lagi yang selalu menarik perhatian saya. Satu lagi: petugas kebersihan—yang memakai seragam hijau-hijau itu.
Tidak tahu kenapa, ketika mereka sedang menyapu setiap sudut lokasi Bulfest, mata saya selalu memandang mereka lekat-lekat—mengikuti ke mana saja mereka bergerak.
Dengan penuh ketekunan dan kesabaran, mereka menyapu bersih lautan sampah Bulfest. Tidak memberikan kesempatan kepada sampah terkecil pun untuk mengotori lokasi Bulfest. Sesekali mereka duduk bergerombol, mengaso barang sejenak. Baju mereka yang seragam, menjadi oase di tengah-tengah warna-warni dunia; di tengah bersihnya baju pejabat yang berlalu-lalang; di tengah baju bermerek orang-orang yang beruntung. Gerak-gerik mereka yang santai, menjadi jeda di dunia yang cepat ini.
Saya teringat tulisan salah seorang idola saya, budayawan kondang asal Semarang, Pak Prie Gs. Suatu kali beliau pernah menulis di status Fesbuknya: Di tempat-tempat resmi, sering kurasa Tuhan lebih suka menyelinap, menepi lalu pergi karena nama-Nya sering dipakai untuk kepentingan atas nama. Kukira Ia lebih suka menemui petani sederhana di pedalaman desa yang terus menanam walau hasilnya tak seberapa dan setelah panen pun merugi pula. “Ini bukan soal untung rugi. Ini soal bahwa saya harus menanam agar ada pihak lain yang memakan,” katanya.
Tuhan kini lebih mudah kujumpai tidak di mimbar-mimbar kotbah yang meriah oleh tepuk tangan. Ia memilih menunggu hajat itu bubar untuk ikut menemani satu dua orang yang bertekun memunguti koran-koran bekas yang ditinggalkan.
Tuhan juga tampak terasing dari dua pihak yang saling menuding tentang siapa yang paling dekat dengan-Nya semata-mata menurut persangkaannya. Tiba-tiba kulihat Tuhan sudah ada di sana menyemangati seorang yang pekerjaannya mencari hewan terluka untuk dirawat serupa anak-anaknya.
Saya pikir, Tuhan juga hadir pada saat ibu-ibu dan bapak-bapak berseragam hijau ini membersihkan sampah di seluruh areal Bulfest. Tuhan menemani mereka—mereka, pahlawan yang jarang diperhatikan atasannya, orang-orang, dan media. [T]