Tak bisa dimungkiri kemajuan teknologi saat ini bukan hanya memberi dampak postitif bagi aktivitas manusia tapi juga berimplikasi buruk pada kesehatan mental khususnya bagi anak muda. Menurut studi Journal of Abnormal Psychology, ponsel pintar menjadi salah satu penyebab gangguan mental yang menjerat kawula muda di samping kurangnya waktu tidur.
Dijelaskan dalam studi tersebut bahwa melonjaknya angka gangguan kesehatan mental tidak terlihat pada orang berusia di atas 26 tahun, sementara remaja dan dewasa yang kini usianya menginjak 20-an awal justru kian berisiko mengalami masalah kesehatan mental.
Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2018 yang membahas soal depresi kurang lebih menjelaskan hal yang sama. Sebesar 6,2% remaja usia 15-24 tahun rentan terkena depresi dan yang menjadi penyebabnya, yakni media sosial. Instagram menjadi media sosial yang dianggap paling buruk bagi kesehatan mental remaja menurut survei yang diadakan oleh Royal Society for Public Health (RSPH).
Dalam artikel tersebut dijelaskan, Instagram menjadi salah satu media sosial yang memicu terjadinya masalah kesehatan mental pada remaja, karena remaja — khususnya perempuan –cenderung membandingkan kecantikan atau kehidupannya dengan perempuan lain. Efeknya ia bisa merasa kurang puas terhadap kehidupan yang ia bangun dan menganggap bahwa perempuan lain lebih baik, lebih bahagia, dan lebih sempurna ketimbang dirinya – padahal belum tentu. Dari sini timbul gangguan mental seperti merendah diri (minder) ataupun stres.
Sejatinya masa muda memang menjadi fase seseorang untuk dapat mengekspresikan diri. Masa remaja dipandang sebagai salah tahapan proses kehidupan manusia. Dalam fase ini, banyak terjadi perubahan biologis, psikologis, dan sosial. Akan tetapi, saat kita memasuki masa remaja, proses pematangan fisik lebih cepat ketimbang proses pematangan kejiwaan. Hal ini tentu berdampak pada cara berpikir yang belum matang dalam memahami kondisi maupun situasi yang menderanya.
Mungkin dari cara berpikir yang belum matang itu, anak muda atau remaja kadang kala suka salah kaprah dalam mengeksresikan dirinya. Baik di dunia nyata maupun dunia maya (media sosial). Karena ingin dianggap jantan, seorang remaja lantas merokok dan ikut tawuran. Di media sosial ia pun kerap melontarkan caci maki terhadap seseorang tanpa mempedulikan perasaan orang tersebut. Kemungkinan hal itu ia lakukan guna menarik perhatian warganet lain sehingga kehadirannya di kancah media sosial makin eksis.
Tak ayal bahwa dari belum stabilnya emosi remaja bisa berimplikasi buruk pada kesehatan mentalnya. Pun dalam mengekspresikan diri masih dipraktikkan dengan cara yang kurang positif dan tentunya tak produktif.
Menulis sebagai Terapi Mental
James W. Pennebaker dari Universitas Texas, Amerika Serikat telah melakukan penelitian tentang aktivitas menulis selama bertahun-tahun yang bertujuan untuk menyembuhkan. Menurut Pennebaker, saat seseorang diberi kesempatan untuk menulis tentang gejolak emosionalnya, mereka cenderung jarang sakit serta mengalami perubahan fungsi kekebalan tubuh.
Menurut Pennebaker, menulis perisitiwa-peristiwa yang penuh tekanan akan membantu seseorang untuk memahami momen tersebut. Dampaknya, orang itu lebih paham akan kondisi yaang diderita sehingga menurunkan tekanan batin serta memicu untuk terus fokus dan maju. Pennebaker dalam The Secret of Pronouns menuliskan, “Saat menulis, kesehatanmu pun menjadi lebih baik.”
Psikolog dari University of New South Wales, Karen Balkie berkata bahwa menulis peristiwa-peristiwa traumatik, penuh tekanan, serta penuh emosi bisa memperbaiki kesehatan fisik dan mental. Dalam studinya, Balkie meminta meminta partisipan untuk menulis tiga sampai lima peristiwa hidup yang penuh tekanan selama 15-20 menit. Hasil menunjukkan mereka yang menulis tentang hal tersebut, kesehatan fisik dan mentalnya meningkat secara signifikan dibanding mereka yang menulis topik-topik netral.
Berangkat dari riset Pannebaker dan Balkie tersebut, bisa diambil kesimpulan bahwa menulis bisa menjadi salah satu sarana seseorang untuk mengungkapkan unek-uneknya. Anak muda khususnya dikala masa remaja tiba, pasti ingin eksistensinya diakui oleh manusia lain. Terlebih lagi masa remaja merupakan pengembangan diri, di mana remaja berusaha mengenal diri sendiri, ingin orang lain menilainya, dan mencoba menyesuaikan diri dengan harapan orang lain.
Dalam hal ini menulis bisa jadi wadah bagi anak muda yang merasa dirinya terasing dari lingkungan sekitar. Dengan menulis, remaja bisa menceritakan segala masalah dan keluh kesahnya tentang apa saja. Dari perbedaan pandangan dengan orang tua hingga masalah percintaan pun bisa dituangkan ke dalam sebuah tulisan.
Dengan begitu, tak hanya menuangkan perasaan dan pemikiran saja, remaja tersebut juga membuktikan bahwa dirinya bisa produktif dengan menghasilkan sesuatu yang mungkin bisa menjadi inspirasi dan motivasi bagi pembaca. Kegiatan menyalurkan ekspresi serta dapat bekerja secara produktif tersebut sesuai dengan ciri remaja normal dan orang yang sehat mentalnya. Bisa dipastikan bahwa aktivitas menulis tergolong sebagai terapi untuk memulihkan kondisi mental seseorang yang buruk menjadi lebih baik.
Seyogianya remaja yang sehat mentalnya merupakan tunas bangsa yang perlu dijaga dan dipelihara dengan baik agar menjadi generasi penerus yang berkualitas dan mampu membawa bangsanya bergerak ke depan. Inilah yang penulis harapkan sebetulnya. Maka dari itu, masyarakat pun perlu memperhatikan aspek kejiwaan selain aspek fisik seorang anak. Berikan wadah untuk anak muda menyalurkan ekspresinya.
Menulis bisa menjadi salah satu wadah tersebut. Dengan menulis, remaja mampu meluapkan perasaan dan pemikirannya. Hal ini menjadi cara positif untuk menciptakan generasi muda yang sehat dan berkualitas dan tentunya, terhindar dari gangguan mental seperti yang tadi kita bahas.
Sumber:
- Beritagar.id. 2019. Generasi Muda Dihantui Gangguan Mental.
- Guesehat.com. 2017. Manfaat Menulis untuk Kesehatan Fisik dan Psikologis.
- Indarjo, Sofwan. 2009. Kesehatan Jiwa Remaja. Jurnal Kesehatan Masyarakat (Kemas), vol. 5 (1) (2009), 48-57.
- Kumparan.com. 2018. Riset: Instagram Jadi Medsos Paling Buruk bagi Kesehatan Mental Remaja.