Ciri-ciri lahirnya rezim administrasi adalah kehendaknya untuk mengatur. Berbagai instrumen diciptakan untuk mengendalikan sekaligus memobilisasi massa rakyat. Imajinasinya, masyarakat yang begitu kompleks mencoba untuk disederhanakan dan dipersatukan. Oleh sebab itulah ajakan “persatuan masyarakat” oleh rezim kuasa perlu dikritisi serius.
____
Gebrakan Gubernur Wayan Koster yang dilantik menjadi Gubernur Bali pada 5 September 2018 sungguh fantastik. Bersama wakilnya, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, respon pemerintah terhadap isu-isu yang diperbincangkan publik sungguh luar biasa.
Berbekal pondasi kekuatan politik yang kuat, yaitu dengan kemenangan mencapai dengan suara 57,68% pada pemilihan Gubernur 27 Juni 2018, unggul telaknya Jokowi mencapai 92% pada Pilpres 17 April 2019, dan dominasi angota legislatif terpilih dari PDIP di seluruh Bali, Gubernur Koster memiliki legitimasi yang meyakinkan dalam menjalankan roda pemerintahan.
Gubernur Koster berpengalaman menjadi anggota DPR RI Fraksi PDIP sejak 1 Oktober 2004 hingga 26 Februari 2018. Fokusnya pada dunia pendidikan menjadikan Koster berperan penting dalam penyusuan regulasi-regulasi yang berhubungan dengan dunia pendidikan. Rekam jejak Koster sebelum masuk ke dunia politik menunjukkan hal itu.
Koster pernah menjadi peneliti pada Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Depdikbud 1988-1994 selain menjadi dosen di berbagai universitas negeri dan swasta. Ia juga sempat memegang jabatan sebagai Wakil Sekretaris Jendral Perhimpunan Pemuda Hindu (Peradah) Indonesia dan Sekretaris Jendral DPP Prajaniti Hindu Indonesia.
Berbekal pengalaman itulah, desain kebijakannya berpusar pada pembuatan regulasi-regulasi yang sangat intensif. Gubernur Koster menerbitkan enam Pergub (Peraturan Gubernur) dan dua Perda (Peraturan Daerah) dalam rentang waktu hampir setahun kepemimpinannya. Urgensi penerbitan Pergub dan Perda pun perlu dicermati.
Gubernur Koster memulainya dengan mengedepankan politik identitas bernama pakaian adat Bali. Terbitlah Pergub No. 79 Tahun 2018 tentang Penggunaan Busana Adat Bali. Setelah selesai membuat Pergub tentang pakaian, berikutnya terbit Pergub No. 80 Tahun 2018 tentang Perlindungan dan Penggunaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali serta Penyelenggaraan Bulan Bahasa Bali. Melengkapi Pergub tersebut, keluarlah dua Perda (Peraturan Daerah) yaitu Perda No. 1 Tahun 2018 tentang Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali.
Selanjutnya terbit Perda No. 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat yang paling menyita perhatian publik Bali. Perda Desa Adat ini lahir setelah didahului dengan Paruman Agung Krama Bali pada 12 Desember 2018 yang juga bertempat di Wantilan Pura Samuan Tiga, Desa Bedahulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar.
Paruman (pertemuan) ini dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Bali untuk menyerap aspirasi krama Desa Adat tentang Ranperda (Rancangan Peraturan Daerah) Desa Adat. Paruman ini kemudian berujung pada pembacaan Deklarasi Samuan Tiga dalam rangka penguatan eksistensi Desa Adat di Bali. Enam bulan berselang, pada 4 Juni 2019 dilakukanlah penandatanganan prasasti pemberlakuan Perda Desa Adat yang juga berlangsung di Pura Samuan Tiga.
Kita patut bertanya, ada apa dibalik hujan Perda dan Pergub yang melanda Bali pada awal kepemimpinan Gubernur Koster? Kehendak untuk mengatur adalah praktik halus dan sopan dari bekerjanya kekuasaan. Ia tidak betul-betul menyentuh pondasi persoalan, karena memang sengaja dihindari. Saya teringat apa yang pernah dituliskan Tania Murray Li dalam bukunya, The Will to Improve: Governmentality, Development, and the Practice of Politics (2007; 2012), bahwa peraturan-peraturan terbentuk dan (sengaja) dibatasi oleh tata-tata politik-ekonomi yang justru tidak dapat diubah oleh rezim administrasi tersebut. Akan menjadi mustahil bahwa peraturan-peraturan yang dibuat ditegakkan oleh apa yang justru mereka singkirkan. Membongkar relasi-relasi politik ekonomi berarti bunuh diri bagi rezim administrasi.
Oleh sebab itulah mereka akan bermain pada wilayah permukaan, jaron-jaron kehendak untuk memakmurkan layaknya impian-impian utopis. Hal ini bekelidan dengan kekuasaan yang dibangun dengan terkonsentrasi. Hanya dengan demikianlah rezim administrasi ini bisa melakukan pengaturan dengan memperhatikan hal-hal kecil bahkan yang remeh temeh.
Kooptasi
Terminologi ruang publik mengemuka lewat sebuah buku penting dari Jurgen Habermas berjudul The Structural Transformation of the Public Spahre (1989; 2015). Dalam bukunya ini Habermas mengungkapkan bahwa ruang publik merupakan proses komunikasi dan advokasi publik. Ruang tersebut dipahami sebagai inklusif, deliberatif, dan juga partisipatif yang mendorong publik untuk berkomunikasi dan berdiskusi satu sama lainnya.
Kontestasi dalam ruang publik bertujuan untuk mengkonstruksi opini publik dalam ruang publik itu sendiri. Pada titik inilah ketidakseimbangan dan ketidakadilan terjadi. Ruang publik yang dikendalikan oleh borjuasi menjadi penting untuk diperhatikan. Borjuasi (bougeoises public shapre) menjadi sangat penting karena aktor borjuis inilah yang mendorong adanya desiminasi nilai-nilai demokrasi dalam ruang publik. Ruang-ruang publik inilah yang menghimpit masyarakat sipil yang harus susah-payah untuk bisa mengakses ruang tersebut.
Dalam berbagai kesempatan panggung sosial dan politik, kita dipertunjukkan bagaimana para kelas menengah dan elit masyarakat, sebagai kelas borjuis, mempunyai akses yang mudah untuk menikmati ruang-ruang publik politik maupun ekonomi. Tidak demikian halnya dengan masyarakat pinggiran. Mereka hanya menjadi penonton dan diperlakukan sebagai massa rakyat yang bisa dimobilisasi kapanpun.
Dengan demikian adanya, ruang publik adalah juga ruang politis. Ruang publik sebagai ruang politis memainkan peranan yang sangat vital dalam penguatan demokrasi. Ruang publik dalam perspektif politis mengemukakan bahwa ruang tersebut dihidupi oleh masyarakat sipil dan berfungsi sebagai intermediary(penengah) antara negara dengan individu privat. Melalui ruang publis, politik yang dijalankan secara formal dikontrol dan diperiksa secara seksama melalui nalar public (Hardiman, 2009; Prasetya, 2012).
Mengacu pada peta gambaran teoritik dari kontestasi ruang public tersebut, menjadi gamblang bahwa ruang-ruang publik menjadi kontestasi (baca: pertarungan) selain pastinya ruang kooptasi tanpa henti berbagai macam kepentingan (politis). Legitimasi dari kekuasaan negara, dalam hal ini Gubernur Koster, PDIP, dan apparatus-nya sangat gamblang dan meyakinkan untuk mendominasi ruang-ruang publik bahkan privat—baik itu Desa Adat, sekolah, aturan berpakaian adat, Keluarga Berencana Krama Bali) melalui serangkaian peraturan. Ruang publik yang dihidupi oleh masyarakat sipil terdiam dan tiada mempunyai opini publik tandingan dalam melawan intervensi dominan dari kekuasaan negara.
Kooptasi ruang publik yang berlebihan inilah yang menyebabkan publik berupa masyarakat sipil tanpa daya untuk mengemukakan pendapat. Saluran-saluran ekspresi sudah ditutup dan dikuasai oleh kekuasaan negara. Pelaksanaan Paruman Agung Krama Bali pada 12 Desember 2018 menunjukkan politik representasi dari para elit adat dan kelas menengah yang mendominasi publik.
Dengan demikian situasinya, ruang-ruang public justru mengekslusi masyarakat bawah dari akses mereka menuju ruang publik tersebut. Jika demikian adanya, intervensi dan kooptasi yang berlebihan dari kekuasaan negara yang kuat tersebut menjadi peluang besar dari pasar kuasa investasi global untuk berkolaborasi dengan negara. Situasi tersebut menggambarkan bahwa kebijakan yang dicita-citakan untuk menguatkan dan melindungi masyarakat pada akhirnya lebih berorientasi pada pasar sekaligus sistem yang membentuknya (rezim administrasi).
Esai ini berargumentasi bahwa lahirnya kekuasaan negara yang kuat, yang dimanifestasikan dengan dominasi PDIP pada eksekutif dan legislatif, memungkinkan kuatnya intervensi dan kooptasi pada ruang-ruang publik masyarakat Bali. Kelahiran Pergub dan Perda bernafaskan ekspresi penguatan identitas budaya mengintervensi ruang-ruang publik masyarakat sipil tanpa kritik dan opini publik tandingan.
Yang terjadi hanyalah para kelas menengah dan kelompok elit politik, birokrat, dan desa adat yang beraliansi pragmatis dengan memeriksa kepentingannya masing-masing. Di tengah situasi tersebut, kebijakan public yang dilahirkan beresiko untuk terjerembab pada wilayah system (rezim administrasi) dan melayani kebutuhan pasar (kuasa investasi) yang tiada henti selalu mengincar Bali. [T]