Jaringan Intelektual Berkemajuan (JIB) menggelar diskusi buku kumpulan esai “Suaka-Suaka Kearifan” karya Riki Dhamparan Putra, di Auditorium Perpusatakaan Nasional, Jalan Merdeka Selatan No 11, Jakarta Pusat, Minggu (14/7).
Tampil sebagai pembicara yakni mantan Menteri Bappenas Andrinof A Chaniago, Direktur Perludem Titi Anggraini, serta Dekan FKIP Universitas Muhammadiyah Hamka Desvian Bardansyah yang dimoderasi oleh Heru Joni Putra, M.Hum.
Terlebih dulu, dalam pengantarnya, moderator mengatakan adalah cermin yang baik untuk menggugah Batin Indonesia, yang tak lain adalah kebudayaan. Buku itu, katanya, membantu masyarakat memahami diri kebudayaan secara lebih utuh.
Sepakat dengan moderator, Desvian Bandarsyah yang juga seorang sejarawan, menyebut sejumlah esai dalam buku Suaka Kearifan punya daya kejut lantaran ketajaman kritik di satu sisi dan renungan reflektif di sisi lainnya kerap berkelindan dalam satu tulisan. Desvian menilai esai “Mencari Umbu, Mencari Suaka Waktu” sebagai contoh yang relevan.
“Riki menggugat kesadaran kolektif bangsa Indonesia,” pungkasnya.
Sementara Titi Anggraini menyebut tema-tema dalam buku Riki amat luas dan beragam. Meski subjudul buku Riki menyebut budaya, sastra, dan politik sebagai tema umum buku tersebut, faktanya, Riki juga tidak absen dalam membicarakan perempuan—entitas yang jelas-jelas punya andil besar dalam membangun peradaban.
“Jika tidak ada tulisan mengenai perempuan, ini akan menjadi kritik pertama saya terhadap buku ini. Untungnya ada,” kata Titi.
“Di buku ini, Riki menulis ibu senantiasa ada di saat-saat paling rawan hidup kita, yakni saat kita berpindah dari manusia-rumah ke manusia-lingkungan. Sebagai ibu, saya merasakan betul kebenaran kata-kata ini,” tegasnya.
Walau terkesan nyaris tanpa cela, Andrinof Chaniago mengingatkan, esai-esai Riki mestilah dipahami dalam koridor reflektifitas. Esai-esainya membantu kita menelusuri banyak masalah di sekitar kita. Tetapi tentu tidak dalam cara kalangan akademisi menyoroti masalah.
“Pandangannya terhadap berbagai hal, yang dilihat dari kacamata budaya, menawarkan abstraksi-abstraksi yang mengagetkan. Pandangan demikian tentu tak bisa muncul dari setiap orang. Berbeda dengan teks akademisi yang banyak bergantung pada literatur, penulis esai seperti Riki membaca teks literature dibarengi pembacaan langsung atas realitas yang dialaminya.Karena itu sebuah esai tidak wajib menyasar akar masalah.
“Tugas esai, dan juga budayawan adalah mengingatkan kita ada masalah. Bagaimana mencari akar masalah dan mencari solusinya adalah tugas akademisi.
Lebih jauh, Andrinof pada kesempatan itu juga menyinggung soal pentingnya bagi pengambil kebijakan untuk bermitra dengan para budayawan melalui dialog yang intens atas pemikiran-pemikiran para budayawan itu. Sebab, para seniman, budayawan, dan
“Suaka-Suaka Kearifan” diterbitkan Mahima Institute Indonesia dan Tatkala.co. sejumlah esai dalam buku tersebut bertolak dari pengalaman langsung sang penulis saat melakukan perjalanan ke berbagai wilayah di Indonesia. [T]