7 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Perlukah Menjadi Hindu Untuk Disebut “Bali” ?

Putu Hendra Mas MartayanabyPutu Hendra Mas Martayana
July 11, 2019
inOpini
Perlukah Menjadi Hindu Untuk Disebut “Bali” ?

penari dari Jegog Suar Agung, Jembrana. (Foto: Widnyana Sudibya/Foto hanya ilustrasi)

278
SHARES

Inspirasi tulisan ini sebenarnya sudah muncul sejak 2011 lalu, saat saya berencana melanjutkan studi master di UGM. Keterlambatan mengirim lamaran membuat saya harus menunggu pendaftaran di gelombang berikutnya.

Untuk mengatasi kebosanan sekaligus menghindari label “pengacara” (pengangguran banyak acara), saya bekerja sebagai tenaga pendidik di sebuah bimbingan belajar di kota Denpasar. Di samping itu, untuk meminimalisir “galau akut” efek LDR-an, saya menyibukkan diri mengikuti Program Kuliah Minor di Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan yang diselenggarakan Pemerintah via Undiksha.

Seperti biasa, sebelum memulai aktivitas belajar di tahun ajaran baru, saya selalu mengawali kelas dengan “basa basi” yang tidak (kurang) penting. Kebetulan saat itu saya mengajar di kelas XII IPS. Kebanyakan siswanya berasal dari SMA Kuta Utara (SAKURA) dan SMA 1 Mengwi. Semua siswa yang berjumlah tidak lebih dari 20 orang itu saya panggil namanya satu demi satu.

Hal yang paling saya tekankan adalah pilihan terhadap rencana-rencana masa depan pasca lulus sekolah. Tujuan dari proses pembelajaran ini adalah membangun intimitas antara saya dengan mereka. Saat proses remeh temeh itulah saya menemukan inspirasi yang menjadi latar belakang tulisan ini.

Saya tertarik dengan salah seorang siswa, nama lengkapnya mengandung gelar kebangsawanan lokal Bali (“Gusti” ditambah dengan “Ketut”). Di belakang dua kata itu dilanjutkan dengan nama baptis “Fransiska”. Obrolan singkat kami menghasilkan jawaban sederhana bahwa Ia memiliki darah Bali dari leluhur sebelum kakeknya. Tetapi karena sesuatu hal, mereka sekeluarga mengubah agamanya menjadi Katolik, ada juga yang Protestan dan Budha.

Meski berubah agama, mereka tidak benar-benar menghapus praktik budaya sebelumnya. Identitas Bali seperti nama, lengkap dengan gelar kebangsawanan serta ritual pada umumnya seperti ngejot setiap selesai menanak nasi di pagi hari masih tetap dijalankan. Beberapa rumah orang Bali Katolik menempatkan padmasana (representasi Tuhan dalam agama Hindu Bali berwujud Dewa Surya-dalam mitologi Hindu dianggap sebagai murid terbaik Dewa Siwa) di depan rumahnya. Orang Bali Katolik dan Protestan bahkan memodifikasi padmasana dengan menancapkan salib pada bagian atap sebagai bentuk pemujaan kepada Sang Hyang Yesus.

Rasa penasaran itu untuk sementara saya cukupkan. Saya tidak menanyainya lebih lanjut karena selain pengetahuan dan referensi yang belum memadai, juga takut akan dituduh macam-macam.Meski kemudian rasa penasaran itu turut saya tumpahkan dengan mengikuti berbagai forum grup FB yang banyak mengulas keagamaan di Bali, termasuk di dalamnya upaya-upaya pemurtadan, tetapi toh belum bisa memuaskan dahaga ilmu ini.

Pencerahan atas masalah itu baru saya temukan saat kuliah master di UGM memasuki tahun kedua. Akses buku yang berlimpah ditambah iklim belajar yang memadai membuat saya terobsesi menelusuri berbagai sumber. Sampai pada suatu ketika saya bertemu dengan seseorang yang menjadi teman diskusi. Sebut saja namanya Mas Kethel, senior sekaligus mentor saya asal Jakarta, namun sempat lama tinggal di Bali. Darinyalah saya diperkenalkan dua penulis Bali yang juga alumi UGM yang concern menulis problematika kebalian, mereka adalah Nyoman Wijaya dan I Ngurah Suryawan.

Khusus untuk tulisan ini, pencerahan paling banyak saya dapatkan melalui tulisan Nyoman Wijaya yang berjudul “Serat Salib Dalam Lintas Bali”. Bukunya cukup tebal dengan sumber primer yang sangat melimpah. Struktur kata dan kalimat agak berat bagi saya yang masih pertama kali berkenalan dengan ilmu sejarah, butuh waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikan bacaan ini.

Dua desa yang disebut dalam tulisan itu, Desa Blimbing Sari dan Desa Palasari sebagai lokasi migran Bali yang telah beralih agama dari Hindu ke Protestan dan Katolik ternyata bersebelahan dengan tempat kelahiran saya di Gilimanuk. Saya baru sadar kalau kedua desa itu menyimpan nuansa sejarah yang kental. Saking penasarannya, saya bahkan mendatangi kedua desa itu beberapa kali. Dua kali di tahun 2014 pasca tamat master, dan dua kali di tahun 2018. Tujuannya untuk memastikan kebenaran deskripsi yang disampaikan oleh Nyoman Wijaya dalam bukunya.  

Bukan hanya orang Bali yang beragama Kristen, kenyataannya orang Bali yang beragama Islam juga eksis. Beberapa orang teman yang berasal dari Desa Pegayaman Buleleng menjadi bukti bahwa identitas Bali masih melekat pada orang Pegayaman meskipun agamanya telah berubah. Nama-nama seperti Nengah Muhamad, Ketut Abdullah menjadi tanda bahwa leluhur orang Pegayaman masih memiliki ikatan darah dengan orang Bali. Selain Bali Islam (Slam) dan Bali Kristen, keberadaan Bali Tionghoa tidak bisa dikesampingkan.

Sebagai minoritas, Bali Tionghoa justru mendominasi kepemilikan alat-alat produksi sehingga keberadaannya sangat disegani di dalam struktur masyarakat Bali. Warga Bali Tionghoa yang saya saksikan cukup banyak mengadopsi praktik kebudayaan Bali adalah mereka yang beragama Budha, atau Tri Dharma (Kong Hu Chu dan Tao). Warga Tionghoa lain yang beragama Kristen dan Islam sepertinya tidak menampilkan perilaku yang sama.

Respon orang Hindu Bali terhadap pengadopsian budaya Bali ke dalam identitas kelompok-kelompok non Hindu tidak sampai menimbulkan riak yang berarti. Situasi itu  berubah pasca Peristiwa Bom Bali I di tahun 2002 yang berlanjut ke Bom Bali II di tahun 2005. Sejak saat itu, roda perekonomian yang ditopang hampir 80 % dari industri pariwisata collaps. Hotel-hotel penggerak roda perekonomian yang menggantikan persawahan Bali sejak era 80-an di ujung kebangkrutan, sehingga memaksa pemangkasan jumlah karyawan secara besar-besaran.

Orang Hindu Bali yang menggantungkan hidupnya pada sektor pariwisata bingung. AA G.N Dwipayana dalam magnus opum berjudul Kelas dan Kasta : Pergulatan Kelas dan Kasta di Bali menyebutkan bahwa kebingungan itu disebabkan orang Bali terhimpit dalam strukturnya sosialnya sendiri. Secara umum, masyarakat Bali yang heterogen terdiri dari tiga lapisan, lapisan bawah, tengah dan atas.

Lapisan bawah diisi oleh migran luar pulau dan orang Bali sendiri yang bekerja di sektor informal. Migran luar pulau misalnya bekerja sebagai buruh kasar, tukang bakso, tukang cukur dan tukang-tukang yang lain. Bahkan karena keuletan bekerja, bisa sampai membeli tanah.

Lapisan tengah diisi oleh kalangan OKB, atau orang kaya baru yang mendapatkan keuntungan melimpah sejak industri pariwisata menggurita di Bali tahun 80-an. Tanah-tanah luas dan berkapur di daerah Pecatu dan Nusa Dua disulap menjadi kawasan hotel mewah tempat berlibur turis mancanegara. Dwipayana menyebut golongan ini sebagai kelas priyayi Bali. Golongan atas adalah golongan pemodal. Keberadaan mereka hidden, dan untuk memperlancar pembangunan hotel-hotel mewah itu, mereka menggunakan perantara orang lokal untuk membeli tanah-tanah di Bali.

Kaum priyayi Bali inilah yang paling menjerit ketika Bom Bali I dan II. Ingin ke lapisan bawah, telah banyak diisi migran luar pulau. Ingin ke lapisan atas, rasa-rasanya tidak mungkin karena yang mereka hadapi para bos besar. Ingin bertani, faktanya sawah-sawah telah semakin sempit akibat lahan pertanian di Bali telah banyak terkonversi menjadi bangunan.

Pada akhirnya wacana ketahanan pangan orang Bali hanya nyanyian indah menjelang tidur. Mereka mulai memperlihatkan tanda-tanda phobia terhadap pendatang, khususnya migran luar pulau yang bekerja sebagai buruh kasar dan pedagang klontong. Mereka distigmatisasi sebagai teroris. Bak gayung bersambut, stigma ini diperkuat oleh momen ditangkapnya pelaku bom yang berasal dari luar pulau dan beragama non Hindu.

Pada titik ini, benih-benih fundamentalisme agama dan radikalisme kebudayaan Bali menghasilkan terminologi baru yang dianggap sebagai benteng untuk melindungi Bali dari infiltrasi sekaligus penetrasi. Akibatnya, kebudayaan Bali dalam teks ideal “Ajeg Bali” mengalami reifikasi (ter(di)bendakan), monolitik, pembenaran dan kebenaran tentang nilai kepantasan untuk menjadi Bali menjadi tunggal karena didominasi oleh kelompok tertentu. Ajeg Bali dengan demikian juga berarti Ajeg Hindu.         

Tatkala orang Bali non Hindu (baca ; Islam, Kristen) memakai identitas Bali, dipastikan akan menuai polemik, terutama oleh kalangan yang mengaku sebagai pengawal Ajeg Bali. Pada akhirnya, kebudayaan Bali yang telah di(ter)bendakan itu membuat orang-orang Bali non Hindu tidak akan pernah memiliki hak untuk melekatkan atribut kebalian pada identitas kelompoknya.

Namun jika melihat Bali bukan sebagai benda tetapi sistem budaya yang cair dan dinamis, yang saling berelasi, berinteraksi sekaligus bernegosiasi, Bali tidak bisa menghindari perubahan, karena ia adalah keniscayaan yang tidak mungkin ditolak. Penolakan berarti siap menerima konsekuensi, tergilas jaman. [T]

Tags: agamabaliBudayahindu
Previous Post

Teater, Megalitikum dan Diri – Renungan dari Sebuah Candi Batu di Tejakula

Next Post

Bukan Hanya Cinlok yang Abadi saat KKN, Patah Hati Juga

Putu Hendra Mas Martayana

Putu Hendra Mas Martayana

Lahir di Gilimanuk, 14 Agustus 1989, tinggal di Gerokgak, Buleleng. Bisa ditemui di akun Facebook dan IG dengan nama Marx Tjes

Next Post
“Kamu kan Anak TI. Plis, Benerin Laptop Pacarku Dong!” – Uh, Sakitnya…

Bukan Hanya Cinlok yang Abadi saat KKN, Patah Hati Juga

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Covid-19 dalam Alam Pikir Religi Nusantara – Catatan Harian Sugi Lanus

    Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Sederhana, Haru dan Bahagia di SMPN 2 Sawan: Pelepasan Siswa, Guru Purnabakti dan Pindah Tugas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kabut Membawa Kenikmatan | Cerpen Ni Made Royani

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Sumbangan Ketut Bimbo pada Bahasa Bali | Ada 19 Paribasa Bali dalam Album “Mebalih Wayang”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Menguatkan Spiritualitas dan Kesadaran Budaya melalui Tumpek Krulut

by I Wayan Yudana
June 7, 2025
0
Tumpek Landep dan Ketajaman Pikiran

TUMPEK Klurut, sebagai salah satu rahina suci dalam ajaran agama Hindu di Bali, memiliki makna yang sangat mendalam dalam memperkuat...

Read more

Tidak Ada Definisi untuk Anak Pertama Saya

by Dewa Rhadea
June 4, 2025
0
Tawuran SD dan Gagalnya Pendidikan Holistik: Cermin Retak Indonesia Emas 2045

KADANG saya mencoba menjelaskan kepada orang-orang seperti apa anak pertama saya. Tapi jujur saja, saya tidak tahu bagaimana harus mendefinisikannya....

Read more

The Voices After Cak!: Keriuhan di Balik-balik Tubuh yang Diguncang

by Wulan Dewi Saraswati
June 4, 2025
0
The Voices After Cak!: Keriuhan di Balik-balik Tubuh yang Diguncang

MALAM di taman kuliner Ubud Food Festival sangat menggiurkan. Beberapa orang sudah siap duduk di deretan kursi depan, dan beberapa...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

Gede Anta Wakili Indonesia dalam “International Visitor Leadership Program” di AS

June 5, 2025
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Abraham dan Cerita Sebotol Lion Brewery di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Abraham dan Cerita Sebotol Lion Brewery di Ubud Food Festival 2025

IA bukan Abraham Lincoln, tapi Abraham dari Lionbrew. Bedanya, yang ini tak memberi pidato, tapi sloki bir. Dan panggungnya bukan...

by Dede Putra Wiguna
June 6, 2025
Buku “Identitas Lintas Budaya: Jejak Jepang dalam Teks Sastrawan Bali” Memperkaya Perspektif Kajian Sastra di Bali
Khas

Buku “Identitas Lintas Budaya: Jejak Jepang dalam Teks Sastrawan Bali” Memperkaya Perspektif Kajian Sastra di Bali

BUKU Identitas Lintas Budaya: Jejak Jepang dalam Teks Sastrawan Bali karya Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., memperkaya perspektif kajian sastra,...

by tatkala
June 5, 2025
Sederhana, Haru dan Bahagia di SMPN 2 Sawan: Pelepasan Siswa, Guru Purnabakti dan Pindah Tugas
Khas

Sederhana, Haru dan Bahagia di SMPN 2 Sawan: Pelepasan Siswa, Guru Purnabakti dan Pindah Tugas

“Kami tahu, tak ada kata maaf yang bisa menghapus kesalahan kami, tak ada air mata yang bisa membasuh keburukan kami,...

by Komang Sujana
June 5, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Gunung Laut dan Rindu yang Mengalir | Cerpen Lanang Taji

Gunung Laut dan Rindu yang Mengalir | Cerpen Lanang Taji

June 7, 2025
Puisi-puisi Emi Suy | Merdeka Sunyi

Puisi-puisi Emi Suy | Merdeka Sunyi

June 7, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [18]: Bau Gosong di “Pantry” Fakultas

June 5, 2025
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co