Umur yang kian bertambah seakan membuat hidup semakin kompleks. Terlebih lagi dengan berbagai tuntutan kehidupan, kebutuhan akan sandang, pangan dan papan, urusan pekerjaan dan belum lagi bagi yang sudah berkeluarga. Stres itu yang kadang dihadapi dan membuat kita tidak bisa menikmati hidup.
Masih ingatkah kalian dengan masa anak-anak kalian dulu? Saat kalian hanya tahu berebut mainan dengan teman tanpa memikirkan berbagai macam lini kehidupan? Masih kah kalian bisa membayangkan bagaimana kita dulu bahagia tanpa memikirkan esok hari?
Ingatan-ingatan itu serasa berurai ketika saya bekerja dengan anak-anak dan terlibat lagi dalam project sosial bersama anak-anak. Dari anak-anak kita belajar. Kita bisa belajar banyak hal tentang kehidupan. Saya akan mencoba mendeskripsikan bagaimana saya belajar dari anak-anak dan dari apa yang saya pelajari, saya berusaha memperbaiki diri.
Pertama, anak-anak secara tidak sengaja mengajarkan kita tentang ke “orginalan” diri. Tentang keaslian diri dan tidak mengikuti gaya orang lain. Anak-anak bebas dengan dirinya, tidak terbelenggu dan terjerat dalam pikiran buruk orang lain terhadap diri kita. Saya memahaminya ketika waktu kuliah saya ikut salah satu komunitas yang bergerak membantu anak-anak terpencil.
Di sana saya melihat bahwa keotentikan diri itu penting. Kamu berharga. Kamu berbeda. Tidak apa-apa berbeda. Dari sana saya belajar mencari keaslian diri saya. Diri saya yang otentik, yang asli dan murni. Merenung. Itulah yang saya lakukan. Kemudian sesekali saya bilang ketika bercermin, “Tugasmu bukan untuk meniru orang lain. Tapi yang harus kamu lakukan adalah tetap menjadi dirimu sendiri yang sejati dengan kelebihan dan kekuranganmu dan bertumbuh menjadi versi terbaikmu setiap hari”.
Kedua, anak-anak mengajarkan kepada kita untuk tetap bersikap baik sekalipun kepada teman yang tidak kita sukai atau yang membicarakan kita. Bersikap baik tidak sulit tetapi jalannya berliku dan naik turun tetapi harus tetap dilakukan. Lihatlah anak-anak tidak pernah membeda-bedakan temannya ketika bermain. Mereka bermain dengan siapa saja, tanpa membedakan paras, kedudukan, dan uang. Saya melakukan hal ini dalam diri saya dengan belajar untuk mengontrol pikiran saya dan tidak terjebak pada pikiran buruk orang lain terhadap diri saya. Kita sebagai manusia tidak bisa menyenangkan semua orang.
Ketiga, anak-anak mengajarkan tentang kesederhanaan dan penerimaan diri. Kesederhanaan itu terpancar ketika orang tua membelikan baju apapun ke saya, saya pasti menerimanya. Tidak ada gengsi, takut kelihatan jelek dan pikiran-pikiran lain. Saya mencoba mengimplementasikannya dalam hidup dengan selalu bersikap biasa aja dan mencoba mengurangi kadar gengsi dalam hidup saya.
Ketika saya melihat teman teman saya di season liburan ini pergi ke luar negeri, liburan ke suatu tempat yang mahal, memang ada perasaan-perasaan lo kok aku ga bisa ya? Tetapi lambat laun saya belajar bahwa semua ada massa dan waktunya. Apabila kita terus membandingkan hidup kita dengan orang lain, maka itu akan mengurangi rasa syukur kita terhadap hidup. Belajarlah merubah fokus dalam hidup. Fokus pada apa yang kamu punya bukan apa yang kamu belum miliki.
Selamat belajar dari anak-anak. Belajar tentang kehidupan bukan saja dari anak-anak. Setiap orang, setiap tempat dan setiap waktu adalah proses belajar. Karena hidup adalah universitas yang sesungguhnya, begitu pesan bapak saya kala itu. [T]