Saudara di Malang senang bisa mengantar saya ke Blitar, tepatnya di dusun Bendo Gerit. Di kota ini Bung Karno dimakamkan. Maka pas pada Bulan Bung Karno (2019), saya sampai di Blitar.
Tahun 1996, ketika saya ke sini, adalah masa jaya Orde Baru, yang bagi saya juga berarti puncak kuasa. Masa ini makam Bung Karno, yang diapit oleh Ayahaanda dan Ibundanya, “diamankan” dengan kaca antipeluru.
Ketika berangkat dari Sumber Sari, Malang, saya sudah siap hanya melihat pusara “Putra Fajar” atau tokoh “Penjambung Lidah Rakjat Indonesia” dari luar. Saya juga sudah siap uang untuk membayar tiket.
Masuk ke kompleks makam Bendo Gerit, yang telah menjadi objek wisata sejarah, sungguh mudah. Ramah rakyat Blitar, sudah tentu. Tanpa tiket juga. Tak ada pedagang asongan yang membuntuti dan memaksa.
Kisah Bung Karno yang saya baca dalam tulisan biografis Cindy Adams, melayang dalam pikiran. Saya ingat satu keinginan Bung Karno agar ia dimakamkan bersama rakyat dan pada batu nisa tertulis kata-kata “Penjambung Lidah Rakyat Indonesia”. Saya akan membacanya di Bendo Gerit.
Sungguh di luar dugaan, tak ada lagi kaca antipeluru. Siapa saja bisa bersimpuh, meraba, menyentuh pusara dan batu nisan.
“Gus Dur dan Ibu Mega yang minta agar kaca antipeluru dilepas”, kata petugas pemandu. Ternyata kaca antipeluru telah menjadi alat kekuasaan Orde Baru yang berfungsi simbolik untuk memenjarakan Soekarno, membatasinya dengan rakyat Indonesia yang mencintainya.
Bagi rezim ketika itu, kaca antipeluru adalah “perlindungan atau pengamanan”. Siapa yang tak kenal gaya eufemisme Orde Baru? Bapak Soeharto tidak hanya piawai menggunakan ideologi sebagai alat kekuasaan, pun media, dan tentu saja bahasa.
Kaca antipeluru di makam Bung Karno adalah pemenjaraan sebagaimana pelarangan membaca buku-buku pemikirannya. Terhadap sosok sekaliber Bung Karno, Orde Baru merasa perlu juga memenjarakan jazad Bung Karno yang terbaring di pusaranya dengan kaca antipeluru, agar rakyat tidak dapat menghayati kekuatan yang dipancarkannya.
Sejak Reformasi “Soekarno” menikmati kebebasan. Bebas membaca buku-bukunya, seperti Dibawah Bendera Revolusi I dan Dibawah Bendera Revolusi II. Juga kebebasan bagi rakyat Indonesia. Tidak ada lagi “terali besi” kaca antipeluru. Rakyat jelata, kaum Marhaen Indonesia, wong cilik, bebas menabur doa dan mawar jawa di atas pusara. [T]