ARC of Bali Reloaded Project #2019 kembali menggelar pemeran di Bentara Budaya Bali, Ketewel, Kecamatan Sukawati, Gianyar, Bali, 9-18 Juni 2019. Kegiatan ini merupakan program rutin dua tahunan yang mengangkat potensi perupa pemula.
Pameran melibatkan 20 perupa diantaranya Tri Akta Bagus Prasetya, I Made Marthana Yusa, I Kadek Suardana, I Ketut Suryawan, Putu Suhartawan, Putu Dudik Ariawan, I Nyoman Kariasa, I Made Jendra, I Nyoman Suarnata, I Gede Jaya Putra, I Ketut Kertayoga, Ni Luh Gede Widiyani, Ketut Gede Susana & I Wayan Suwarita.
I Made Susanta Dwitanaya dan Wayan Seriyoga Parta sebagai kurator pemeran. Made Susanta menjelaskan program kurasi ini adalah serangkaian dari kelanjutan program ARC of BALI Art Award yang telah terselenggara sejak tahun 2018, merupakan program rutin dua tahunan yang mengangkat potensi perupa pemula (emerging artists). Di sela-sela periode tersebut pada tahun 2019 ini diselenggarakan programprogram pameran yang melibatkan perupa-perupa yang memperoleh the best five (5 terbaik), dan seluruh perupa nominator.
Pameran dibuat menjadi beberapa program dengan menggabungkan kecenderungan karya, ditambahkan perupa undangan. Penyelenggaraannya bekerjasama dengan beberapa venue di Bali dan di luar Bali.
Kerangka kurasi yang disiapkan dalam program ini, kata Made Susantan bertujuan memberi pendampingan untuk memperkuat gagasan visual dan mendorong perupa untuk melakukan riset-riset visual. Sehingga karya yang dihadirkan merupakan hasil olah rupa yang dibarengi dengan konsepsi yang mumpuni. Karya yang dipamerkan hasil tanggapan dan intepretasi yang relevan terhadap tema yang ditawarkan dalam kerangka kuratorial.
Gabungan beberapa prese tersebut kemudian dimunculkan ideom “x”tion untuk singkatan ‘action, ‘X’ dapat bermakna sebagai semacam misi/mission khusus untuk menanggapi suatu persoalan. Perupa, dengan kesadaran individual dapat mengembangkan kesadaran kritis dalam dirinya untuk menyikapi kondisi sosial masyarakat, dengan semangat untuk memupuk kembali kesadaran kolektif yang lebih kritis.
Sementara Wayan Seriyoga Parta dalam kurasinya perupa juga diajak untuk melakukan internalisasi diri ‘mulat sarira’, memproyeksikan penghayatannya ke dalam karya. Sehingga karya dapat menjadi cerniman ‘diri’ atas sikap kritis para perupa menyikapi fenomena kehidupan. Perupa sebagai insan yang memiliki daya kritis ikut berperan dalam mengkritisi atau setidaknya bereaksi terhadap persoalan representasi yang menyelimuti kehidupan sosial masyarakat. Dalam konteks ini,karena yang terlibat adalah bahasa realis (representasional), maka pertarungannya menjadi “Representasi vs representasi”.
Kerangka kuratorial untuk pameran ini diharapkan menjadi pendulum untuk perupa melakukan refleksi kritis, perihal fenomena rezim representasi yang menguasi kehidupan dewasa ini. Penyikapan tersebut bukanlah berupa penyikapan verbal, tetapi refleksi yang diwujudkan melalui komposisi rupa, melalui kekuatan visual, berupa persuasi visual, metafora,satire, bahkan parodi yang dapat menggungah perhatian apresiator, harapan selanjutnya dapat menyentuh pada kesadaran diri.
“Seni lukis mungkin perlahan dan pasti telah menuju titik nadirnya di masa depan. Tetapi bagi kaum optimis,kecanggihan teknologi digital dan robotik bukanlah halangan, justru tantangan yang menarik. Sebuah tangangan real bagi perupa muda yang telah menghadirkan segenap potensi artistiknya di dalam pameran ini, “ tulis Yoga Parta. [T]