Sebulan penuh kita belajar untuk bisa ‘menahan’. Menahan segala sesuatu yang berkaitan dengan nafsu/ego. Bukan hanya mulutnya saja yang ditahan, melainkan juga berusaha menahan dua lubang mata, dua lubang telinga, dua lubang hidung, satu lubang kemaluan, dan satu lubang dubur. Leluhur kuno menyebut laku menahan ini sebagai laku Mesu Budhi Babahan Hawa Sanga.
Ya, usai sudah kita menjalankan ibadah puasa—dan puasa adalah laku paling rahasia. Laku untuk menemukan diri—yang oleh Sunan Kalijaga diibaratkan dengan “penekno blimbing kuwi”. Puasa adalah jalan pribadi untuk menuju Tuhan, bukan jalan umum. Puasa adalah ibadah rahasia dan paling mesra dari seorang hamba kepada Gusti-nya. Ya, puasa adalah kesunyian masing-masing.
Puasa telah usai. Belajar menahan telah usai. Idul Fitri telah tiba. Kini saatnya kita menghadapi kenyataan yang sesungguhnya. Saatnya kita akan membuktikan, apakah kita lulus ujian, atau remidi tahun depan, itu pun jika Tuhan masih memberikan kesempatan.
***
Di kampung saya sudah mulai ramai. Remaja kampung sudah mulai bahu-membahu untuk menyambut kemenangan. Sendari pagi mereka sudah membuat asesoris takbir keliling—yang mereka sebut gapura—untuk menyambut hari raya Idul Fitri. Gapura yang terbuat dari triplek kayu itu, diukir sedemikian rupa; dicat, dilukis, dan diberikan hiasan lampu warna-warni.
Sedangkan ibu-ibu rumah tangga disibukkan dengan mempersiapkan hidangan hari raya untuk esok hari, bapak-bapak bersih-bersih rumah, muda-mudinya heboh memilih baju lebaran dan seperangkat lainnya. Dan di grup-grup wasap, sudah mulai ramai ucapan-ucapan “Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1440 H” yang dicopas dari grup-grup tetangga dan tak kurang juga dicomot dari internet.
Idul Fitri memang identik dengan ‘hari kemenangan’, ‘kembali suci’, momen untuk saling maaf-maafan, dll. Namun di sisi lain, tampaknya Idul Fitri juga menjadi bukti ‘kepura-puraan’ kita selama ini.
Begini. Pada saat Bulan Puasa tiba, kita semua berbondong-bondong kembali kepada Tuhan, seakan-akan kita sungguh-sungguh ingin menjadi Insan Kamil. Kita mendadak menjadi manusia—yang sebelumnya kita hanya pura-pura menjadi manusia. Kita menjadi pribadi yang lain, pribadi yang seakan-akan lebih baik dari sebelumnya.
Ya, mungkin memang demikian. Saya sendiri, misalnya. Ketika di bulan-bulan lain, saya jarang salat berjamaah, jarang membaca Alquran, pokoknya jarang beribadah. Tapi tidak tahu kenapa, pada saat Bulan Puasa, saya seakan-akan berubah menjadi pribadi yang taat terhadap perintah agama.
Mungkin juga Anda sekalian. Lihat saja, pada saat Bulan Puasa, musala atau pun masjid sangat ramai. Yang dulu tidak pernah salat mendadak rajin salat. Yang dulu jarang sedekah, mendadak rajin sedekah (walaupun kemudian diunggah di sosial media). Di tipi-tipi, tayangannya mendadak Islami dan artis-artisnya, tampilan dan tingkah lakunya mendadak reliji. Semua mendadak berubah.
Dan kini, bulan yang ajaib ini hendak berlalu. Kata-kata mutiara bertebaran di mana-mana. Doa-doa agar “Tuhan menerima amal”, “semoga bulan Ramadan ini bukan bulan yang terakhir”, dll, berjibun di status Fesbuk, grup-grup wasap, dkknya. Sebentar lagi, kita akan melihat kedok kita masing-masing.
Setelah sebulan penuh kita belajar untuk menjadi manusia spiritual, belajar untuk lebih dekat dengan Tuhan, dan setelah Idul Fitri, akan menjadi bukti, apakah kita hanya berpura-pura ibadah, atau kita memang sungguh-sungguh menjalaninya.
Kita lihat saja. Semoga musala atau masjid tetap ramai, tidak kembali sepi. Semoga laku kita tetap menggunakan parameter manusia. Semoga tayangan tivi tetap menampilkan yang Islami-islami. Semoga artis-artis kita tetap reliji-reliji. Semoga di status Fesbuk, grup-grup wasap tetap menebarkan kata-kata mutiara, doa-doa, permohonan maaf, dan bukan kata-kata makian, ujaran kebencian, hoak, dll.
Namun, jika semua itu tidak terjadi, dan kita kembali seperti sebelum-sebelumnya; kembali tidak salat; kembali berkelahi; kembali menyebarkan hoak; kembali saling memaki; kembali mengujar kebencian; kembali rakus; kembali meghamba kepada hawa nafsu; kembali menjadi binatang, maka jangan-jangan, Bulan Puasa bukan bulan untuk belajar ‘menahan’, belajar untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, tapi Bulan Puasa adalah bulan untuk belajar melatih kepura-puraan kita. Jika iya, maka Idul Fitri, adalah bukti kepura-puraan kita.
Saudara, mari kita renungkan bersama, apakah Bulan Puasa kita jadikan sebagai bulan pembelajaran untuk menjadi manusia, atau hanya kita jadikan sebagai bulan untuk melatih kepura-puraan kita saja.
Selamat lebaran, mohon maaf lahir dan batin. Sungguh, saya sangat sedih, bulan Ramadan akan segera berlalu, sebab tidak enak rasanya untuk kembali tidur setelah Subuh. [T]