PERKENALAN saya dengan dunia film pendek sebenarnya dimulai pada 2016 lalu. Sebelumnya saya hanya sebatas menjadi penikmat film bioskop. Sangat jarang bersentuhan dengan film pendek dokumenter.
Pada 2016, kantor menugaskan saya di desk hiburan dan budaya. Di desk ini saya mulai bersentuhan dengan film pendek dan dokumenter. Saat itu saya baru mengenal Minikino – organisasi yang fokus pada film pendek.
Tatkala itu saya baru paham bahwa film bukan hanya sebatas film bioskop semata. Ada berbagai macam film. Mulai dari fiksi, dokumenter, animasi, hingga eksperimental.
Tahun itu, Minikino membuka sebuah pelatihan menulis dan menyusun program film. Pelatihan yang tak ingin saya lewatkan sia-sia. Apalagi pelatihannya tak berbayar. Tentu saya langsung mendaftarkan diri. Apalagi saya masih sangat awam dengan film.
Dari pelatihan yang digelar Minikino, saya belajar banyak. DariLuh De Suriyani, saya belajar bagaimana cara menulis berita terkait film agar tak terlalu banyakspoiler. DariAyu Diah Cempakasaya belajar bagaimana mengulas dan mengkritik sebuah film.
Selain dari mereka berdua, saya juga belajar dari Program Director Minikino,Fransiska Prihadi. Saat belajar sebagai programmer, hasilnya gagal total. Saya tak begitu ahli menyusun film menjadi sebuah rangkaian program.
Setelah pelatihan dan menyaksikan sekian banyak film, saya tersadar. Saya sudah cukup banyak menulis straight news dan feature. Namun ternyata tak semuanya bisa disajikan secara gamblang lewat media tulisan. Terkadang media audio-visual, seperti film, bisa memberikan narasi dan feel yang lebih lengkap. Saya pun memutuskan belajar membuat film.
Keinginan itu saya utarakan pada Kardian Narayana aliasCotek. Saya melamarnya sebagai penata gambar. Karena saya sadar pengetahuan saya tentang sinematografi tak seperti Cotek. Saya cukup yakin dengan kemampuannya. Apalagi kami pernah bernaung dalam satu stasiun TV yang sama, meski berbeda divisi.
Saya kemudian menyampaikan keinginan membuat film padaistrisaya, sekaligus melamarnya sebagai produser. Alasannya sederhana saja. Membuat film pasti butuh biaya yang tak sedikit. Siapa tahu istri bisa menyisihkan sedikit uang dapur untuk membiayai keinginan ini.
Saya juga meminta Komunitas Mahima, agar mereka membuat divisi baru. Divisi film. Hanya untuk menampung keinginan saya membuat film. Keinginan yang diamini dengan cepat oleh pasangan suami istriAdnyana OledanSonia Piscayanti.
Gayung bersambut, kami pun memproduksi film.
* * *
SETAHUN lalu kami berkenalan dengan Rita. Nama lengkapnya Putu Rita Erviana. Dia salah satu siswa di SLB Negeri 1 Buleleng.
Rita merupakan salah satu siswa berbakat di sekolahnya. Dia menguasai beberapa tarian Bali. Hal ini cukup unik, karena Rita sebenarnya mengalami disabilitas rungu-wicara.
Dalam kesunyian, ia menari dengan baik. Kami berupaya mendokumentasikan tiap proses yang ia jalani.
Kami berupaya menghadirkanfeelseperti apa penari disabilitas rungu-wicara menari. Bukan hal yang mudah. Begitu banyak tantangan teknis yang kami alami. Terutama tantangan bahasa. Beruntung adaDian Suryantiniyang menjembatani masalah ini. Tak percuma ia menjadi mahasiswa jurusan bahasa dan sastra.
Setelah mendapat beberapa masukan, akhirnya film itu tuntas. Film itu kami beri judul “Rita”. Sesuai nama dengan subjek penari yang kami dokumentasikan.
Film itu kami daftarkan di beberapa ajang diskusi sinema. Kami juga ikutkan di beberapa lomba. Tak semuanya berbuah. Hanya di Denpasar Film Festival, film kami mendapat nominee.
* * *
Tahun ini, film Rita kami daftarkan di program Indonesia Raja 2019 yang digelar Minikino. Kami hanya ingin film ini ditonton oleh lebih banyak orang. Bila tak lolos, paling tidak pernah ditonton programmer dan film ini sudah masuk direktori Minikino.
Jumat lalu (31/5/2019), saya menerima email dari Minikino. Pesan itu sudah masuk tengah malam, tapi baru saya baca keesokan paginya. Ternyata film kami terpilih dalam Program Indonesia Raja 2019 Bali.
Terpilihnya film ini dalam program Indonesia Raja, membuat ingatan saya melayang ke tahun 2016 lalu. Tahun dimana saya masih baru mengenal lembaga ini. Tahun dimana saya tak pernah membayangkan film saya akan diputar dalam salah satu programnya. [T]