Puu.I.See adalah satu program di Canasta Creative Space, Jalang Tukad Sanghyang No.2, Panjer, Denpasar, beranggotakan kawan-kawan muda yang gemar sastra, khususnya menulis puisi.
Siapapun boleh datang untuk belajar, menulis dan berdiskusi mengenai jagat perpuisian di Indonesia dan Bali. Bulan Mei ini merupakan pertemuan ke lima, karena tidak ada keterikatan apapun di dalam kelompok ini, kawan-kawan yang datang pun, sangat bebas.
Ada yang hanya sekali datang, berkali-kali, ada yang sangat serius dan konsisten datang. Tapi tak apa, begitulah membangun dan resiko kelompok. Yang penting menanam benih dulu lah, akan jadi pohon besar atau sampai mana perjalanannya.
Kali ini kami mengundang penulis muda, Wayan Esa Bhaskara untuk membagi salah satu metode kepenulisannya. Kebetulan Bli Esa menelurkan antologi perdananya beberapa waktu lalu dan satu penulis yang menekuni metode Black Out Poetry.
Esa adalah seorang guru Bahasa Indonesia di SMK N 1 Denpasar, metode ini menjadi sarana dalam kurikulum menulis puisi dan cukup berhasil diterapkan pada murid-muridnya, dari beberapa metode yang pernah ia coba, semisal dengan stimulus lukisan atau mengajak muridnya ke luar ruang sekolah.
“Dua metode sebelumnya, tidak mendapatkan hasil yang memuaskan, apalagi jika menulis dari kertas kosong. Metode ini cukup baik, walau hanya mendapat dua atau tiga murid yang karyanya mendekati puisi” ujar Bli Esa sebelum memulai kelas.
Kelas di mulai pukul 19.30 wita, semakin malam, beberapa kawan berdatangan. Menariknya tidak semua peserta berlatar belakang sastra dan penulis puisi. Ada dari teater, penata artistik, linguistik, desain grafis, dan umum. Metode Black Out Poetry adalah metode menulis puisi dengan cara mencari kata-kata dari sebuah tulisan, berita, artikel, di media cetak.
Kata-kata yang diinginkan ditandai dengan bentuk bulat atau kotak, kemudian kata yang lainnya dihitamkan (boleh juga dengan warna lainnya) seluruhnya, atau dengan membentuk visual kebutuhan penciptanya. Kata-kata pilihan itu, diharapkan membentuk kalimat yang mendekati estetika puisi, serta jauh dari isi artikel mulanya.
Bagi saya sendiri metode ini mengungkung imajinasi penulis puisi dalam menciptakan suatu peristiwa puitis, tapi secara teknis penulis sudah disiapkan kata-kata dari artikel, dan mengharuskan menyambungnya, mengkoneksinya, mengukur kadar puitisnya dengan berbagai pertimbangan.
Saya sendiri sangat sulit memulainya, karena kepala saya sudah diinterpretasi bentuk-bentuk puisi romansa yang selalu saya tulis. Serta selalu terjebak dalam bantang satua (inti cerita) yang tergambar dalam pikiran.
Tapi kalau Kikydew memiliki pemikiran berbeda.
“Kalau saya, menulis dengan kertas kosong itu kadang-kadang terlalu banyak ide, tapi jika udah ketemu sama kertas, jadi blank dan nggak bisa nulis apa-apa. Nah metode ini, bisa mengarahkan,” kata Kikydew salah seorang peserta yang sedang belajar menulis puisi
Ketika mulai kelas, semua khusyuk dengan lembar korannya masing-masing. Menelaah dengan perlahan karena harus membaca secara keluruhan isi artikel terlebih dahulu, bukan langsung mengada-ngada tanpa mengerti konteks secara utuh.
Saya sendiri sampai dua kali mencoba metode ini, sementara yang lain cukup asik dengan imajinya masing-masing, ada yang telungkup, memegang korannya di tangan, duduk bersila sambil menerka, ada pula yang sesekali menghela nafas karena kesusahan dalam merangkai. Tapi tidak menyurutkan semangat para peserta untuk melaksanakan tugas.
Satu diantaranya Bli Komang Tress yang terbiasa dengan komposisi panggung, visual art, kolase, instalasi, dan ukur mengukur ruang. Menganggap metode ini sebagai penyelamat dirinya, jika ditugaskan menulis puisi pada suatu keadaan tertentu. Dan kebiasaannya selalu bergerak dari sesuatu yang ada untuk menjadi ada-yang lebih spesial. Naaah metode ini sangat cocok untuknya, karena bahan sudah tersedia, tinggal dirangkai menjadikan ke puisi.
“Ini salah satu metode yang menyelamatkan saya jika diharuskan untuk menulis puisi, karena saya tidak terbiasa dengan kertas kosong, dan merangkai kata adalah kelemahan saya,” jelas Bli Komang Tress, yang saat itu menggunakan baju hitam.
Lebih jauh lagi, metode Black Out Poetry ini juga tergantung dari jenis berita yang digunakan. Karena karakter berita juga menentukan diksi-diksi yang dipakai, misalnya berita ekonomi diksinya akan banyak istilah ekonomi dan jabaran angka, berita budaya akan bertaburan kata-kata yang mendekati kesenian dan keseharian, berita kriminal dengan deskripsi pelaku, korban, kekerasan serta berbau provokatif, begitu pula berita politik dan lainnya.
Nah karakter berita ini juga sebagai keuntungan sekaligus kelemahan, jika diksinya susah, cara mengkoneksinya pun perlu berfikir berat, sementara untungnya adalah memunculkan kemungkinan metafora-metafora yang tidak diperkirakan.
Di sisi lain, Satyawati yang sedang menempuh pascasarjana Lingusitik di Universitas Udayana, melihat metode ini sebagai upaya rekonstruksi kata-kata dari makna awalnya. Sebab ia hadir sebagai makna baru ketika digabungkan dengan kata lain, yang sebenarnya berjauhan.
Rekonstruksi ini akan berhasil jika penulisnya memiliki kecermatan, kejelian, dan harus berulang di lakukan. tidak memandangnya sebagai metode saja, tapi memang cara untuk membuat puisi.
Bagi saya sendiri, metode ini merupakan salah satu cara untuk memecah kebuntuan ide seniman. Serta memunculkan kemungkinan-kemungkinan baru dalam mencipta puisi. Hanya saja jika tidak ada yang serius atau seseorang yang menekuni ini, ya akan menjadi refrensi cadangan saja, bukan hal primer. Siapa yang akan menjawabnya,?
Tergantung ane nyak gen sih… [T]