Bicara soal berhala, menarik untuk membahas gagasan kontroversial novelis Dan Brown. Ia disebut sebagai best selling author sepanjang sejarah penjualan novel fiksi dewasa di seluruh dunia. Ini berkat karya-karya hebatnya yang begitu menegangkan dalam tetralogi petualangan simbolog Robert Langdon. Keempat novel tersebuat adalah Angels & Demons, The Da Vinci Code, The Lost Symbol & Inferno.
Terutama melalui The Da Vinci Code, Brownberhasilmenusukkan belati di jantung keyakinan kaum kristiani. Ia, secara terang-terangan menggunakan istilah paganisme atau penyembah berhala untuk sederetan tradisi sekelompok umat nasrani dalam beribadah. Baginya, kaum pagan atau berhala tak bisa hanya dituduhkan pada mereka yang tampak “menyembah patung” belaka, terutama tradisi penganut Hindu di dunia timur, India atau Indonesia (Bali).
Penulis yang novel-novelnya telah digubah ke dalam 40 bahasa ini secara frontal mengkritik (otokritik), lingkungannya sendiri yang kristiani. Ia sendiri mengaku, setelah belajar banyak tentang sains ia telah meninggalkan agama. Baginya kitab suci tak masuk akal.
Sebuah otokritik, tak hanya aliran energi yang mengalir mengkritisi diri sendiri atau lingkungan kita sendiri. Pada arah yang berlawanan, secara diam-diam, ia pun telah menghembuskan rasa hormat kepada tradisi kelompok yang telah tertuduh selama ini. Bahkan mungkin telah dinista atau dilecehkan. Sebutnya begini, jika “menyembah patung” adalah berhala, maka apapun ibadah yang didasarkan atas tempat dan arah tertentu, waktu tertentu, tata cara tertentu, sarana tertentu, maka itu pun berhala.
Sebab, Tuhan tak pernah peduli soal tempat, waktu dan cara-cara apapun. Ia yang maha sempurna, ada di mana saja, kapan saja dan bagaimana saja. DihadapanNya, semua baik. Lalu kenapa lalu di hadapan kita, kita angkuh dapat menilai yang lain baik atau buruk?
Menaruh seorang simbolog sebagai tokoh utama dalam setiap novel best seller-nya, seakan-akan Brown sedang menggugat. Ia lebih memberi rasa hormat pada eksistensi simbol-simbol dalam tradisi manusia sebagai state of beyond science & religion ketimbang kitab yang disakralkan congkak membekap sains itu sendiri. Simbol-simbol selalu dapat menjadi kekuatan misterius yang menuntun manusia menjadi bijak dan cerdas dalam keredahan hati.
Tradisi “tumpek landep”, adalah sebuah spirit kerendahan hati. Momentum yang datang setiap Saniscara/hari Sabtu Kliwon wuku Landep ini, secara filosofis memiliki kekuatan simbolis yang sama dengan perayaan Nyepi dan Saraswati yang sedemikian afirmatif. Kita memang butuh oksigen yang cukup banyak untuk menyelam pada kedalaman nilai falsafahnya.
Tanpa oksigen yang memadai, maka akan mudah terjadi hipoksia otak hingga keluar ocehan megalomania menyebut ini sebagai tradisi berhala dalam makna subordinatif. Tidak, tentu saja tidak. Sampai pada suatu titik di mana ritual ini betul-betul berhenti hanya sebagai sebuah simbol belaka.
Maka, kita bertanggung jawab untuk menyelami segala misteri ini. Landep yang punya makna tajam, mengingatkan kita pada pikiran manusia yang sedemikian tajam hingga kuasa membunuh sesama. Dirimu adalah apa yang engkau pikirkan, maka ialah sumber dari segala sumber takdir manusia. Ketika sesaat segala peralatan kerja diistirahatkan untuk didoakan, maka kerendahan hati ini membawa tubuh dan pikiran kita juga sesaat untuk tenang.
Lalu menyelami kesadaran terdalam untuk membawa segala pikiran kita tetap terang pada arahnya yang tepat, memandu wicara dan gerak tangan kita. Berbagi simbol dan ritual, segalanya dapat baik & segalanya dapat buruk di hadapan kita. Jika patung-patung yang disucikan dapat memperbaiki ahlak umatnya, takkan sedikit pun berkurang mulianya meski itu disebut berhala.
Namun, kitab suci yang sedemikian dihormati, telah mengajak manusia untuk berperang dan saling memusnahkan, maka itulah berhala yang sesungguhnya. [T]