Baskom bekas, tabung cat, potongan besi, periuk penyok, dan sejumlah barang bekas lainnya tiba-tiba bersatu dalam harmoni dinihari. Barang-barang itu dipukul dalam irama dan ketukan yang teratur, sehingga setiap suara yang berbeda dari masing-masing benda dapat dipadukan dalam satu irama, dalam sebuah “simponi kecil” yang enak didengar telinga dan tentu juga merasuk ke dalam hati.
Dan anak-anak yang memainkannya tampak begitu khidmat, jarang terdengar suara-suara mereka sendiri, kecuali kalau kebetulan ada selisih ketukan yang mengakibatkan irama sedikit kacau, mereka akan bersorak sebentar,”Huuu…” lalu secara spontan memulai ketukan baru. Begitulah mereka terus berkeliling kampung, masuk lorong ke luar lorong dan gang-gang sempit di antara sisa rumah-rumah panggung.
Suasana tersebut saya dapatkan di Kampung Loloan, Jembrana, Bali Barat tiap kali datang bulan Ramadan. Orang menyebutnya ngotek, yakni suatu cara dan partisipasi anak-anak muda kampung membangunkan orang-orang yang akan berpuasa untuk makan sahur dengan memainkan musik “natural” di sekitar mereka.
Loloan, sebagaimana kampung-kampung muslim lain di Bali, pada bulan Ramadan kaya akan pementasan tradisi khas dan ritual; sehabis berbuka puasa dengan menyantap aneka jajan tradisional yang tersedia di warung takjil, mereka berangkat ke masjid melaksanakan sholat isya dan taraweh-witir berjamaah, diselingi ceramah rohani, lalu tadarus hingga irama ngotek terdengar menyambut dinihari mereka. Sahur, sahur, sahur!
Imsyak tiba, azan subuh pun bergema dari Menara Masjid Baitul Qodim—masjid tertua di Loloan—bersilih dengan Masjid Mujahidin Loloan Barat, serta masjid-mushala lain, besar-kecil, di lorong dan tepi kampung.
Inilah pementasan tiada henti sepanjang hari, dalam satu bulan penuh dambaan. Mata rantai kegiatan yang tak pernah putus, seperti irama ngotekyang bersahut-sahutan dari satu lorong ke lain lorong, dari satu jalan ke lain jalan. Dengan ngotek mereka memberi nuansa tersendiri pada bulan Ramadan yang membedakannya dengan bulan-bulan lain. Lewat tabuhan baskom bekas, periuk bolong, lengkingan besi, mereka seakan berkata inilah bulan suci, rahim bulan seribu bulan, yang pantas untuk senantiasa diingatkan.
Dalam situasi sekarang sebenarnya orang-orang mudah terbangun. Kampung Loloan sendiri hampir setiap hari begadang. Sebagai kampung yang berada di ibukota kabupaten, Negara, aktivitas warga sangat padat. Salah satunya dari pedagang informal yang berjualan di pasar senggol. Mereka biasa pulang larut malam mendorong gerobak jualan mereka yang berderak masuk gang.
Derak gerobak perempuan yang berjaga/ bunda malam yang riang dalam rinai/ mengelus embun dengan syahdu, tulis Nur Wahida Idris, penyair kelahiran Loloan dalam bukunya Mata Air Akar Pohon (2008).
Akan tetapi bukan alasan untuk tidak mementaskan ngotek keliling kampung sebab ketahuilah itu merupakan sumber kegembiraan, memberi penghiburan kepada anak-anak dan melatih ketulusan beramal soleh. Sekecil apa pun itu mengandung spirit Ramadan dalam berbagi kebaikan.
Selain itu, kehadiran ngotek bermakna kontekstual bagi masyarakat Loloan. Dengan bertalunya irama ngotek, mereka yang barangkali lupa atau alpa, akan diseret kembali pada sebuah nuansa di bulan mana mereka berada. Orang-orang lalu bisa menjaga irama Ramadannya, tiap kali irama ngotek terdengar, sepanjang tradisi ngotek tetap hidup di Loloan. Dan anak-anak muda itu telah menyadarkan banyak orang akan dirinya, keberadaannya, dan lingkungannya. Ngotek lalu tidak menjadi sekedar penanda, namun sekaligus isyarat suara-suara.
Maka ketika suara ngotek nanti tidak terdengar lagi pada dinihari, apa yang tiba-tiba terasakan? Kepergian dan kehilangan. Ya, tanpa sadar hari baik bulan baik itu telah lewat, Ramadan berlalu. Tinggallah rindu dan pengharapan supaya kiranya Tuhan Semesta Alam memberi kesempatan untuk bertemu bulan suci kembali.
Sampai di sini, ngotek menjadi urusan hati masing-masing. [T]