Hari itu, Jumat 17 Mei 2019. Waktu sudah menunjukkan jam 15.30 Wita, langkah saya tertuju pada mesin absen sidik jari yang tertempel di sudut tembok kantor tempat saya bekerja. Masih tersisa sekitar 1,5 jam untuk dimulainya kegiatan “Diskusi Keseharian” yang mengangkat tema tentang “Ilusi Pangan” di Rumah Intaran, Desa Bengkala, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng.
Tema ini sangat menarik, karena begitu kita membicarakan tentang pangan, maka pikiran kita langsung mengarah pada makanan yang akan saya santap saat sampai di rumah nanti.
Saya merapikan tempat kerja, sembari mengambil catatan kecil yang saya akan gunakan sebagai bahan untuk menjadi moderator pada diskusi itu. Catatan itu berisi beberapa fakta yang saya ambil dari beberapa berita dari kanal berita nasional dan data statistik yang dihimpun dari website BPS. Tentu saja rujukan-rujukan itu sangat penting, karena jika tidak, bisa saja nanti saya disangka penyebar hoax, karena menggunakan data dan informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan sumber dan faktanya.
Saya langsung mengambil tas untuk bergegas menuju Areal Taman Kota Singaraja, di tempat itu saya berjanji dengan sahabat saya bernama Jaswanto, seorang mahasiswa jurusan ilmu ekonomi di salah satu kampus ternama di Kota Singaraja. Selama perjalanan saya mendengarkan penjelasan tentang kondisi yang terjadi di tanah kelahiran sahabat saya ini, salah satunya mengenai kondisi pertanian di kawasan Tuban, Jawa Timur yang kini telah menyusut, dikarenakan alih fungsi lahan yang terjadi akibat industrilisasi.
Sesampainya di rumah, anak saya paling besar langsung dengan sumringahnya menyambut kami di depan pintu. Saat itu memang saya putuskan untuk pulang terlebih dahulu ke rumah saya di Desa Bungkulan, dikarenakan ibu saya sudah menyiapkan ubi-ubian yang akan saya bawa sebagai camilan diskusi sore itu di Rumah Intaran.
Waktu sudah menunjukan pukul 16.30, kami langsung mohon pamit untuk bergegas ke Desa Bengkala. Desa ini terkenal dengan Janger Kolok, kesenian khas yang dimainkan oleh beberapa masyarakat penderita tuna wicara yang berasal dari desa itu. Banyak orang tahu Desa Bengkala karena seni Janger Kolok itu, tentu saja karena kesenian itu sudah diberitakan berkali-kali melalui media mainstream maupun media sosial seperti Youtube. Banyak juga yang membuat film pendek tentang janger yang unik itu.
Belakangan Desa Bengkala juga dikenal memberi inspirasi dalam hal arsitektur dan kuliner lokal. Ya, karena di desa ini terdapat Rumah Intaran, sebuah tempat yang tidak kalah keren dengan rumah-rumah kreatif lain di sejumlah daerah di wilayah perkotaan.
Di rumah inilah kami akan melangsungkan diskusi yang bertemakan tentang “Ilusi Pangan”. Ini sangat menarik, seperti kata Bung Karno, “Soal pangan adalah soal hidup matinya sebuah bangsa”.
Menapakkan kaki di Rumah Intaran, seakan-akan kita berada di tempat tempoe doeloe, maklum saja inisiator dan pemilik Rumah Intaran, Gede Kresna, merupakan seorang arsitek yang kiprahnya sangat diperhitungkan di kalangan dunia aristek nasional. Ia sering melakukan penelitian untuk arsitektur-arsitektur tradisional dan pangan di beberapa provinsi di Indonesia.
Ia juga aktif melakukan pendampingan terhadap beberapa kelompok masyarakat di desa, terutama di Desa Bengkala dan sekitarnya, salah satunya memberikan edukasi kepada kelompok ibu-ibu tentang tata cara pembuatan gula aren, minyak kelapa dan bahan makanan lokal lain.
Sembari menunggu peserta diskusi yang sudah melakukan konfirmasi kedatangan, saya beserta Jaswanto diajak untuk mengunjungi areal belakang Rumah Intaran yang digunakan sebagai kandang tempat untuk memelihara puluhan ekor ayam kampung.
Gede Kresna menyampaikan, “Bicara soal kemandiran pangan, kita tidak bisa lepas dari peran rumah tangga dalam menyiapkan bahan makanan yang nantinya bisa diolah langsung untuk dijadikan bahan konsumsi bagi keluarga di rumah”.
Ada beberapa ayam yang saya lihat sedang berdiam di bembengan, sebutan tempat beretelur ayam kampung bagi masyarakat di Bali. Hal ini tentu sangat menarik, dikarenakan di pasaran kita sering melihat telur ayam kampung sangat langka bisa ditemukan, kalaupun ada, pasti jumlahnya sangat sedikit.
Lalu kami diajak ke areal sejauh 300 langkah ke belakang, menyusuri jalanan setapak dan melintasi rumah penduduk. Di sana sedang dikembangkan project kebun organik yang kelak akan digarap sebagai tempat untuk berinteraksi sekaligus sumber pangan bagi penghuni Rumah Intaran.
Gede Kresna mengatakan, Rumah Intaran sangat serius dalam melakukan upaya-upaya advokasi dan disimenasi informasi tentang pentingnya menjaga kualitas pangan yang baik, jauh dari pencemaran bahan kimia yang dapat membahayakan kesehatan manusia. Untuk itulah ia berharap agar masyarakat lebih melek dalam memilih bahan pangan sebelum mereka jadikan makanan.
Setelah kami melihat-lihat landscape di kebun itu, kami memutuskan kembali ke Nimbasrama, sebuah bangunan yang digunakan secara khusus sebagai tempat diskusi. Satu demi satu peserta berdatangan, beberapa botol tuak manis dan air kendi disajikan untuk peserta, juga ubi-ubian yang dibuat oleh ibu saya, dipersiapkan untuk peserta diskusi sore itu.
Untuk diskusi harian di Rumah Intaran, Gede Kresna memberikan beberapa syarat tambahan bagi peserta antara lain membawa “konsumsi gotong royong”. Semua hadirin masing-masing membawa sedikit konsumsi untuk disantap bersama-sama. Ingat, syaratnya tanpa MSG, tanpa pewarna buatan, tanpa pengawet, tanpa membawa kemasan plastik. Dan di tempat diskusi disediakan air kendi dan tuak manis.
Suasana sangat tenang, sesekali terdengar suara kicauan burung yang sangat indah, Rumah Intaran tidak hanya menjadi tempat berkumpulnya manusia kreatif, namun di sisi lain rumah ini juga menjadi tempat aman bersarangnya burung-burung indah, karena Gede Kresna masih memberikan kesempatan kepada mereka untuk hinggap, bersarang dan mencari makan di pepohonan besar alam areal rumah intaran dengan aman.
Satu demi satu peserta berdatangan, acara sedikit molor karena mayoritas dari peserta yang datang berasal dari kota yang jaraknya sekitar 40 menit dari Rumah Intaran. Seperti biasa, layaknya diskusi di tempat lain, sebelum acara dimulai, peserta berinteraksi layaknya sahabat lama yang sudah lama tidak bertemu langsung, yang hanya bisa bertegur sapa melalui gawai masing-masing di aplikasi jejaring sosial seperti Facebook misalnya.
Suanana tampak akrab dan cair, maklum saja peserta yang sudah konfirmasi adalah orang-orang yang tidak asing dalam pergaulan kami, hadir pada malam itu Ajik Dino (Tokoh Puri Singaraja), Tini Wahyuni (Seniman yang merupakan Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Udayana), Jaswanto (Penulis Tatkala.Co), Gede Praja (Aktivis Lingkungan), Tojan Puja Negara (Ketua Karang Taruna Desa Bungkulan), Pandu (Sekdes Desa Bungkulan), Ajik Mengkong (Pelukis), Kardian Narayana (Wartawan Muda Kompas TV, yang sekaligus jadi Pimpinan di BEM Universitas Panji Sakti), Berto (mahasiswa magang asal Flores), Shalim (staf Rumah Intaran) dan tentunya saya sebagai moderator beserta Gede Kresna sebagai tuan rumah “Rumah Intaran”.
Saya yang bertugas menjadi moderator membuka diskusi itu dengan menyampaikan beberapa data antara lain jumlah luas sawah yang terus menurun di Indonesia, tingginya import kedelai dari USA yang mencapai 2,5 juta ton berdasarkan data BPS dan berita tentang bahaya pestisida bagi kesehatan petani.
Setalah saya menyampaikan data tersebut, saya lantas memberikan kesempatan kepada peserta untuk menyampaikan pandangan mereka tentang kondisi pangan maupun pertanian yang terjadi di sekitar mereka. Terdapat beberapa kondisi yang disampaikan oleh peserta, yang diantaranya adalah menurunnya minat anak muda untuk kembali bertani, karena memandang bertani itu adalah pekerjaan kotor yang tidak meningkatkan status social mereka selaku tamatan program sarjana misalnya.
Disamping itu ada yang memandang bahwa tidak adanya kebijakan yang baik untuk mengarahkan pola subsidi bagi petani organic yang mengalami gagal panen, karena dengan kondisi pengelolaan pertanian saat ini, penggunaan pestisida yang berlebihan membuat hama-hama menjadi resistance terhadap bahan-bahan pestisida alami. Saat ini dengan bergulirnya dana desa yang begitu besar, sudah saatnya pemimpin di desa berpikir untuk memulai menggunakan dana itu untuk keperluan-keperluan pola pertanian yang berkelanjutan. Salah satunya adalah dengan membuat sentra-sentra pengolahan bahan pangan dalam unit-unit usaha BUMDES.
Menurut penjelasan dari Gede Kresna, ia pernah melakukan pengamatan tentang beberapa harga pangan di kota lebih murah ketimbang di desa. Di satu sisi, akibat dari maraknya penggunaan pestisida yang sangat berlebihan, membuat standar kesehatan bahan pangan menjadi tercemar, tidak bisa dipungkiri berbagai macam penyakit diduga meningkat akibat hal ini, salah satunya adalah kasus penyakit degenerative seperti kanker yang kian hari semakin banyak di masyarakat.
Hal itu menjadi perhatian serius bagi masyarakat. Untuk menyikapi kondisi-kondisi seperti ini, diperlukan upaya yang sungguh-sungguh oleh semua lapisan untuk memastikan proses produksi pangan yang baik, sehingga produk pangan itu aman dikonsumsi oleh masyarakat. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah dengan penggunaan bahan-bahan organik, seperti kompos, pestisida organik, fungsida organik dan perlakuan-perlakuan organik lainnya pascapanen.
Rumah Intaran sangat sering mengadakan diskusi-diskusi seperti ini, bahkan diskusi seperti ini dirancang setiap bulan, untuk memberikan kesempatan kepeada generasi muda berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang berbagai macam isu yang terjadi di masyarakat. Sebagai wahana pembelajaran,
Rumah Intaran ingin memberikan kesempatan kepada siapa saja, untuk belajar mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan, yang dalam jangka panjang bisa memberikan sumbangsih yang positif ke masyarakat. Beberapa kali kegiatan seminar, pelatihan-pelatihan kepada ibu rumah tangga tentang pembuatan kerajinan tangan dengan menggunakan bahan-bahan dasar yang berasal dari alam.
Hal ini menjadi perhatian, karena kedepan Rumah Intaran ingin cara-cara berkelanjutan yang ramah lingkungan seperti ini dapat menjadi perhatian bagi masyarakat. Berbagai macam desain produk tradisional sudah dibuat dan disampaikan kepada masyarakat, Gede Kresna menitikberatkan pada sebuah pemikiran, desain yang dibuat oleh Rumah Intaran bisa diduplikasi oleh masyarakat, karena Rumah Intaran tidak membuat produk, namun lebih kepada sebuah idealisme tentang dampak dari produk yang dihasilkan,.
Produk seperti ini diharapkan diduplikasi, sehingga ini akan memberikan dampak menurunya penggunaan plastik sekali pakai yang sangat berbahaya bagi lingkungan. Diskusi itu berakhir jam 9 malam, dan peserta menyimpulkan dengan perspektifnya masing-masing.
Kami memandang bahwa Rumah Intaran sudah mampu memberikan inspirasi kepada anak muda seperti kami, tentang pentingnya menjaga kearifan lokal, tradisi dan kebudayaan warisan leluhur yang adi luhung. [T]