Salah satu tanda akhir zaman adalah adanya orang yang banyak beribadat tapi jahil, dan ulama (ahli agama) tapi fasik (justru menyalahi ajaran agama). -HR. Ibn ‘Ady
Kita tidak pernah tahu pasti apakah Hari Kiamat benar-benar sudah dekat atau tidak. Namun, yang nyata, belakangan ini, seperti didemonstrasikan di depan mata kita, kegairahan beribadat tak jarang berjalan beriringan dengan pikiran fanatik, cupet, mau menang sendiri, dan menyalah-nyalahkan pandangan orang yang berbeda pendapat.
Di sisi lain, Nabi Muhammad Saw. telah bersabda di awal tulisan ini, bahwa kita dipaksa untuk menelan kenyataan bahwa keulamaan tak selalu berjalan beriring dengan moralitas luhur. Malah, seperti Haidar Bagir dalam esainya yang berjudul Cinta sebagai Asas Agama menuliskan, masyarakat dibuat skeptis terkait moral para ulamanya. Entah dalam hal hidup bermewah-mewahan dengan menjual keulamaannya kepada publik atau kekuasaan, entah menjual diri demi meraih kekuasaan atau jabatan, tak terkecuali juga popularitas.
Itu semua, menurut saya, dilakukan untuk menyenangkan massa dengan materi dan gaya berdakwah yang banal, atau dengan membenar-benarkan posisi politik penguasa atau orang yang telah menyuguhinya berbagai fasilitas, sambil menyesat-nyesatkan musuh si penguasa atau orang tersebut. Padalah, menurut Candra Malik: Dakwah itu merangkul, bukan memukul. Dakwah itu mengajak, bukan mengejek. Dakwah itu mengobati, bukan menyakiti. Dakwah itu menyenangkan, bukan menegangkan. Dakwah itu menentramkan, bukan menyeramkan. Dan yang paling penting, dakwah itu membahagiakan, bukan membahayakan.
Di samping beribadah, seorang ulama juga harus berilmu. Ini jugalah latar kenapa Nabi secara demonstratif memilih duduk di masjid bersama jamaah yang mendiskusikan ilmu ketimbang semata-mata memperbanyak ibadah. Akan tetapi, bukan berarti beribadah tak penting, tetapi bahwa membanyak-banyakkan ibadah tanpa disertai wawasan cukup dan pikiran terbuka justru bisa melipatgandakan kerusakan akibat semangat kesalehan yang sering tak terkendali.
Dalam mencari ilmu pun, niatnya harus mencari ridho Allah, bukan apa-apa. Seperti kata Imam Abu Hamid Al-Ghozali, dalam Bidayatul Hidayah, menuliskan: Sesungguhnya engkau, dalam mencari ilmu, apabila berniat untuk bersaing mencari popularitas, kebanggaan atau untuk mengungguli teman-teman sebayanya dan supaya mendapat simpati dari orang banyak, maka engkau sebenarnya telah berusaha menghancurkan agamamu, merusak dirimu sendiri, dan menjual kebahagiaan akhirat dengan kesenangan dunia.
Ibarat seorang pedagang, maka transaksi yang telah engkau buat itu sia-sia dan perdagangan yang engkau tangani itu tidak membawa keuntungan. Sedangkan orang yang mengajarmu (gurumu) itu dianggap membantumu melakukan kemaksiatan yang juga akan merasakan kerugian. Guru yang demikian itu laksana orang yang menjual segala pedang kepada penjahat.
Di era zaman kacau ini, dunia yang sedang meluruh ini, di negeri yang tuna budaya ini, umat harus berhati-hati memilih ulama panutannya dalam belajar agama; jangan tertipu oleh kepiawaian berpidato dan materi dakwah yang sekadar menghibur atau memanas-manasi demi memuasi nafsu angkara orang banyak.
***
Semua Muslim saya kira sepakat bahwa mengupayakan kebaikan dan menolak kemungkaran adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Terkait dengan hal itu, Haidar Bagir mengungkapkan, ada dua hal lagi yang sangat penting untuk dibahas. Pertama, apakah menolak kemungkaran—betapapun memang merupakan suatu kewajiban—harus selalu dilakukan dengan represi/persekusi, bahkan sikap-sikap kasar? Kedua, bagaimana kita harus mengintegrasikan gagasan tentang nahi mungkar ini dengan gagasan dakwah, yang malah mempromosikan kelemahlembutan?
Bagi saya, kedua pertanyaan ini menjadi sangat penting sebagai pertimbangan kita dalam memilih ulama untuk kita jadikan guru spiritual kita semua. Sebab, di Indonesia ini, akhir-akhir ini banyak sekali ulama yang seperti dikatakan oleh Nabi, “…ulama (ahli agama) tapi fasik (justru menyalahi ajaran agama)”.
Seorang ulama—yang menjadi guru bagi umat—seharusnya sudah menyelesaikan masalah dengan dirinya sendiri, mengalahkan ego dalam dirinya. Sebab, seperti kata Syaikh Badiuzzaman Said Nursi dalam Risalah Ana at-Thabi’ah, “ego” adalah kunci untuk membuka perbendaharaan nama-nama Allah yang tersembunyi dan rahasia alam yang terkunci. Ia merupakan misteri yang menakjubkan dan teka-teki yang mengherankan. Namun dengan memahami subtansi “ego”, misteri menakjubkan tersebut akan terungkap dan teka-teki mengherankan itupun akan tersingkap. Akan tetapi, “ego” juga merupakan benih yang menjadi asal-muasal pohon zaqqum yang menakutkan.
Sejalan dengan itu, Ali bin Abi Thalib pernah menyatakan, “Betapa mudah mengungkapkan kebenaran, tetapi betapa sulit melaksanakannya… Hanya orang-orang yang mampu membenahi dirinyalah yang dapat membenahi masyarakatnya.”
Seolah menyimpulkan itu semua, Ibn Taimiyah yang menjadi patron banyak kelompok “keras” di kalangan umat Islam, menyatakan, “Orang yang ingin beramar makruf nahi mungkar semestinya memiliki tiga bekal: ilmu, kelemahlembutan, dan kesabaran.” Kepemilikan ilmu diperlukan agar orang memahami persoalan yang dihadapi sebelum melancarkan kegiatan nahi mungkar itu sendiri. Lalu, kelemahlembutan harus mewarnai proses menolak kemungkaran itu sendiri. Artinya, sikap sabar harus dirawat sesudahnya untuk memastikan bahwa kita terus memelihara ketelatenan untuk melakukannya dengan penuh kebijakan, begitu kata Haidar Bagir dalam esainya yang berjudul Dakwah dalam Menolak Kemungkaran.
Saudara-saudaraku semuanya, marilah kita mencari ulama yang ulama—yang benar-benar ulama. Bukan ulama yang berbaju partai, atau yang sukanya saling menyalahkan, tidak punya jiwa kelemahlembutan, kesabaran, dan sukannya membikin kegaduhan, sedikit-sedikit marah-marah, sampai sumpah-sumpah pakai Al-Qur’an segala, atau ulama yang berani menyuruh-nyuruh Tuhan untuk memberikan azab kepada sesama manusia. Carilah ulama yang ulama. [T]