Di dalam masyarakat yang rasional, kontestan pemilu perlu investasi politik bertahun-tahun sebelum mencalonkan diri sebagai kontestan pemilu dan kemudian dapat memenangkan suara pemilih.
Sebaliknya pada masyarakat yang memiliki ingatan jangka pendek seorang kontestan pemilu pendatang baru mungkin saja memenangkan suara pemilih kalau memiliki modal yang cukup untuk dipertukarkan dengan suara tanpa terdeteksi oleh aparat penegak petaturan perundang-undangan.
Pemilu 17 April 2019 boleh jadi merupakan pemilu paling rumit dalam sejarah pemilu di Indonesia. Betapa tidak, pada pemilu yang segera akan dilaksanakan itu tidak saja dilaksanakan pemilu presiden, tetapi juga pemilu legislatif, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota secara serentak.
Saya tidak ingin membahas di sini kontestasi pemilu presiden karena meskipun gaungnya lebih membahana tetapi kompetisinya lebih sederhana hanya antara dua pasangan calon. Masyarakat pemilih sudah mengenal keduanya terutama calon presidennya. Sehingga tinggal menentukan siapa calon yang paling mampu memenuhi kepentingan pemilih menurut persepsi pemilih.
Berbeda halnya dengan persaingan pada pemilu legislatif, kendati kurang semarak di permukaan ketimbang pemilu presiden, tetapi rivalitasnya lebih rumit dan karakteristik calon lebih kompleks.
Rivalitas pada pemilu legislatif (DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota) tidak hanya terjadi antar caleg dari satu partai dengan caleg partai lainnya pada suatu daerah pemilihan, tetapi juga terjadi antar caleg yang berasal dari satu partai.
Dipandang dari sisi karakteristik caleg juga beragam yang membuat sulit bagi pemilih untuk menentukan pilihan. Kesulitan pemilih menentukan pilihan justru membuat kontestasi lebih seru yang menuntut kreativitas caleg untuk menarik minat pemilik suara untuk memilih.
Karakteristik caleg, ada petahana, yang petahana juga dapat dibedakan antara yang kinerjanya baik dan kinerjanya kurang baik selama berkiprah di legislatif.
Ada juga caleg pendatang baru, yang ini dapat dibedakan antara yang sudah melakukan investasi politik bertahun-tahun dan yang baru muncul di masyarakat menjelang pemilu.
Semua caleg dengan beragam karakteristik itu tentu memiliki peluang untuk terpilih menjadi legislatif.
Bagi mereka para caleg tentu masing-masing merasa optimis bisa memenangkan kontestasi. Karena itu mereka mencalonkan diri sebagai kontestan.
Perhitungan rasional, caleg petahana sudah melakukan investasi politik selama menjadi legislatif. Dengan melaksanakan tugas sebagai legislatif secara normatif saja seorang caleg petahana sudah dikenal oleh konstituennya dan karena itu sangat mungkin akan dipilih kembali.
Caleg petahana yang kinerjanya kurang selama menjadi legislatif tentu membutuhkan upaya keras berupa investasi politik tambahan menjelang pemilu untuk menarik minat pemilih.
Caleg pendatang baru yang sudah melakukan investasi politik bertahun-tahun seharusnya bisa lebih mudah memeroleh suara pemilih ketimbang caleg pendatang baru yang baru datang menjelang pemilu. [T]