Sebuah teks (puisi) adalah sebuah piknik seperti apa yang dikatakan Zvetan Todorov. Saya setuju. Demikian pula sebaliknya sebuah piknik, bisa jadi sebuah teks. Sebuah teks, memang kerap adalah hasil sebuah perjalanan. Kita pergi ke suatu tempat, lalu menulisnya.
Inilah yang kemudian saya katakan bahwa pekerjaan menulis puisi adalah pekerjaan yang mengharuskan penulisnya untuk mengalami paling tidak secara visual. Menyerap apa yang kita lihat. Mengunjungi atau melihat tempat yang memang benar ingin ditulis. Tempat, barangkali saja bukan tempat yang senyatanya adalah realita. Tempat hemat saya, juga bisa berupa peristiwa yang mana kita bisa menemempatkan tubuh di sana. Kenangan, misalnya adalah sebuah tempat dimana kita bisa hadir di dalamnya.
Kenangan memang masih saja kerap menjadi sebuah elemen puisi paling laris. Berangkat dari hal itu. Jika setuju, Puisi adalah sebuah hasil tangkapan yang mengungkapkan sebuah ketakjuban. Puisi adalah proses simbolik dan mimetik dalam tubuh kita. Segala sesuatu mungkin kita tiru dari apa yang kita rasakan dan kita akhirnya membiarkan naluriah dalam tubuh kita menyimbolkannya dalam sebuah bahasa.
Puisi-puisi Maya Kurnia bagia saya hampir semuanya adalah sebuah ketakjuban pada sebuah kenangan. Kata-kata yang kerap menjadi simbol sebuah kenangan amat berserakan dan saya merasa yakin untuk tak perlu menghitungnya demi sebuah pembelaan bahwa kata-kata menjadi simbol itu memang benar banyak adanya. Bagaimana Maya takjub kepada hujan yang membawakannya suatu ingatan akan kerinduan dapat kita lihat dari kutipan puisi yang berjudul
Menunggu Hujan Membawakan Lagu Rindu.
……………….
……………..
Menunggu Hujan di depan gedung kejaksaan,
seperti menunggumu beratus ratus hari lalu.
Kalimat beratus hari lalu sangat mencolok bahwa peristiwa yang muncul amatlah jauh di belakang. Sesuatu yang jauh di belakan itulah simbol bahasa dari sebuah kenangan. Ternyata medan kenangan yang dibawa hujan sanggup membawa Maya Kurnia pada sebuah tingkat estetika puisi yang menyentuhnya sangat dalam.
Demikian juga dalam puisi Biarkan rindu ini
………….
…………………
Aroma getah ranting patah
Mengingatkanku tentang ratusan hari
Maya masih tak melepaskan ingatan dari kepalanya. Ia seperti mengatakan Ingatlah sebuah kenangan, maka kita akan takjub seperti sebuah perasaan ketika jatuh cinta. Sebenarnya, tanpa ditulispun, ingatan akan hal semacam itu adalah elemen puisi. Tapi sebagai puisi yang utuh, tentu saja ia harus ditulis.
Di lain puisi, dalam puisi Memandang hujan
Kamu mengukir diri di dinding jiwa
Menyusun notasi lagu hujan di Juli
Menyetubuhiku pada setiap derasnya
Sekalipun hamil anggur cintaku
Aku tak peduli
Memandangi hujan saat ini
Seperti seranjang denganmu saat itu
Maya Kurnia membuat saya sadar bahwa puisi hemat saya adalah deretan kata-kata yang harus tampil serentak. Mengutip Nirwan Dewanto dalam Gerimis Logam, Mayat Oleander Mungkin kita bisa saja membayangkan setiap bait sebagai sebuah paragraf yang sebagian besar unsurnya hilang.
Dalam puisi di atas muncul pasangan kata Hamil Anggur Cintaku. Kita hanya menebak apakah kata anggur mewakili kemanisan hubungan, atau kemabukan. Juga dalam kalimat Notasi Lagu Bulan Juli. Kita hanya menebak unsur yang hadir sebagai elemen puisi itu. Bagaimanakah notasi lagu hujan bulan juli. Jika dalam prosa mungkin hal itu akan dijelaskan, apakah lagu hujan bulan juli dalam konteks penulis itu adalah hujan yang lebat dan menyebabkan dingin, atau hujan ritmis yang membuat suasana lebih sendu.
Nah unsur semacam itu amat sulit kita tebak dan hadirkan secara pemaknaan yang pasti. Jika pun kita berupaya menghadirkan unsur itu, maka tidak tersedia cukup peluang untuk itu. Puisi itu seperti melompat cepat menuju akhirnya sendiri. Melalui puisi, bahasa meragukan dirinya sebagai alat komunikasi.
Puisi-puisi Maya Kurnia yang lain juga hadir hampir memiliki ciri, jenis, dan struktur yang sama, bangun yang sama. Maya kerap mengulangi komposisi puisi yang satu dengan puisi lainnya.
Saya kira, puisi-puisi Maya Kurnia adalah sebuah momen yang digubahnya menjadi puisi suasana. Ia kadang menyelipkan tempat-tempat —yang hemat saya, ia fungsikan sebagai properti pada tubuh puisi. Apa yang saya tafsir dalam puisi-puisinya barangkali sebuah fokus peristiwa yang menjadikan ruh puisi itu sendiri. Tipografi dalam puisinya juga hampir semuanya standard dan tak neko, dalam artian ada upaya melakukan eksperimen.
Ia juga tak melakukan varian lain seperti memainkan makna, atau usaha untuk membangun filsafat. Ia menjatuhkan gaya penulisan puisinya pada taraf penciptaan makna. Maya kerap pelan-pelan membangun sebuah kenangan seolah-olah surut dan larut pada sebuah keadaan. Ia seakan bicara, ah, sudahlah kenangan, kau mungkin boleh datang bertandang dan diam lebih lama. Dalam puisi berikut ini maya dengan jelas melakukan hal itu.
Cinta rahasia
………………
………….
Peluk aku erat
Di antara ruang waktumu
Kita akan bicara
Dengan bahasa hati
Tentang cinta rahasia
Melewati masa reinkarnasi
Sungguh, aku rindu :
Mengurai peluh denganmu
Maya membiarkan kenangan hidup dalam dirinya bahkan hingga tahap reinkarnasi. Kenapa Maya Kurnia takjub dengan kenangan atau waktu yang telah berlalu? Inilah yang disebut Stephen Hawking sebagai panah waktu yang berarah mundur. Manusia adalah mahluk yang hidup dengan panah waktu psikologi yang berarah mundur, bukan ke depan. Sebab itulah manusia sanggup menapak ke masa lalu, sedang masa depan, adalah objek yang belum terpecahkan.
Menapak hal itu, Maya Kurnia, ingin benar memelihara rasa takjubnya lebih lama. Ia benar-benar menikmati kenangan itu dan membiarkan dirinya surut larut. Munculnya kata reinkarnasi bagi saya adalah sebuah penanda waktu yang lama. Ia sebagai ikon yang mewakili makna waktu yang tak terbatas. Saya sendiri tak sanggup menafsir, apalagi memastikan, kapan kita akan mengalami reinkarnasi, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk reinkarnasi. Tak pernah terkira.
Setelah Menikmati tamasya kenangan yang disuguhkan Maya Kurnia dalam puisi-puisinya, saya kira ia jarang sekali menjatuhkan pilihan pada kata kompleks yang membuat kita mencari dan menafsirkan makna. Ia lebih memilih kata-kata sederhana yang memang familiar ketimbang melakukan upaya adopsi atau melakukan neologisme, penciptaan diksi dan idiom.
Ketika kata tak kita temukan di kamus dan di pasaran, maka kita harus buat sendiri dengan tujuan tertentu. Bisa untuk mewakili apa yang kita ingin sampaikan atau memang sengaja mencari bentuk yang baru. Ole melakukan itu. Belalang Tanah, Tikus bunga, Ulat Beruang. Ini adalah kemampuan menghibrida. Mencangkok sebagian genetika penamaan.
Contoh lain yakni, Umbu juga melakukan neologisme, ia menciptakan kata Deskara, misalnya. Kita menebak nebak arti kata tersebut. yang ternyata adalah singkatan dari desa kala patra. Tapi memang begitulah tugas yang tidak sengaja dibebankan kepada penyair. Meskipun dalam hal ini tak semua yang diciptakan berhasil. Dan sebagai pembaca yang lepas dari penulis, menghadapi hal semacam itu amat sulit dan bisa saja keliru seperti apa yang dilakukan Zen Hae tempo lalu pada diskusi Salihara.
Zen mengira kata akanan dalam bujuk pangkal akanan (Sajak Putih) adalah neologisme yang bisa tafsir artinya sebagai sesuatu yang akan terjadi. Akan-akanan. Tapi dengan segera gunawan muhamad mengoreksi dan mengatakan bahwa kata akanan memang ada dalam kamus lama yang berarti kali langit. Hal seperti itu memang kita sadari kerap terjadi bila kita memang benar melepaskan teks dari penulisnya.
Meksipun Maya Kurnia tak melakukan hal semacam itu, puisi-puisinya memamng masih enak dinikmati sebagai puisi. Barangkali, begitulah tujuan ia menulis puisi. Dan tentu saja ada banyak tujuan dan pertanyaan sebelum menulis puisi. Misalnkan, bagaimana takaran puisi agar pas dan memiliki bentuk utuh dan mendekati sempurna? Bagaimana menulis puisi agar berbeda dengan puisi orang lain? Bagaimana menemukan bentuk baru dalam menulis puisi?
Dan pertanyaan yang paling sederhana dalam menulis puisi adalah bagaimana mengungkapkan perasaan lewat puisi. Dan saya kira puisi puisi Maya Kurnia adalah upaya untuk menjawab pertanyaan terakhir itu. Sebab itulah, mudah-mudahan saya tidak salah untuk mengatakan bahwa Maya Kurnia tidak labil dalam puisi-puisinya. Ia setia memilih bentuk puisi yang sama.
Begitulah kiranya saya mendekati puisi puisi Maya Kurnia dengan tafsir spekulatif. Maya menyerahkan pikirannya dalam kata-kata, sedang saya, sebagai pembaca datang dengan khazanah dalam kepala. Barangkali hanya dengan hal itulah saya bisa mendekatinya. Betapapun, hal yang saya dekati adalah puisi. Sesuatu yang tak serta merta memberikan jawaban atas siapapun yang memberikan pertanyaan setelah membacanya. [T]