dan kita mencitai tanah air ini apa adanya, Ais
….
kita akan menanam sesuatu di sini
entah bunga atau duka
…..
jangan menangis, cintaku padamu akan senantiasa hidup
seperti cinta kita pada tanah air ini
yang sepenuhnya adalah ibadah
seluruhnya adalah karunia
(Surat Kepada Aistyaningnum IV-Nanoq da Kansas)
Siapakah yang menanam duka di tanah air ini? Seberapa besar cinta kita pada nusantara? Mungkinkah sebesar mencintai kekasih hati? Saya rasa tidak banyak orang memiliki rasa cinta tanah air setulus dan sedalam Nanoq da Kansas. Namun, rasa nasionalismenya kini diuji dengan paradoks politik dan isu-isu etnisitas.
Isu-isu yang awalnya dipergunjingkan di Rompyok Kopi, kemudian diunggah di media sosial, nampaknya masih belum tuntas. Siapakah yang menanam duka di tanah air ini sehingga membuat Nanoq da Kansas geram? Saya pikir, semua itu bisa diketahui setelah membaca karya terbarunya yakni Novel Plitik terbitan Bali Katih Publishing, cetakan Maret 2019.
Novel Plitik ini hadir seperti serangan fajar. Di tengah ’didihan’ emosi rakyat terhadap hoax, saling sindir, saling perang status, maka Novel Plitik menjadi ‘pelepas dahaga’. Paradoks-paradoks yang hadir sangat ringan dan jenaka. Siapa pun bisa memahami novel ini. Permasalahan yang disuguhkan dekat dengan masyarakat. Diksi yang digunakan pun mudah dipahami. Jadi, dari dagang es serut, pelajar, wartawan, hingga caleg pun disarankan untuk membaca Plitik.
Kisah Plitik yang berawal dari percakapan Kakek dan cucunya. Tokoh Kakek merupakan tokoh politik yang disegani. Alur pun berjalan dengan pergunjingan yang terjadi dengan Dagang Es Serut. Tokoh itu menjadi pematik berkembangnya cerita yakni pada saat dagang tersebut ketahuan memiliki stiker salah satu capres dan berlanjut sampai insiden penabrakan.
Paradoks Politik
Di dalam Plitik, cara Nanoq da Kansas meluapkan kemarahannya sangat unik. Dia dengan lembut mengkontraskan kebijakan pemerintah dengan kenyataan yang sebenarnya terjadi. Hal itu digambarkan dengan kelatahan pejabat untuk berkunjung ke pengusaha tempe tahu. Alih-alih berjanji memperbaiki nasib pengusaha tempe, pejabat tersebut malah meresmikan toko burger.
Raykat jelata makan tempe tahu, para petinggi mendadak berkunjung ke pasar memborong tempe tahu seraya berjanji memperbaiki nasib pengusaha tempe tahu.
….
“Generasi petinggi sekarang lucu. Beliau ke sini baru sekali. Baru sekali juga disuguhi sepotong ubi rebus, sepincuk nasi jangung dengan lauk tempe sama tahu, histerisnya sudah macam begitu. Padahal tadi sebelum ke sini beliau baru saja meresmikan cabang toko burger di kota kecamatan. Kemarin sudah meresmikan makanan sejenis itu juga di kabupaten. Hahah!” (hal. 72)
Paragraf tersebut mengandung kontradiksi peristiwa sehingga menimbulkan paradoks. Premis yang dipaparkan yakni “memperbaiki nasib pengusaha lokal”. Hal itu tentu bertolak belakang dengan sikap “peresmian toko burger” yang justru memicu lesunya perekonomian usaha kecil.
Permasalahan serupa juga ada pada saat wartawan majalah sekolah mencoba ikut-ikutan meliput. Di tengah perjuangan untuk mendapatkan informasi, wartawan sekolah itu justru tersendat biaya cetak majalah.
“Saya kan Cuma wartawan majalah sekolah, Pak. Lagipula majalah sekolah kita edisi ini belum pasti terbit. Saya diberi tahu Ketua OSIS dana cetaknya belum ada. Mau memungut uang urunan dari siswa, OSIS tidak berani. Tidak ada ijin dari Komite Sekolah, nanti dituduh melakukan pungli.” (Hal. 9)
Kebijakan-kebijakan yang akan melumpuhkan intuisi kritis siswa ini, sungguh disayangkan. Peran dan fungsi kepala sekolah saat ini merupakan jabatan politis yang tidak mementingkan almamater, malahan tunduk pada politik kekuasaan bukan politik pendidikan.
Salah satu tokoh yang mewakili paradoks ini yakni dagang es serut yang dituduh mendukung salah satu partai hingga dia dilaporkan ke Bawaslu.
“Itu stiker salah satu capres!” Seru salah seorang yang meneropong.
“Dagang es itu partisan.”
“Padahal dagang es harusnya netral. Dia milik semua golongan. Dia harus menghindar dari keberpihakan politik.”
“Laporkan saja ke Bawaslu!” (hal. 7)
…
“Ini seru. Gara-gara memasang stiker salah satu capres di gerobaknya, seorang dagang es serut keliling dibunuh di tengah jalan. Mari kita bikin hoax! Tolong viralkan ya….!”
Dagang Es Serut Keliling itu akhirnya ditangkap. Di depan para wartawan dia mengakui kematiannya bukan karena ditabrak, tetapi sepenuhnya adalah karena persoalan asmara.” (hal. 41)
Dagang Es Serut Keliling yang ditabrak itu dijadikan kambing hitam, mencari pembelaan di mana saja tidak membuahkan hasil. Akhirnya mengalah adalah jalan keluarnya. Saat masalah kecil seperti ini mampu ditangani kurang dari 48 jam.
Paradoks lainnya yakni pada diskusi yang dilaksnakan LSM di Kafe, tempat minum kopi. Diskusi yang cukup serius mengenaiSejarah Kelam dan Kekerasan Politik’ 65.
Dalam diskusi yang mirip diskusi itu—karena para peserta undangan sibuk main gawai dan tidak punya ide apapun untuk bertanya-, para narasumber menceritakan tentang dirinya ditangkap.
….
Pertunjukan monolog selesai.
Maksudnya, diskusi ditutup.
Semua orang menarik nafas panjang kaena merasa lega.
Hadirin yang berasal dari kalangan mahasiswa nampaknya tidak benar-benar meresapi diskusi tersebut. Tidak benar-benar ingin memahami situasi politik 1965. Politik yang tidak menarik bagi kaum melenial. Bagi Nanoq da Kansas, mengontraskan dua sisi hal ini benar-benar pilu. Hingga ia menyelipkan puisi dari Wiji Thukul yang berjudul Peringatan.
Etnisitas Jembrana sampai Ras Mongoloid
Keresahan Nanoq da Kansas kemudian berlanjut hingga menyinggung persoalan etnisitas. Sejalan dengan Katrin Bandel, bahwa etnistias yang dimaksud dalam karya sastra yakni adanya pengaruh “warna lokal” yang menjadi persoalan. Bagi mereka pun, persoalan yang mereka hadapi didasari pertentangan antartradisi etnis dengan kepentingan pribadi.
Nanoq da Kansas memaparkan gelisahannya terhadap persoalan di kota kecilnya, Jembrana. Pada catatan lepasnya yang menjadi bagian dari novel ini mengungkapkan bahwa orang-orang lokal Jembrana sebenarnya memiliki ciri khas dan karakter kepemimpinan.
Jadi, Jembrana konon terbentuk dari embrio-embrio buangan!
Maka, Jembrana berkembang dengan masyarakat yang yatim piatu secara kebudayaan!
…
Itulah sebabnya kemudian, di Jembrana lahir sebuah kesenian gambelan bernama Jegog.
Persoalan etnisitas ini seolah-olah ditangkis dengan lahirnya kesenian baru yang mengabaikan “nada-nada feodal”.
Dengan kompleksitas prosesi alamiah, baik dari sisi manusia, lingkungan, sosial, politik hingga spiritualitas yang sedemikian rupa, maka jadilah Jembrana sebagai salah satu pusat kebudayaan dunia.
Tidak saja pada tataran membela etnisitas Jembrana, Nanoq juga menulis tentang berbagai ras yang memenuhi Indonesia. Mulai dari ras Papua Melanezoid, ras Negroid, ras Weddoid, dan ras Mongoloid.
Ya tentu sajalah kami bangsa yang rasis. Karena kami memang sebuah bangsa besar yang terdiri dari berbagai ras. (hal. 108)
Selain empat kelompok ras itu, di antara kami juga terdapat kelompok ras keturunan, antara lain kelompok keturunan Tionghoa, Arab, dan India.
Setelah terdiri dari ras-ras itu, secara biologis alamiah kami juga terbentuk menjadi lebih dari 300 kelompok etnis dan 1340 suku, dengan 652 bahasa daerah. (hal. 109)
Kritik pedas seperti itu nampak tajam diungkapkan Nanoq dalam rangka menentang kebijakan pemerintah bahwa pakaian nasional harus bercorak batik yang sangat Jawa sentris. Yang menarik adalah cara Nanoq da Kansas menilai politik tersebut, cara dia memposisikan diri terhadap situasi politik sehingga menjadi sindiran sekaligus kritikan. Kritikan yang menyengat itu diwakilih oleh dialog-dialog antartokoh.
Penggambaran tokoh dan latar peristiwa nampaknya tidak dideskripsikan lebih detail dan tidak menjadi fokus utama dalam novel ini. Karakter tokoh dan deskripsi suasana justru terlihat pada dialog-dialog antartokoh. Sungguh menarik bila novel ini nantinya dialih wahanakan menjadi naskah drama.
Latar belakang Nanoq yang terjun dalam dunia teater dan puisi nampaknya belum bisa terlepas dalam novel ini. Nanoq lebih banyak menyuguhkan dialog dibandingkan pendeskripsian tokoh. Selain itu, Nanoq juga menyelipkan puisi-puisinya dan puisi W.S Rendra, Wiji Thukul di beberapa bagian cerita.
Novel Plitik hadir untuk siapa saja yang butuh penyegaran menjelang pemilu. Selain itu, Plitik mampu merefleksikan permasalahan sosial, budaya, dan politik dengan ringan dan jenaka. Saya rasa, novel ini juga menggetarkan rasa cinta tanah air. Berbeda ras dan golongan, bukanlah penghalang. Kita bahagia dalam perbedaan. Plitik sangat disarankan bagi siapa saja yang ingin melek politik kemudian bisa dijadikan bahan tertawa bersama.
Bukankah Tuhan akan memberikan kita umur panjang bila kita selalu tertawa? [T]