Semua ini dimulai ketika ibu saya mencoba untuk eksis di dunia maya dengan bergabung di sosial media Facebook. Sesuai permintaan, saya ajari bagaimana menggunakan sosial media untuk menjalin silaturahmi dengan teman sejawat dan seperjuangannya ketika beliau muda dulu.
Saya tambahkan ibu saya sebagai teman di sosial media dan beliau memantau kicauan saya mengenai problematika remaja yang lumrah ditemui di dunia maya, yakni kicauan mengenai asmara para remaja. Hingga suatu hari di ruang makan percakapan ini dimulai:
“Adik kok galau-galau aja statusnya?” celetuk ibu saya
“Hehe, iya, Ma!” balas saya seadanya.
“Jangan mikirin pacar dulu, nanti udah kerja dan sudah banyak uang banyak dah cewek-cewek yang deketin kamu,” timpal bapak saya.
“Contohnya seperti si A teman bapak, dia cantik, pacarnya bodo tapi mapan,” lanjut bapak saya.
Dalam hati saya merasa bapak saya mengata-ngatai saya jelek secara implisit, hahaha.
“Iya, Pa,” balas saya seadanya pula.
Nasihat itu terus terngiang di kepala saya, walau nasihat itu bukan nasihat pertama yang saya dapatkan mengenai problematika ini. Beberapa guru saya terdahulu sudah memberi saya nasihat yang serupa hanya saja diucapkan dengan cara dan gaya bahasa yang berbeda-beda.
Baru kali ini saya terngiang dan merasa tergelitik seolah saya seharusnya menyampaikan pandangan yang berbeda mengenai nasihat tersebut.
Berdasarkan pengalaman, memang benar faktor finansial semakin bersaing dengan faktor perasaan dalam urusan asmara, dan juga kenyataan yang tidak seperti kisah seorang putri dari kasta ksatria yang jatuh cinta pada seorang pria dari kasta sudra.
Kenyataannya kisah asmara di jaman milenial ini lebih seperti kisah Siti Nurbaya, hanya saja menghapus unsur perjodohan dan diganti dengan unsur independen dari dalam diri sendiri.
Lalu apakah harus bekerja dan mapan dulu untuk mencari pacar?
Tidak sepenuhnya benar karena jika seandainya kemapanan itu baru menghampiri di usia senja apakah kita harus terseok-seok mencari tambatan hati, ketika teman seangkatan sudah merengek minta cucu yang lucu kepada anak-anaknya?
Walau hal seperti itu belum tentu terjadi di diri kita, tapi saya rasa sebaiknya cari pacarlah sesegera mungkin.
Cinta monyet kaum remaja benar-benar lugu dan masih banyak yang mempertimbangkan perasaan dibandingkan pemikiran ke depan (walau beberapa remaja kini memilih membuka pintu Honda Brio daripada duduk di jok Vario).
Cinta monyet remaja adalah media perantara kaum remaja untuk mencari pengalaman dan mengenal sejak dini seperti apa dan bagaimana menghadapi lawan jenis, kapan harus mendengarkan hati, berkata dan kapan harus mengutamakan logika.
Cinta monyet remaja membawa dua insan untuk saling mengenal dan saling menemani dari hal terkecil di sekolah hingga nanti (jika langgeng) ketika berjuang bersama dalam hal kemapanan, baik sebelum ataupun ketika berumah tangga tanpa terganggu pemikiran mengenai latar belakang,finansial, warisan dan lain-lain.
Jika dibandingkan ketika kita sudah “punya” lalu dikerubungi oleh lawan jenis, tentunya kemungkinan besar ketulusan sebuah cinta hanya terlihat dari isi dompetnya saja. Tanpa mau tau apakah ia sanggup menemani ataupun berjuang bersama kelak.
Tak ada salahnya mencari pacar ketika remaja, bahkan teman saya pernah berguyon seperti ini “Banyakin punya mantan, nanti ada pamerin ke anak kita kelak, hahahaha”. Atau, “Banyak mantan, banyak pengalaman, Bro. Hidup itu cari pengalaman.”
Saya sependapat selagi pacar (jika punya) dan mantan tersebut tidak menghalangi saya meraih cita-cita, walau terkadang mengendap dan menjadi beban pikiran. Yeah, namanya juga cari pengalaman.
Saya sendiri sih punya rencana lain. Saya memutuskan untuk mencari pendamping saat saya wisuda, sebelum menjadi pendamping hidup sesungguhnya. Jika ikut kata bapak untuk cari pacar setelah kerja, siapa yang akan mendampingi saya saat wisuda? Setidaknya siapa yang akan saya ajak foto nanti? Masa sih cuma sama bapak dan ibu. He he he.. [T]