“Sama-sama salah kok saling menyalahkan?!”
Begitu komentar salah seorang mahasiswa yang melihat beberapa teman mahasiswanya sedang beradu argumen, beradu pendapat, tak ada yang mau mengalah, semua merasa paling benar, baik, dan paling intelektual, dalam sebuah sidang laporan pertanggung jawaban sebuah organisasi kemahasiswaan, tanpa mematuhi aturan-aturan yang telah ditentukan dan disepakati bersama sebelumnya.
Kita sama-sama menyadari, bahwa orang selalu punya pembenaran untuk setiap tindakan yang dilakukannya guna melanggar sebuah aturan. Terbiasa melanggar aturan-aturan yang “ringan”, dengan pikiran, “Ah, tidak apa-apa”.
Mendengar komentar seorang mahasiswa tadi, membuat saya berpikir, bahwa benar, rasanya kita memang dalam posisi yang “sama-sama salah”. Lantas, bagaimana seseorang bisa saling menyalahkan, jika sebenarnya dalam posisi yang sama-sama salah?
Setiap orang menganggap mempunyai kebenaran masing-masing. Walaupun, yang dianggap kebenaran itu, sebenarnya tak lain hanya sekadar “wacana”. Sedangkan membenarkan sebuah wacana atau bahkan sampai memberhalakannya merupakan cara terbaik untuk bunuh diri.
Silakan Anda bertanya pada Thomas Kuhn—seorang filsuf, fisikawan, dan sejarawan Amerika Serikat—yang meluncurkan karya fenomenalnya di tahun 1962, The Structure of Scientific Revolution. Melalui buku ini, Kuhn menghajar kaum Positivisme yang sangat memberhalakan “kebenaran tunggal” (single truth), karena menurutnya semua manusia hanya sanggup menciptakan “paradigma” kebenaran, bukan Wajah Kebenaran itu sendiri; hanya bisa meraih fakta, bukan Realitas.
Sedangkan sebuah wacana tak lebih dari sebuah kesepakatan paham dalam sebuah komunitas masyarakat.
***
Tak sulit bagi banyak orang untuk melihat realita, betapa masyarakat di negeri ini sekarang dipenuhi dengan ketegangan antarkelompok yang luar biasa. Antarkelompok politik, kelompok etnik, kelompok keagamaan—antar dan intraagama—dan sebagainya.
Ambil satu sempel saja, ketegangan antarkelompok politik, misalnya. Tak pernah kecenderungan konflik di tengah masyarakat terasa sekuat ini, hanya gara-gara berbeda pilihan capres-cawapres. Terasa luar biasa besar semangat bermusuhan satu kelompok dengan kelompok lain. Persoalan kecil pun dengan sangat mudah dibesar-besarkan, bahkan tak jarang persoalan dibuat-buat tanpa dasar sama sekali sekadar sebagai bahan penyulut konflik.
Keadaan ini diperparah dengan adanya misinformasi dan disinformasi, serta peluberan informasi (information spill over). Masyarakat yang menjadi sasaran empuk sangat mudah sekali disulut emosinya dengan wacana-wacana kebenaran.
Masyarakat kita, yang sejak dulu sangat terkenal dengan tata kramanya, berubah menjadi sangat brutal, menjelma menjadi bar-bar. Yang dulu saling peduli, saling merangkul, sekarang saling bermusuhan dan saling memukul satu dengan lainnya. Semua itu didasari oleh sikap merasa paling benar sendiri.
Padahal, membenarkan diri sendiri itu adalah sebuah kesalahan. Lho, bukannya setiap orang itu merdeka? Sah dong, mengganggap diri sendiri yang paling benar? Iya, tapi juga harus diingat, kemerdekaan individu itu, dibatasi oleh kemerdekan orang lain. Menurut situ benar, belum tentu menurut yang lain benar. Begitu pun sebaliknya.
Tapi ini memang sudah menjadi sebuah keniscayaan, di zaman yang berkelimpahan ini. Masyarakat menjadi semakin jauh dari spiritualitas-kemanusiaannya, integritasnya tergerus, semakin terbenam dalam banalitas—suatu situasi, di mana kejahatan tidak lagi dirasa sebagai kejahatan, tetapi sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja, sesuatu yang wajar.
Pertanyaannya sekarang ialah: bukankah masyarakat kita ini masyarakat yang bermoral dan beragama? Beragama artinya menghadirkan Tuhan dalam setiap tindak-tanduk kehidupan.
Atau jangan-jangan, kita sedang beragama tapi tidak mampu untuk menghadirkan Tuhan dalam prilaku kehidupan? Lantas, siapa yang selama ini kita hadirkan? Iblis kah? Setan yang menggejala dalam berbagai rupa ego dan kepentingan?
Jika benar demikian, sungguh, saya tidak mampu mencerna. Cuma, melihat semakin dominannya caci maki dan pertengkaran, tuding menuding, merasa paling benar sendiri padahal dalam posisi yang sama-sama salah, rasanya kok… ah, saya tidak berani melanjutkan. [T]