“Puisi adalah rumah tempat saya menemui ibu. Karena di dalam rumah itu saya bangun segenap rasa, maka bergetarlah saya menuliskannya. Setelah ibu saya pergi, Tuhan telah menitipkan kesedihan, dan saat itulah saya membangun kesedihan di dalam puisi,”
.
Itulah jawaban dari Taufikur Rahman Al-Habsyi ketika ada seorang sahabat bertanya apa itu puisi dan kenapa dia menulis puisi. Entah itu jawabannya adalah puisi lisan tersendiri atau hanya sekadar rancauan belaka saja, saya tidak berani untuk menundukkan perkara itu secara pasti. Namun, secara subjektif, saya dapat mengatakan kalau perkataan dia itu adalah puisi.
***
Sebelumnya, izinkanlah saya terlebih dahulu untuk mengatakan kepada saudara-saudara sekalian bahwa tulisan ini saya tulis karena adanya kegiatan diskusi dari sebuah perkumpulan kecil bernama Compok Basi sebuah perkumpulan kecil-kecilan yang dirancang oleh seorang mahasiswa aktivis dari Probolinggo bernama Ahmad Nur Amin.
Pada 15 Maret 2019, Jumaat malam kemarin, Compok Basi melakukan kegiatan diskusi dengan tema Bincang Puisi di sebuah kafe di Singaraja. Kegiatan tersebut dimoderatori langsung oleh Ahmad Fanani alias Karni Ilyas muda alias moderator tetap di Compok Basi, dan diisi oleh dua orang pemantik keren.
Pemantik pertama adalah B.B. Soegiono, penulis buku kumpulan puisi Saga Mentari, dan pemantik kedua adalah Taufikur Rahman Al-Habsyi, seorang penyair muda yang sudah menebar puisinya ke beberapa media, serta penulis puisi Irlya dalam ontologi puisi Sabda Palon, sebuah buku yang mana banyak tercatat nama-nama penyair besar Indonesia di dalamnya.
Kegiatan Bincang Puisi itu, pertama-tama dibuka oleh pemoderator dengan membacakan puisi Aku Berlindung Kepada Rindu karya Taufikur Rahman Al-Habsyi, dengan suara yang sedikit gagap tapi menarik sekali bagi kami ketika mendengarkan. Pembacaan puisi tersebut dilakukan oleh Ahmad Fanani dengan sangat serius. Setelah itu, tepuk tangan kami, sahabat-sahabat Compok Basi, serentak heboh sebagai tanda telah berakhirnya pemoderator membacakan puisi.
Setelah usai membacakan puisi, kemudian pemoderator mengemukakan beberapa kata pengantar, seperti pengenalan pemantik walaupun sebenarnya kami di sana sudah pada kenal, pengenalan karya-karya pemantik, serta pengenalan karya-karya pemantik yang ada di media sosial. Ini tidak berlangsung dengan lama, karena waktu dan kesempatan menyampaikan materi pun kemudian diserahkannya kepada pemantik sebelum dilakukan sesi diskusi bersama.
Pemantik pertama, B.B. Soegiono, dia menyampaikan tentang konsep puisi berdasarkan ajaran-ajaran di dalam pendidikan tidak sepenuhnya dapat menyimpulkan hakikat puisi itu sendiri,
“Hakikat dan arti puisi itu sendiri tidak dapat saya paripurnakan di dalam pendidikan. Puisi itu bukan sekadar bahasa yang indah-indah, meskipun bahasa puisi itu indah. Puisi tidak sekadar bahasa, tapi dia adalah kemisteriusan,”
B.B. Soegiono tidak setuju kalau arti puisi itu hanya dipandang sebagai bahasa yang indah saja, karena menurut dia sendiri arti dari puisi itu adalah kemisteriusan. Arti puisi itu lebih bisa dimengerti dengan rasa karena puisi itu sendiri merupakan persoalan rasa.
Sedangkan pemantik kedua, Taufikur Rahman Al-Habsyi, dia lebih kepada pengalaman apa yang sudah dia alami. Berkenaan dengan itu, Taufikur Rahman Al-Habsyi mengartikan puisi seperti ini,
“Puisi adalah rumah tempat saya menemui ibu. Karena di dalam rumah itu saya bangun segenap rasa, maka bergetarlah saya menuliskannya. Setelah ibu saya pergi, Tuhan telah menitipkan kesedihan, dan saat itulah saya membangun kesedihan di dalam puisi,”
—–
Tulisan Taufik tentang Ibu:
—–
Ini adalah jawaban Taufikur Rahman Al-Habsyi atas pertanyaan seorang sahabat Compok Basi tentang bagaimana pendapat dia mengenai arti puisi dan kenapa dia menulis puisi.
Jawaban tersebut kemudian disambut dengan tepuk tangan yang meriah. Entah kenapa, saya sendiri terpaku dengan jawaban ini, saya pun mencatatnya di dalam buku catatan, dan sekarang ini saya tulis ucapan itu di dalam tulisan saya yang tidak apik ini.
Taufikur Rahman Al-Habsyi juga menceritakan kalau puisinya terlahir karena seorang ibu. Kekuatan puisinya itu bukanlah karena dia yang menuliskan, tapi karena ada seorang ibu di balik puisi-puisi itu, ialah ibu yang sudah pergi. Ia merasa Tuhan menitipkan kesedihan sehingga sampai pada akhirnya dia mampu membangun kesedihan itu menjadi puisi-puisi.
Kegiatan yang diselenggarakan oleh Compok Basi bisa berjalan dengan baik. Banyak sahabat-sahabat Compok Basi yang membacakan puisi-puisi di kafe tempat kegiatan diskusi itu dilakukan. Bahkan ada juga yang membacakan statusnya sendiri yang dia anggap sebagai puisi untuk sementara saja.
Akhirnya kegiatan diskusi usai. Pembicaraan itu ditutup oleh masing-masing pemantik. B.B. Soegiono menutup dengan cara membacakan satu puisinya. Sedangkan Taufikur Rahman Al-Habsyi menutup dengan membagikan pengalamannya ketika menulis puisi. [T]