.
ELEGI KOPER TUA
Mungkin inilah saat mengemasi hati masing-masing.
Memasukkannya dalam koper lusuh yang lapar.
Hanya bisa mengunyah sepi sendiri. Sementara
sudah terlalu sesak kamar yang kita tinggali.
Kamar sempit di antara kesal terjepit. Pikiran
melompat ke luar jendela. Percakapan tersesat.
Ditambah para Tuhan yang keramat. Tengah sengit
berdebat. Menjadikan cinta kita kian berjarak.
Semua telah terlipat rapi dalam kotak persegi.
Laba-laba tua kehilangan sarang. Tak mampu lagi
buat menyulam benang sendiri. Hanya bisa pasrah.
Larut perlahan bersama apak koper. Memudarkan
diri. Mengekalkan perpisahan hati.
.
EPILOG
Inikah rasanya, berada di rahim bumi
Kembali menjadi benih yang tak pasti
Lahir disambut cium bibir matahari
Atau membiarkan diri gugur
terkikis bisu tanah
Jika sekarang waktunya memilih,
Akan kupilih hidup bagi anakku
Sebab telah kesekian kali
diri lahir kembali
Namun tak pernah sanggup
menanggalkan cemberut
pada bibir anak sendiri
Apalah yang beda dari kematian saat ini
Sedang rumah tinggal berada
di antara palung dan tebing gunung
Hari-hari adalah menanggalkan ketakutan
Buat hidup sampai esok pagi
Nak,
Jika nanti, namaku ada dalam pencarian
Jangan biarkan orang-orang itu
Menggali tanah kita.
Relakan saja tubuh ini terkubur
Menjadi pupuk buat bekal hidupmu kelak
Lupakan saja aku,
Seperti kau melupakan tangis kemarin
Saat menginginkan mainan baru
.
ASAL WAKTU
Seperti mekar bunga
yang berserah pada cuaca entah
Ia pun tetap menghitung
angka-angka mati ditiap detiknya
Namun selalu saja, ada yang terlupa
Saat matahari melangkah igau
Membentur ubun pohonan
Seketika segala terkesiap
Mengejar pepat kereta waktu
Begitu cepatnya! Jam-jam berdetak gagu
Angka-angka yang bisu mulai terbata
Dan perhitungan pun kembali pada detik pertama
.
SATIRE III : MELANKOLIA
Belum genap sehari kita berpisah
Waktu sudah terasa begitu purba
Kenangan kita adalah karat-karat besi
yang meredam panas matahari
–hingga jadi tua dan linglung-
membuat macet jalanan kota.
Masihkah ada cinta di antaranya?
Ah, mengapa hati mesti bertanya
Sedang pikiran terus melaju
menjelma roda yang selip
menggiring mobil ringsek ke taman
membentur tembok-tembok kusam.
Larilah denting jam yang pincang!
Bawa renta matahari menuju kubur laut
tempat meniriskan duka-duka ombak
Sambutlah tawa nelayan
Memanggul ikan-ikan yang kelak
lahir dari rahim tempayan
.
*Pernah tersiar di surat kabar “Media Indonesia” pada 1 Maret 2015