Cerpen: Arya Lawa Manuaba
Dukun itu berkata, hanya buah lango yang bisa mengobati sakitku yang sudah kronis. Sakitnya bukan kepalang. Persis sengatan kalajengking atau lipan bertubi-tubi di bagian dada. Sialnya, mencari buah itu sulitnya minta ampun. Sepanjang ingatan yang masih bisa kujangkau, buah itu hanya tumbuh di jalan setapak di lereng bukit.
Aku ingat betul. Sewaktu masih bocah, aku dan kawan-kawan memakannya setiap hari sampai kekenyangan. Manis betul buah itu. Tak ada tandingannya. Kami bisa tak makan seharian, puas hanya makan buah lango yang bergelantungan di dahan-dahan sepanjang jalan ke air terjun.
Kali terakhir aku melihat dan mencicipinya adalah saat aku kelas empat SD lima puluhan tahun silam. Setelah itu, tak pernah sekali pun aku melihat rupanya lagi. Barangkali ditebang atau benar-benar punah karena pestisida. Entahlah.
Siang kemarin istriku Ratih dan anak pertamaku, Wayan Nuja, pergi ke jalan setapak lereng bukit untuk menemukan buah itu. Hasilnya nihil. Seharian mereka mondar-mandir, bertanya pada belasan petani jagung dan pemanen madu, lalu putus asa.
“Kalau buah itu tidak ketemu, Bapak bisa segera mati,” pasrahku sambil menahan nyeri dada yang kian hari kian ganas.
“Kita ke rumah sakit di Jakarta saja, Pak,” cetus Wayan Nuja. “Obat di sana lebih manjur.”
Tetap aku bersikeras tidak mau. Ke Jakarta? Memang apa bagusnya di Jakarta ketimbang di Singapura? Aku sudah bolak-balik dua kali ke negeri itu, dan hasilnya masih sama. Sakit di dadaku ini tak kunjung sembuh. Semua alternatif jawaban sudah membuatku muak. Tinggal rumah sakit Antartika barangkali.
“Pokoknya Bapak mau buah lango!” tuntutku.
“Di mana saya harus cari lagi?” Wayan Nuja bosan.
“Di sepanjang jalan ke air terjun.”
“Sudah tidak ada, Pak!”
“Kamu sudah cari betul-betul?”
“Sudah.”
Gawat. Jika sampai seminggu lagi aku tidak mendapatkan buah itu, matilah aku. Umurku belum genap enam puluh, tetapi penyakit ini semakin membuatku lemah saja. Aku tak ingat kapan persisnya aku mulai mengidapnya. Yang jelas sudah tahunan.
Berbagai obat sudah masuk ke dalam mulutku, disuntik ke lenganku, tapi masih saja sakit itu tak sirna. Sakitnya sulit dijelaskan dengan kata-kata. Perih laksana disengat kalajengking di bagian dada. Kadang-kadang aku sampai berteriak seperti orang gila, meminta agar nyawaku dicabut saja.
Mendengar kondisiku yang makin parah, sore itu Sutarji, kawan lamaku, menyambangiku di sisi ranjang. Jika aku harus segera mati, paling tidak aku bisa nostalgia untuk kali terakhir. Aku bisa tertawa untuk kali penghabisan bersamanya, mengenang saat kami masih bocah perjaka yang tak kenal waktu.
“Kamu ini,” Sutarji melenguh kelam setelah menatap sekujur tubuhku yang kurus kering dilahap penyakit. “Kata-kata dukun kamu percayai. Percuma kamu tamat sarjana, Darpa!”
“Aku sudah coba semua obat. Hasilnya nol.”
Sutarji tampak berpikir keras. Cukup lama dia terdiam.
“Kamu ingat dulu kita makan buah itu setiap hari?”
Dia manggut-manggut, setengah yakin.
“Bersama Komar, Gilang, Agus dan Wahyu,” beberku.
“Ya, ya, aku ingat.”
“Kamu bisa bantu aku mencari buah itu?”
Terdiam Sutarji. Raut wajahnya menggenang tak pasti.
Aku menunggu. Berharap dia akan mengatakan sesuatu yang bisa membantu nyawaku tetap bertahan di dalam bilik jantung.
“Aku ingat, Darpa. Dahulu buah-buah itu banyak bergelantungan di sepanjang jalan setapak menuju air terjun,” Sutarji mengenang. “Ingatkah kamu akan rasanya, Darpa? Pertama-tama dia manis. Tatkala kita tumbuh remaja dan pikiran kita ternoda mimpi-mimpi masa remaja yang aneh itu, rasanya jadi asam. Setelah aku dan kamu beranak-pianak, dia jadi pahit. Kini aku benar-benar lupa bagaimana rasa dan wujudnya.”
Aku membisu. Kehilangan harapan. Bahkan Sutarji kawan karibku pun lupa.
“Waktu kita masih bocah, kamu sering menimpukku dengan buah lango itu, lalu aku balas kamu. Kusasar burungmu. Lalu kamu menangis dan mengadu pada ibumu.”
Perlahan-lahan, ingatanku terbit. Bibirku terasa ringan. Aku tersenyum lebar. Separuh malu.
“Dan esoknya, ibuku memukuli pantatku sampai aku tidak bisa duduk nyaman di bangku.”
Aku pun tertawa menatapnya. Terpantul di mataku wajah miris bocah Sutarji yang menggeser-geser pantatnya yang memar di bangku sekolah yang reyot. Gila. Itu sudah hampir lima puluh tahun lalu.
“Saat itu kita melewati jalan setapak setiap hari. Kamu dan aku selalu di depan. Kalau kita lapar, kita tinggal ambil buah lango sebanyak yang kita mau. Kadang-kadang aku memanjat sampai tinggi sekali, lalu melompat ke semak-semak saat kantongku penuh. Kamu ingat kita pernah ketiduran sampai larut malam gara-gara kekenyangan makan buah itu? Sinting! Orang tua kita sampai panggil satu dusun buat cari kita!”
“Ah, waktu itu! Waktu kelas empat!” cetusku semringah. “Kamu tahu? Malam itu bapak marah besar lalu menyeretku ke belakang rumah. Bapak mengguyurku dengan air dingin sampai aku teriak-teriak.”
Sutarji terkekeh-kekeh. Aku pun demikian. Rasanya kami sanggup kembali bermain-main di jalan setapak itu dan mengalami semua kejadiannya sekali lagi. Sungguh. Andai saja kami bisa jadi bocah lagi. Tak ada rasa takut. Tak terpikir masalah makan untuk hari esok. Tak ada istri yang komplin dan tagihan sana sini.
“Dan ingatkah kamu saat kita main perang-perangan?”
Aku memicingkan wajah. Berusaha mengingat serpihan kenangan lucu yang nyaris tenggelam dalam batang otak.
“Itu, saat sepeda jengki kakekmu yang kebesaran itu terperosok ke sawah dan bannya lepas.”
Aku meledak. Mataku terpejam kuat. Bibirku merekah. Ingatan itu terbit lagi layaknya sebuah film hitam putih lama yang kocak.
“Ingat tidak?”
“Ya, aku ingat!” letupku akhirnya. “Waktu itu kamu keterlaluan, Ji! Kamu dan Wahyu membombardirku dengan buah lango sampai kena mataku.”
“Namanya juga perang-perangan. Siapa cepat dia menang. Siapa tangkas dia juara.”
“Tapi waktu itu kamu curang.”
“Curang apanya?”
Punggungku terasa panas. Aku sedikit menggeser badan. “Kamu pakai buah lango muda, bukan buah lango yang sudah masak. Itu namanya curang.”
“Bukan aku yang petik waktu itu,” langkar Sutarji. “Wahyu yang petik.”
“Apa pun alasannya pokoknya itu curang! Titik!”
“Kamu malah lebih curang lagi!”
Kami berdua jadi sama-sama jengat.
“Curang apanya?” bantahku. “Aku sudah terperosok ke sawah dan ban sepeda jengki itu lepas! Kamu malah tertawa!”
“Kamu putar lenganku sampai patah. Ingat?”
Langsung raut wajahku memucat. Mataku layu, bergerak-gerak resah. Tepat setelah sepeda jengki tua milik mendiang kakekku terbenam di lumpur sawah dan bannya lepas, aku menangis sekencang-kencangnya. Sutarji malah menertawaiku, mencibir dengan lidahnya yang merah. Mungkin air bercampur lumpur telah membuat mataku perih dan kabur, atau bekas tembakan buah lango muda membuat fokus mataku hilang.
Pokoknya, saat itu wajah Sutarji menjadi sangat menyebalkan. Langsung aku menerjangnya, menjambak kepalanya, menyeretnya dan membenamkan wajahnya ke dalam lumpur. Bocah itu menggelepar-gelepar kehabisan napas. Tak puas sampai sana, aku memelintir lengan kanannya sampai terasa ada patahan.
Mataku baru jernih ketika kulihat dia meraung-raung sejadi-jadinya sambil memegangi lengannya. Yang bisa kuingat saat itu adalah rasa perih yang begitu ngilu di dada. Dua tahun kami tak bicara sejak kejadian itu.
Gila. Dadaku mendadak tersengat lagi. Aku meringis.
“Waktu itu aku langsung opname, Dar,” Sutarji berkata pelan. Dia mendesau berat. “Sejak saat itu kita tidak pernah main lagi. Kamu tidak pernah jenguk aku.”
Rasa sakit di dadaku semakin memuncak. Rahangku mengatup kuat.
“Tapi aku tidak dendam padamu, Dar,” Sutarji akhirnya menatapku. “Aku malah menunggumu tiap hari di jalan setapak. Kamu tidak muncul-muncul. Aku pikir kamu benar-benar benci padaku. Dua tahun kemudian, kita naik SMP. Aku ke Lombok, kamu ke kota. Sejak saat itu aku tidak pernah lagi ke sana sampai detik ini.”
Aku termangu. Sejak kejadian itu, aku memang tak pernah lagi menginjakkan kaki di jalan setapak menuju air terjun. Tak tahu mengapa. Aku hanya enggan, atau malah takut. Saat itu aku tak paham apa itu dendam, apa itu benci. Semuanya terjadi beitu saja.
“Terima kasih kamu masih mengingatku setelah kejadian itu, Dar,” Sutarji akhirnya melanjutkan. “Kamu memang sahabatku.”
Napasku terembus pelan. Aku tersenyum canggung. Nyeri di dadaku semakin menjadi-jadi. Rasanya aku sudah ada di ambang kematian.
“Maafkan aku karena melemparmu waktu itu dengan buah lango muda, ya,” pintanya.
Aku mengangguk. “Aku juga,” sambungku. “Aku minta maaf karena aku mematahkan lenganmu, Ji.”
Sutarji mengangguk mantap. Kami akhirnya berpelukan. Masing-masing dari kami tertawa lepas, melunasi persahabatan kami yang tertunda puluhan tahun.
Mendadak jantungku tersengat lagi. Kali ini pasti saatku yang terakhir. Tak apalah. Aku bersiap mati. Utangku sudah lunas. Tak ada lagi beban dalam batinku.
Kuraba dadaku, bersiap menghadap Yang Kuasa.
Dan aku pun terkesiap.
Sesuatu menyembul di dalam saku. Kuraba-raba, lalu kurogoh dengan tergesa-gesa. Tanganku langsung menariknya keluar. Ketika kubuka tanganku, aku tak percaya pada apa yang baru saja kuambil dari saku.
Sebutir buah lango matang. [T]
Mangupura, 24 September 2018.