5 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Buah Lango

Arya Lawa ManuababyArya Lawa Manuaba
March 10, 2019
inCerpen
Buah Lango

Lukisan: Ketut Kabul Suasana

46
SHARES

Cerpen: Arya Lawa Manuaba

Dukun itu berkata, hanya buah lango yang bisa mengobati sakitku yang sudah kronis. Sakitnya bukan kepalang. Persis sengatan kalajengking atau lipan bertubi-tubi di bagian dada. Sialnya, mencari buah itu sulitnya minta ampun. Sepanjang ingatan yang masih bisa kujangkau, buah itu hanya tumbuh di jalan setapak di lereng bukit.

Aku ingat betul. Sewaktu masih bocah, aku dan kawan-kawan memakannya setiap hari sampai kekenyangan. Manis betul buah itu. Tak ada tandingannya. Kami bisa tak makan seharian, puas hanya makan buah lango yang bergelantungan di dahan-dahan sepanjang jalan ke air terjun.

Kali terakhir aku melihat dan mencicipinya adalah saat aku kelas empat SD lima puluhan tahun silam. Setelah itu, tak pernah sekali pun aku melihat rupanya lagi. Barangkali ditebang atau benar-benar punah karena pestisida. Entahlah.

Siang kemarin istriku Ratih dan anak pertamaku, Wayan Nuja, pergi ke jalan setapak lereng bukit untuk menemukan buah itu. Hasilnya nihil. Seharian mereka mondar-mandir, bertanya pada belasan petani jagung dan pemanen madu, lalu putus asa.

“Kalau buah itu tidak ketemu, Bapak bisa segera mati,” pasrahku sambil menahan nyeri dada yang kian hari kian ganas.

“Kita ke rumah sakit di Jakarta saja, Pak,” cetus Wayan Nuja. “Obat di sana lebih manjur.”

Tetap aku bersikeras tidak mau. Ke Jakarta? Memang apa bagusnya di Jakarta ketimbang di Singapura? Aku sudah bolak-balik dua kali ke negeri itu, dan hasilnya masih sama. Sakit di dadaku ini tak kunjung sembuh. Semua alternatif jawaban sudah membuatku muak. Tinggal rumah sakit Antartika barangkali.

“Pokoknya Bapak mau buah lango!” tuntutku.

“Di mana saya harus cari lagi?” Wayan Nuja bosan.

“Di sepanjang jalan ke air terjun.”

“Sudah tidak ada, Pak!”

“Kamu sudah cari betul-betul?”

“Sudah.”

Gawat. Jika sampai seminggu lagi aku tidak mendapatkan buah itu, matilah aku. Umurku belum genap enam puluh, tetapi penyakit ini semakin membuatku lemah saja. Aku tak ingat kapan persisnya aku mulai mengidapnya. Yang jelas sudah tahunan.

Berbagai obat sudah masuk ke dalam mulutku, disuntik ke lenganku, tapi masih saja sakit itu tak sirna. Sakitnya sulit dijelaskan dengan kata-kata. Perih laksana disengat kalajengking di bagian dada. Kadang-kadang aku sampai berteriak seperti orang gila, meminta agar nyawaku dicabut saja.

Mendengar kondisiku yang makin parah, sore itu Sutarji, kawan lamaku, menyambangiku di sisi ranjang. Jika aku harus segera mati, paling tidak aku bisa nostalgia untuk kali terakhir. Aku bisa tertawa untuk kali penghabisan bersamanya, mengenang saat kami masih bocah perjaka yang tak kenal waktu.

“Kamu ini,” Sutarji melenguh kelam setelah menatap sekujur tubuhku yang kurus kering dilahap penyakit. “Kata-kata dukun kamu percayai. Percuma kamu tamat sarjana, Darpa!”

“Aku sudah coba semua obat. Hasilnya nol.”

Sutarji tampak berpikir keras. Cukup lama dia terdiam.

“Kamu ingat dulu kita makan buah itu setiap hari?”

Dia manggut-manggut, setengah yakin.

“Bersama Komar, Gilang, Agus dan Wahyu,” beberku.

“Ya, ya, aku ingat.”

“Kamu bisa bantu aku mencari buah itu?”

Terdiam Sutarji. Raut wajahnya menggenang tak pasti.

Aku menunggu. Berharap dia akan mengatakan sesuatu yang bisa membantu nyawaku tetap bertahan di dalam bilik jantung.

“Aku ingat, Darpa. Dahulu buah-buah itu banyak bergelantungan di sepanjang jalan setapak menuju air terjun,” Sutarji mengenang. “Ingatkah kamu akan rasanya, Darpa? Pertama-tama dia manis. Tatkala kita tumbuh remaja dan pikiran kita ternoda mimpi-mimpi masa remaja yang aneh itu, rasanya jadi asam. Setelah aku dan kamu beranak-pianak, dia jadi pahit. Kini aku benar-benar lupa bagaimana rasa dan wujudnya.”

Aku membisu. Kehilangan harapan. Bahkan Sutarji kawan karibku pun lupa.

“Waktu kita masih bocah, kamu sering menimpukku dengan buah lango itu, lalu aku balas kamu. Kusasar burungmu. Lalu kamu menangis dan mengadu pada ibumu.”

Perlahan-lahan, ingatanku terbit. Bibirku terasa ringan. Aku tersenyum lebar. Separuh malu.

“Dan esoknya, ibuku memukuli pantatku sampai aku tidak bisa duduk nyaman di bangku.”

Aku pun tertawa menatapnya. Terpantul di mataku wajah miris bocah Sutarji yang menggeser-geser pantatnya yang memar di bangku sekolah yang reyot. Gila. Itu sudah hampir lima puluh tahun lalu.

“Saat itu kita melewati jalan setapak setiap hari. Kamu dan aku selalu di depan. Kalau kita lapar, kita tinggal ambil buah lango sebanyak yang kita mau. Kadang-kadang aku memanjat sampai tinggi sekali, lalu melompat ke semak-semak saat kantongku penuh. Kamu ingat kita pernah ketiduran sampai larut malam gara-gara kekenyangan makan buah itu? Sinting! Orang tua kita sampai panggil satu dusun buat cari kita!”

“Ah, waktu itu! Waktu kelas empat!” cetusku semringah. “Kamu tahu? Malam itu bapak marah besar lalu menyeretku ke belakang rumah. Bapak mengguyurku dengan air dingin sampai aku teriak-teriak.”

Sutarji terkekeh-kekeh. Aku pun demikian. Rasanya kami sanggup kembali bermain-main di jalan setapak itu dan mengalami semua kejadiannya sekali lagi. Sungguh. Andai saja kami bisa jadi bocah lagi. Tak ada rasa takut. Tak terpikir masalah makan untuk hari esok. Tak ada istri yang komplin dan tagihan sana sini.

“Dan ingatkah kamu saat kita main perang-perangan?”

Aku memicingkan wajah. Berusaha mengingat serpihan kenangan lucu yang nyaris tenggelam dalam batang otak.

“Itu, saat sepeda jengki kakekmu yang kebesaran itu terperosok ke sawah dan bannya lepas.”

Aku meledak. Mataku terpejam kuat. Bibirku merekah. Ingatan itu terbit lagi layaknya sebuah film hitam putih lama yang kocak.

“Ingat tidak?”

“Ya, aku ingat!” letupku akhirnya. “Waktu itu kamu keterlaluan, Ji! Kamu dan Wahyu membombardirku dengan buah lango sampai kena mataku.”

“Namanya juga perang-perangan. Siapa cepat dia menang. Siapa tangkas dia juara.”

“Tapi waktu itu kamu curang.”

“Curang apanya?”

Punggungku terasa panas. Aku sedikit menggeser badan. “Kamu pakai buah lango muda, bukan buah lango yang sudah masak. Itu namanya curang.”

“Bukan aku yang petik waktu itu,” langkar Sutarji. “Wahyu yang petik.”

“Apa pun alasannya pokoknya itu curang! Titik!”

“Kamu malah lebih curang lagi!”

Kami berdua jadi sama-sama jengat.

“Curang apanya?” bantahku. “Aku sudah terperosok ke sawah dan ban sepeda jengki itu lepas! Kamu malah tertawa!”

“Kamu putar lenganku sampai patah. Ingat?”

Langsung raut wajahku memucat. Mataku layu, bergerak-gerak resah. Tepat setelah sepeda jengki tua milik mendiang kakekku terbenam di lumpur sawah dan bannya lepas, aku menangis sekencang-kencangnya. Sutarji malah menertawaiku, mencibir dengan lidahnya yang merah. Mungkin air bercampur lumpur telah membuat mataku perih dan kabur, atau bekas tembakan buah lango muda membuat fokus mataku hilang.

Pokoknya, saat itu wajah Sutarji menjadi sangat menyebalkan. Langsung aku menerjangnya, menjambak kepalanya, menyeretnya dan membenamkan wajahnya ke dalam lumpur. Bocah itu menggelepar-gelepar kehabisan napas. Tak puas sampai sana, aku memelintir lengan kanannya sampai terasa ada patahan.

Mataku baru jernih ketika kulihat dia meraung-raung sejadi-jadinya sambil memegangi lengannya. Yang bisa kuingat saat itu adalah rasa perih yang begitu ngilu di dada. Dua tahun kami tak bicara sejak kejadian itu.

Gila. Dadaku mendadak tersengat lagi. Aku meringis.

“Waktu itu aku langsung opname, Dar,” Sutarji berkata pelan. Dia mendesau berat. “Sejak saat itu kita tidak pernah main lagi. Kamu tidak pernah jenguk aku.”

Rasa sakit di dadaku semakin memuncak. Rahangku mengatup kuat.

“Tapi aku tidak dendam padamu, Dar,” Sutarji akhirnya menatapku. “Aku malah menunggumu tiap hari di jalan setapak. Kamu tidak muncul-muncul. Aku pikir kamu benar-benar benci padaku. Dua tahun kemudian, kita naik SMP. Aku ke Lombok, kamu ke kota. Sejak saat itu aku tidak pernah lagi ke sana sampai detik ini.”

Aku termangu. Sejak kejadian itu, aku memang tak pernah lagi menginjakkan kaki di jalan setapak menuju air terjun. Tak tahu mengapa. Aku hanya enggan, atau malah takut. Saat itu aku tak paham apa itu dendam, apa itu benci. Semuanya terjadi beitu saja.

“Terima kasih kamu masih mengingatku setelah kejadian itu, Dar,” Sutarji akhirnya melanjutkan. “Kamu memang sahabatku.”

Napasku terembus pelan. Aku tersenyum canggung. Nyeri di dadaku semakin menjadi-jadi. Rasanya aku sudah ada di ambang kematian.

“Maafkan aku karena melemparmu waktu itu dengan buah lango muda, ya,” pintanya.

Aku mengangguk. “Aku juga,” sambungku. “Aku minta maaf karena aku mematahkan lenganmu, Ji.”

Sutarji mengangguk mantap. Kami akhirnya berpelukan. Masing-masing dari kami tertawa lepas, melunasi persahabatan kami yang tertunda puluhan tahun.

Mendadak jantungku tersengat lagi. Kali ini pasti saatku yang terakhir. Tak apalah. Aku bersiap mati. Utangku sudah lunas. Tak ada lagi beban dalam batinku.

Kuraba dadaku, bersiap menghadap Yang Kuasa.

Dan aku pun terkesiap.

Sesuatu menyembul di dalam saku. Kuraba-raba, lalu kurogoh dengan tergesa-gesa. Tanganku langsung menariknya keluar. Ketika kubuka tanganku, aku tak percaya pada apa yang baru saja kuambil dari saku.

Sebutir buah lango matang. [T]

Mangupura, 24 September 2018.

Tags: Cerpen
Previous Post

Puisi-puisi Winar Ramelan# Perempuan Peramu Puisi

Next Post

Art[i] Factual, Pameran 6 Perupa Bali di India – Meniti Makna Menuju Fakta

Arya Lawa Manuaba

Arya Lawa Manuaba

Pendidik, penulis dan peneliti bidang etnopedagogi dan etnoliterasi. Dia menyukai hutan, gunung dan langit malam. Ia bisa disapa di akun Facebook (Arya Lawa Manuaba) atau Instagram @arya_lawa_manuaba.

Next Post
Art[i] Factual, Pameran 6 Perupa Bali di India – Meniti Makna Menuju Fakta

Art[i] Factual, Pameran 6 Perupa Bali di India - Meniti Makna Menuju Fakta

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Covid-19 dalam Alam Pikir Religi Nusantara – Catatan Harian Sugi Lanus

    Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ini Sumbangan Ketut Bimbo pada Bahasa Bali | Ada 19 Paribasa Bali dalam Album “Mebalih Wayang”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ritual Sebelum Bercinta | Cerpen Jaswanto

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Tidak Ada Definisi untuk Anak Pertama Saya

by Dewa Rhadea
June 4, 2025
0
Tawuran SD dan Gagalnya Pendidikan Holistik: Cermin Retak Indonesia Emas 2045

KADANG saya mencoba menjelaskan kepada orang-orang seperti apa anak pertama saya. Tapi jujur saja, saya tidak tahu bagaimana harus mendefinisikannya....

Read more

The Voices After Cak!: Keriuhan di Balik-balik Tubuh yang Diguncang

by Wulan Dewi Saraswati
June 4, 2025
0
The Voices After Cak!: Keriuhan di Balik-balik Tubuh yang Diguncang

MALAM di taman kuliner Ubud Food Festival sangat menggiurkan. Beberapa orang sudah siap duduk di deretan kursi depan, dan beberapa...

Read more

Susu dan Tinggi Badan Anak

by Gede Eka Subiarta
June 3, 2025
0
Puasa Sehat Ramadan: Menu Apa yang Sebaiknya Dipilih Saat Sahur dan Berbuka?

KALSIUM merupakan mineral utama yang diperlukan untuk pertumbuhan tulang kita, tepatnya untuk pertumbuhan tinggi badan. Kandungan kalsium tertinggi ada pada...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Kopernik dan Jejak Timor di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Kopernik dan Jejak Timor di Ubud Food Festival 2025

“Hey, do you sell this sauce? How much is it?” tanya seorang turis perempuan, menunjuk botol sambal di meja. “It’s...

by Dede Putra Wiguna
June 5, 2025
Menjaga Rasa, Menjaga Bangsa | Dari Diskusi Buku “Ragam Resep Pangan Lokal” di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Menjaga Rasa, Menjaga Bangsa | Dari Diskusi Buku “Ragam Resep Pangan Lokal” di Ubud Food Festival 2025

MATAHARI menggantung tenang di langit Ubud ketika jarum jam perlahan menyentuh angka 12.30. Hari itu, Minggu, 1 Juni 2025, Rumah...

by Dede Putra Wiguna
June 4, 2025
Lalapooh: Cinta, Crepes, dan Cerita di Tengah Pasar Senggol Pelabuhan Tua Buleleng
Kuliner

Lalapooh: Cinta, Crepes, dan Cerita di Tengah Pasar Senggol Pelabuhan Tua Buleleng

SORE menjelang malam di Pasar Senggol, di Pelabuhan Tua Buleleng, selalu tercium satu aroma khas yang menguar: adonan tipis berbahan...

by Putu Gangga Pradipta
June 4, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [18]: Bau Gosong di “Pantry” Fakultas

June 5, 2025
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co