Kamis (7/3/2019) dini hari. Jam sudah menunjukkan pukul 01.30 dini hari. Beberapa jam lagi, Nyepi sudah dimulai.
Untuk pertama kalinya saya menjelajah jalanan, beberapa jam jelang Nyepi. Saat itu, saya baru saja menjemput ipar di Bandara Ngurah Rai. Saya harus bergegas sampai di Singaraja, bila tak ingin menginap di jalan selama Nyepi.
Tatkala melintas di Jalan Raya Singaraja-Denpasar, tepatnya di wilayah Desa Mengwi, tiba-tiba dua unit sepeda motor melaju kencang menyalip mobil yang saya kemudikan. Saya menduga itu motor Kawasaki Ninja.
Saya hakul yakin pengemudi motor itu berasal dari Buleleng. Maklum, motor itu melaju dari arah Denpasar menuju Singaraja. Selain itu plat sepeda motor menunjukkan huruf akhir “U”. Saya pun makin yakin pengemudi motor itu menuju Singaraja untuk merayakan Nyepi.
Saat itu kedua motor itu melaju kencang. Perkiraan saya mereka melaju setidaknya 100 km/jam. Sebab mereka menyalip mobil saya dengan mudah. Padahal saat itu saya sudah menginjak gas hingga jarum di dashboard mobil menunjukkan angka 80 km/jam.
“Kita santai saja. Mata sudah tidak awas. Apalagi hujan. Mungkin yang bawa sepeda motor masih muda, makanya berani ngebut,” kata saya kepada istri dengan nada sok tua. Padahal saat itu mata saya begitu berat, hingga nyaris terpejam.
Sepanjang jalan saya harus hati-hati bila tak ingin celaka. Beberapa kali saya bersua dengan sekelompok pemuda yang menutup separo badan jalan, berjoget ria usai mengarak ogoh-ogoh. Ada pula sisa ogoh-ogoh yang dibakar begitu saja di tepi jalan.
Saat disalip kedua motor itu pikiran saya langsung menduga-duga. Dini hari itu, hanya mobil saya yang melintas di jalanan. Ditambah dua motor dengan kecepatan tinggi, jangan-jangan tidak ada lagi kendaraan yang melintas.
Tentu butuh nyali ekstra melintas di Jalan Raya Singaraja-Denpasar. Pada hari biasa saja, jalanan ini sudah sepi. Suhunya yang dingin, tentu saja membuat para pengendara menggigil kedinginan. Melintas di jalan tersebut jelang Nyepi, itu sudah pasti kombinasi antara rasa nekat dengan kurang kerjaan. Setidaknya begitu pikiran saya.
Selepas Desa Baturiti, tepatnya di Desa Batunya, Baturiti, saya kembali berpapasan dengan dua motor Kawasaki Ninja itu. Mereka melaju perlahan. Selain Kawasaki Ninja, ada beberapa motor lain. Mulai matic hingga bebek. Kurang lebih jumlahnya 10 unit motor.
Salah satu motor ninja berada di belakang. Satu motor lagi di depan. Di tengah-tengah motor matic dan bebek tadi. Salah satu motor bahkan pengemudinya wanita, yang dibonceng pun wanita.
Saya hakul yakin rombongan pengendara motor itu hendak pulang ke Singaraja. Saya bisa begitu yakin sebab plat motor-motor itu berisi huruf “V” dan “U”, tanda motor berasal dari pemilik yang berdomisili di Buleleng. Pengendaranya barang tentu akan pulang kampung ke Buleleng.
Malam itu akhirnya saya paham dengan rasa solidaritas warga yang tinggal di Buleleng. Meski tidak kenal, mereka akan berjuang bersama agar rekan-rekannya yang berasal dari satu tanah kelahiran bisa selamat di tanah rantau. Setidaknya bisa pulang dengan kondisi baik ke tanah kelahiran.
Sejak lama, saya sudah mendengar betapa hubungan solidaritas nak bleleng di tanah rantau begitu erat. Jangankan di luar negeri, tatkala mereka bermukim di Denpasar dan Badung pun, hubungan kekerabatan bisa terjalin begitu erat.
Malam itu, dua orang pengendara Kawasaki Ninja yang sempat menyalip saya di Desa Mengwi, membuktikan bahwa solidaritasnak blelengitu nyata adanya. Bila mereka mau nge-gas sepeda motor, tentu saja mereka bisa sampai di Singaraja lebih awal. Namun mereka melepas ego.
Seorang pengendara menjadi pembuka jalan, seorang lainnya menjadi penutup jalan. Mereka terus melaju ke Singaraja, setidaknya hingga berpapasan kembali dengan saya di KM 15 Desa Gitgit. Jumlah rombongan tetap sama. Barangkali mereka tetap bersama hingga akhirnya berpisah di Catus Pata Buleleng.
Saya yakin dua orang pengendara motor itu tak kenal dengan seluruh pengendara motor yang mereka “kawal” saat itu. Barangkali mereka hanya saling tegur sapa di jalanan, tanpa menyebut nama. Begitulah rasa solidaritas yang tulus tanpa tendensi apapun. [T]
Singaraja, Maret 2019.