Sebuah perusahaan yang beraktivitas di lingkungan pariwisata di pusat pariwisata di Bali Selatan membuka lowongan kerja. Seperti biasanya iklan lowongan kerja, ada persyaratan kompetensi dan pengalaman kerja yang dituntut dari tenaga kerja yang ingin memeroleh lowongan itu. Namun, kali ini ada persyaratan yang memicu reaksi keras yaitu persyaratan Non Hindu.
Tentu saja orang lokal Bali yang beragama Hindu sebagai tuan rumah di Bali merasa dilecehkan oleh iklan itu dan bereaksi keras. Reaksi keras orang Bali penganut Hindu terhadap iklan itu sampai menarik perhatian seorang Senator dari Bali untuk melakukan mediasi. Fenomena iklan lowongan kerja Non Hindu ini menarik dikaji. Upaya mencari tenaga kerja yang berkualitas, yang memiliki semangat kerja tinggi untuk mendukung produktivitas merupakan hak setiap perusahaan.
Namun, jika upaya itu dilakukan dengan mengeliminasi kelompok masyarakat tertentu atas dasar agama yang dianut dengan dalih kelompok masyarakat penganut agama itu tidak memiliki semangat kerja untuk mendukung produktivitas, maka itu dapat memunculkan kesalahpahaman terhadap ajaran agama dan dapat memicu konflik di masyarakat.
Tulisan ini bertujuan mengkaji local genius Bali yang bersumber pada ajaran Hindu dan mengaitkannya dengan semangat kerja produktif. Hasil kajian diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang local genius Bali yang bersumber pada ajaran Hindu berkaitan dengan semangat kerja produktif, dan mencegah kesalahpahaman tentang masyarakat Bali penganut Hindu.
Semangat Kerja pada Ajaran Agama
Khasanah ilmiah telah mewariskan kajian tentang kaitan antara nilai-nilai yang bersumber pada tradisi agama dengan semangat kerja dan rasionalitas ekonomi. Kajian itu sudah dimulai oleh Weber di akhir abad XIX di Jerman dengan mengkaji nilai-nilai yang bersumber pada agama Protestan. Kajian serupa dengan kajian Weber dilakukan oleh Bellah di Jepang dengan mengajukan pertanyaan apakah ada semacam etika Protestan pada agama di Jepang yang mendorong masyarakat Jepang menjadi masyarakat maju.
Di Indonesia kajian serupa dilakukan oleh Antropolog asal Amerika yang kemudian menjadi ahli tentang Indonesia yang sangat dihormati, Geertz di awal tahun 1950-an dengan mengkaji dua kota di Indonesia yaitu Pare di Jawa dan Tabanan di Bali yang menunjukkan perkembangan ekonomi yang pesat di awal kemerdekaan Indonesia (Weber, 1958; Bellah, 1992; Geertz, 1977).
Semangat Kerja pada Ajaran Protestan
Weber, seorang Sosiolog, penulis buku The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism merupakan ilmuwan pertama yang mengkaji kaitan antara nilai-nilai budaya dan agama dengan semangat kerja dan rasionalitas ekonomi. Ketertarikannya atas topik itu berangkat dari realitas yang disaksikannya di masyarakat Jerman pada akhir abad XIX. Distrik-distrik yang dihuni oleh penganut Protestan di Jerman masyarakatnya pekerja keras dan lebih berkembang secara ekonomi ketimbang Distrik-distrik lainnya. Atas fenomena itu, Weber mempertanyakan adakah sesuatu pada ajaran Protestan yang mendorong penganut Protestan bekerja tekun yang pada akhirnya menghasilkan kemajuan ekonomi.
Kajiannya atas ajaran Protestan, mendapatkan pada aliran Calvin terdapat ajaran yang diyakini oleh penganutnya bahwa manusia sejak sebelum dilahirkan nasibnya sudah ditentukan apakah kelak setelah kematian bisa masuk Surga atau tidak. Atas ajaran yang diyakini itu, penganut aliran Calvin menjadi gelisah dan ingin tahu tentang nasibnya setelah kematian. Petunjuk yang ada untuk mengetahui nasib setelah kematian adalah keberhasilan hidup di dunia.
Atas dasar petunjuk itu, penganut aliran Calvin berusaha dan bekerja keras dan tekun, jujur agar dipercaya orang. Bekerja keras, tekun, jujur itu merupakan rasionalitas untuk mencapai keberhasilan ekonomi. Itulah alasannya Distrik-distrik yang dihuni oleh penganut secara Protestan di Jerman sebagaimana disaksikan oleh Weber lebih berkembang secara ekonomi ketimbang Distrik-distrik lainnya.
Menurut Weber etika Protestan, bekerja keras, tekun, dan jujur tanpa tergantung kepada hasil itulah pada akhirnya menghasilkan perkembangan ekonomi yang menjadi cikal bakal berkembangnya semangat kapitalisme di Eropa yang kemudian berkembang di Amerika Serikat dan akhirnya tersebar ke seluruh dunia. Kajian Weber itu pertama kali diterbitkan dalam bentuk artikel pada tahun 1905. Kemudian diterbitkan dalam bentuk buku The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism tahun 1930. Khasanah akademik selanjutnya menunjukkan etika bekerja keras, tekun dan jujur, tidak hanya terdapat pada ajaran Protestan, tetapi juga ada pada nilai-nilai budaya dan ajaran agama lain selain Protestan.
Semangat Kerja pada Religi Tokugawa di Jepang
Di tahun 1950-an Amerika Serikat merupakan Negara Barat modern yang paling maju di dunia secara ekonomi karena ditopang oleh kapitalisme yang pada awalnya berkembang di Eropa Barat. Negara-negara di dunia yang menginginkan kemajuan ekonomi memakai Amerika Serikat sebagai model masyarakat modern yang patut dicontoh.
Di masa itu Jepang adalah Negara di Asia Timur adalah Negara non-Barat yang paling modern dan paling maju secara ekonomi. Kemajuan Jepang sebagai Negara non-Barat menarik perhatian seorang mahasiswa program Doktor di Universitas Harvard, Robert Bellah. Ia kemudian menulis disertasi tentang Jepang dengan perspektif Weberian. Pertanyaan dasar yang mengarahkan penelitiannya adalah, “Adakah sesuatu yang berfungsi seperti Etika Protestan dalam agama Jepang?” yang memungkinkan masyarakat Jepang muncul sebagai masyarakat modern bahkan setelah hancur pada perang dunia II.
Hasil penelitiannya menunjukkan masyarakat Jepang pada masa Tokugawa memiliki rasionalitas politik dan rasionalitas ekonomi yang merupakan akar budaya Jepang yang memungkinkan Jepang muncul sebagai Negara modern. Dengan Akar budaya itu muncul gerakan religious-etis kelas pedagang pada abad XVIII dan XIX. Rasionalitas politik dan rasionalitas ekonomi masyarakat masa Tokugawa sebagai akar budaya Jepang dan gerakan religious-etis para padagang yang muncul abad XVIII dan XIX berfungsi seperti Etika Protestan yang memungkinkan masyarakat Jepang muncul sebagai Negara kapitalis non-Barat yang modern tetapi tetapi tidak meninggalkan akar-akar budayanya
Karya Bellah yang pada mulanya merupakan disertasi Doktor pada Departemen Bahasa-bahasa Timur Jauh dan Departemen Sosiologi Universitas Harvard tahun 1955, diterbitkan pertamakali dalam bentuk buku tahun 1957 dalam Bahasa Inggris. Terjemahan dalam Bahasa Jepang terbit pertamakali tahun 1962. Terjemahan dalam Bahasa Indonesia pertamakali terbit tahun 1992 berdasarkan Edisi Bahasa Inggris yang terbit tahun 1985 (Belleh, 1992).
Semangat Kerja pada Ajaran Hindu
Pada kurun waktu yang hampir bersamaan dengan waktu penelitian Bellah di Jepang, di Indonesia datang seorang Antropolog muda asal Amerika Serikat, Clifford Geertz. Ia menyaksikan perkembangan ekonomi yang mengesankan di dua kota Indonesia yang baru saja mendapatkan kemerdekaannya. Kota Pare di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah yang disebutnya sebagai “Kota Pasar” yang banyak dihuni oleh para Santri, dan kota Tabanan di Bali yang disebutnya sebagai “Kota Raja”. Perkembangan ekonomi di dua kota Indonesia itu menarik perhatian Geertz untuk menelitinya
Hasil kajiannya menunjukkan perkembangan ekonomi di Pare (di dalam buku disamarkan menjadi “Mojokuto”) didorong oleh nilai-nilai yang dianut oleh para Santri. Sedangkan Perkembangan Ekonomi di Tabanan didorong oleh nilai-nilai yang dianut oleh Bangsawan Tabanan yang kehilangan kekuasaan politik pasca kemerdekaan Indonesia.
Bangsawan Tabanan yang kehilangan kekuasaan politik yang dimiliki pada masa feudal juga kehilangan hak ekonomi memiliki lahan pertanian, hak ekonomi memungut pajak pasca kemerdekaan Indonesia. Namun tetap memiliki kewajiban tradisional yang bersumber pada keyakinan Hindu sebagai Raja yang tidak bisa ditinggalkan. Kewajiban tradisional sebagai “Raja” tetap melekat walaupun tidak lagi memiliki kekuasaan politik. Kewajiban tradisional merawat tempat suci Pura, melakukan ritual secara berkala di Pura, menyantuni kawaula (rakyat) yang mengalami kesulitan ekonomi, merupakan kewajiban seorang Raja yang bersumber pada keyakinan Hindu yang tidak bisa ditinggalkan.
Pada masa sebelum kemerdekaan kewajiban-kewajiban itu bisa dilaksanakan oleh Raja karena memiliki kekuasaan politk yang melekat hak ekonomi memiliki lahan pertanian luas dan hak memungut pajak. Pasca kemerdekaan, para bangsawan Tabanan tidak lagi memiliki sumber daya untuk melaksanakan kewajiban tradisionalnya. Karena itulah para bangsawan Tabanan didorong oleh kewajiban tradisional yang bersumber pada keyakinan Hindu, masuk ke bidang ekonomi ada yang membangun hotel, ada yang mendirikan perusahaan angkutan, bengkel mobil, vulkanisir ban, pabrik es, penyosohan padi dan lain-lain untuk memeroleh sumber daya ekonomi agar tetap mampu melaksanakan dan membiayai kewajiban tradisional mereka.
Kajian Geertz itu sudah sampai pada simpulan bahwa Bangsawan Tabanan yang kehilangan kekuasaan politik, termotivasi bekerja keras di luar kebiasaan kaum bangsawan memasuki kegiatan ekonomi untuk mendapatkan sumber daya agar mampu melaksanakan dan membiayai kewajiban tradisional sesuai dengan ajaran Hindu. Disini jelas tampak dorongan nilai-nilai yang ada pada ajaran Hindu yang membawa Bangsawan Tabanan memasuki kegiatan ekonomi. Namun, kajian Geertz itu, dilihat dari kepentingan pembelajaran bagi umat Hindu belum tuntas karena belum sampai menunjukkan bagian mana dari ajaran Hindu yang dapat dimaknai mendorong semangat kerja dan kegiatan ekonomi.
Catur Purusa Artha : Empat Dasar dan Tujuan Hidup Manusia Hindu
Tujuan hidup manusia Hindu adalah, “Moksartham Jagadhita ya ca iti dharma”,yang berarti mencapai kesejahteraan jasmani dan kedamaian abadi. Ajaran tersebut selanjutnya dijabarkan dalam konsepsi Catur Purusa Artha atau Catur Warga yang berarti empat dasar dan tujuan hidup manusia Hindu, yaitu Dharma, Artha, Kama, dan Moksha.
Ajaran Catur Purusa Artha tersebut di atas dapat dimaknai bahwa manusia Hindu di dalam kehidupannya diwajibkan mencari artha, terutama bagi yang berada pada Grehasta Ashrama (yang sudah berumahtangga) karena artha merupakan penunjang kehidupan.. Namun, dalam mencari artha harus bekerja didasarkan atas dharma (kebenaran), tidak boleh curang, tidak boleh menipu, tidak boleh korupsi. Berapapun artha yang diperoleh sebagai konsekuensi dari bekerja atas dasar dharmakemudian dimanfaatkan untuk menunjang perbuatan dharma, untuk mengembangkan kembali artha, dan untuk memenuhi kamamemeroleh kenikmatan.
Dalam rangka keseimbangan pemanfaatan artha, maka berapapun artha yang diperoleh agar dibagi tiga. Sepertiga (33,33%) yang pertama dimanfaatkan untuk berbuat dharma agar kehidupan yang ditempuh berjalan di atas jalan dharma.
Sepertiga (33,33%) yang kedua dimanfaatkan untuk mengembangkan arthaitu sendiri. Dalam bahasa ekonomi modern disebut untuk investasi yang dapat menghasilkan artha lagi. Ajaran Hindu mengembangkan artha ini sudah lebih progresif ketimbang teori ekonomi modern yang dikemukakan oleh Rostow, Linear Stage of Growth Theory. Rostow salah satu proponen teori moderenisasi hanya mensyaratkan peningkatan investasi dari semula 5% menjadi 10% pendapatan nasional agar suatu ekonomi mencapai lepas landas (Kuncoro, 2003:54).
Sepertiga (33,33%) yang terakhir, dinikmati untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumahtangga dalam rangka memeroleh kenikmatan. Ini bermakna manusia Hindu dituntut bekerja keras berdasarkan dharma agar hanya dengan sepertiga pendapatan sebagai konsekuensi dari kerja mencukupi untuk memenuhi konsumsi rumahtangga.
Catur Marga Yoga: Empat Jalan Menuju Penyatuan dengan Tuhan
Catur Marga Yogaadalah ajaran Hindu yang diyakini oleh penganut Hindu di Bali yang berarti empat jalan menuju penyatuan dengan Tuhan. Bhakti Marga Yoga, merupakan jalan yang terutama disediakan bagi manusia pengasih.Karma Marga Yoga, merupakan jalan yang disediakan bagi manusia aktif, manusia kerja. Jnana Marga Yoga, merupakan jalan yang disediakan bagi manusia pemikir. Raja Marga Yoga. Merupakan jalan yang disediakan bagi manusia mistis.
Demikianlah cara atau jalan yang dapat dituruti, dilaksanakan oleh manusia Hindu sebagai tuntunan baginya untuk mencapai tujuan hidupnya yakni menikmati kesempurnaan hidup yang disebut Moksa. Keempat jalan dan cara di atas semuanya adalah sama, tiap-tiap jalan meletakkan dasar dan cara-cara tersendiri. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah, semuanya baik dan utama. Manusia Hindu bebas menempuh jalan menuju penyatuan dengan Tuhan tergantung kepada karakter manusia masing-masing.
Semuanya akan mencapai tujuannya asal dilakukan dengan pernuh kepercayaan, ketekunan dengan tulus ikhlas, kesujudan, keteguhan iman dan tanpa pamrih. Mengenai kebebasan memilih jalan ini Bhagawad Gita mengungkapkan, “Dengan jalan bagaimanapun ditempuh oleh manusia ke arahku, semuanya aku terima dan memenuhi keinginan mereka, melalui banyak jalan manusia menuju jalanku, Oh Prtha” (Bhagawad Gita V-2).
Karma Marga Yoga: Sumber Inspirasi Semangat Kerja Keras
Karma MargaYoga menurut ajaran Hindu adalah salah satu jalan menuju Tuhan yang diperuntukkan bagi manusia dengan karakter aktif, manusia kerja.
Catur Marga Yoga memang ajaran Hindu yang universal, artinya apapaun karakter manusia disediakan jalan yang cocok dengan karakternya untuk mencapai penyatuan dengan Tuhan (Vivekananda, 1997). Bagi manusia pencinta yang melankolis disediakan jalan Bhakti. Bagi manusia aktif, manusia kerja, disediakan jalan Karma. Bagi manusia pemikir disediakan jalan Jnana. Dan bagi manusia mistis disediakan jalan Raja Marga Yoga. Jadi umat manusia tidak perlu khawatir menempuh jalan Hindu. Apapun karakter yang dimiliki, Hindu menyediakan jalan yang sesuai yang bisa ditempuh. Meskipun demikian, Catur Marga Yoga tidak hanya dapat ditempuh tersendiri secara terpisah. Tetapi juga akan lebih baik jika keempat jalan itu dijalani secara bersamaan melalui latihan yang tekun.
Karma Marga Yoga, merupakan jalan pilihan sesuai profesi. Ajaran ini menuntun apapun profesi dalam menjalani kehidupan kerjakan dengan baik tanpa terikat kepada imbalannya. Karena imbalannya sudah pasti sebagai konsekuensi kerja yang dilakukan. Karma Marga Yoga, akan meningkat nilainya menjadi lebih baik jika dijalani dengan penuh rasa bhakti kepada Tuhan. Kerja yang dilakukan sebagai persembahan kepada Tuhan. Karma Marga Yoga, akan meningkat menjadi lebih baik lagi jika didasari, didukung oleh penguasaan Jnana, penguasaan ilmu pengetahuan. Terakhir Karma Marga Yoga, semakin lebih baik jika dilakukan dengan tekun penuh konsentrasi.
Ajaran Hindu yang dikemukakan di atas baik Catur Purusa Artha maupun Catur Marga Yoga,sama-sama memotivasi penganut Hindu untuk bekerja keras. Catur Purusa Artha mewajibkan penganut Hindu untuk mencari artha berdasarkan dharma sebagai penunjang kehidupan. Itu artinya penganut Hindu terutama yang sudah berumahtangga supaya bekerja keras agar mampu menghidupi rumah tangga. Catur Marga Yogamangajarkan penganut Hindu supaya bekerja sesuai profesi yang cocok dengan karakternya tanpa terikat kepada imbalan. Karena imbalan sudah pasti sebagai konsekuensi dari kerja yang dilakukan.
Ajaran Hindu dan Praktek Beragama di Bali : Pengamatan Terbatas
Ajaran agama dan praktek beragama adalah dua hal yang tidak selalu sejalan. Kalaupun ajaran Hindu mengajarkan penganutnya untuk bekerja keras, tetapi dalam praktek, perilaku penganut Hindu bisa saja berbeda dari ajaran yang diyakini. Demikian pula ajaran Catur Marga Yoga mengajarkan empat jalan menuju penyatuan dengan Tuhan yang dapat dipilih sesuai karakter manusia atau bisa dijalankan bersama-sama kalau mampu melaksanakannya. Namun, dalam praktkk beragama tidak jarang penganut Hindu meninggalkan kerja (Karma Marga) berhari-hari, bahkan berminggu-minggu dengan alasan melaksanakan bhakti (melaksanakan upacara agama).
Pekerja Hindu di Bali sering merasa gamang dalam menentukan pilihan dan sikap antara memenuhi jadwal kantor atau memenuhi panggilan suara Kulkul (Kentongan) yang merupakan tanda panggilan mengikuti acara agama atau adat di desa di Bali. Kalau mengikuti jadwal kantor sesuai kalender yang berlaku, maka akan sering absen dari acara agaman di desa. Kalau mengikuti suara Kulkul maka akan sering minta ijin di kantor. Pak Made (bukan nama sebenarnya) mengalami hal ini. Pak Made berasal dari sebuah desa di Tabanan, bekerja di sebuah Hotel di Denpasar selama 15 tahun. Karirnya tidak pernah beranjak.
Pak Made ngelaju dari Tabanan ke tempat kerja di Denpasar mengendarai Vesva tua tahun 1970-an. Ia sering meminta dinas malam saja, karena pagi sampai siang hari Pak Made terikat kepada kewajiban-kewajiban adat dan agama di desa. Pak Made sering juga minta ijin tidak masuk kantor. Karena keadaan itulah karir Pak Made tidak pernah beranjak selama 15 tahun bekerja. Sejak sekitar lima tahun lalu Pak Made memilih mengundurkan diri dari pekerjaannya di Hotel di Denpasar dan tinggal di desa di Tabanan agar bisa mengikuti panggilan suara Kulkul.
Pak Made adalah orang yang rajin belajar agama. Ia tahu betul bekerja di Hotel dengan baik berarti sudah melaksanakan kewajiban mencari artha untuk menghidupi rumah tangga sesuai ajaran Catur Purusa Artha. Ia juga tahu betul dengan bekerja di Hotel sebagai karyawan yang baik berarti melaksanakan Karma Marga Yoga. Tetapi Pak Made tidak berdaya menghadapi tradisi pelaksanaan upacara agama di desa yang menyita banyak waktu yang menyebabkan harus sering ijin tidak masuk kerja dari tempatnya bekerja.
Penganut Hindu yang mengelola usaha sendiri di Bali juga tidak kalah gamangnya jika dihadapkan dengan pilihan seperti di atas. Kalau saat ada acara agama di desa yang sering memakan waktu berhari-hari tetap menjalankan usaha atau warung, maka akan dicibir sebagai orang yang mengejar uang, (maaf) China Bali, dan tidak peduli terhadap kegiatan acara agama yang dilaksanakan di desa. Sedangkan kalau mengikuti kegiatan acara agama di desa, dan tidak menjalankan usahanya atau menutup warungnya untuk sementara, maka akan ditinggalkan oleh pelanggan yang kecewa karena tidak terlayani.
Pak Putu (bukan nama sebenarnya) sering mengalami hal seperti ini dan Pak Putu sering memilih menutup Warung Makan yang dikelolanya beserta istri untuk sementara ketika harus mengikuti acara agama di kampungnya. Pak Putu seorang purnawirawan TNI tinggal di Singaraja berasal dari sebuah desa di Bali Selatan. Sejak pensiun dari dinas TNI, Pak Putu beserta istrinya mengelola Warung Makan masakan khas Bali dengan mengontrak lahan di pinggir jalan yang cukup ramai, tidak jauh dari rumah tinggalnya di sebuah perumahan di Singaraja. Warung Makan yang dikelola tergolong laris, karena masakannya sesuai selera pelanggan. Jam buka warungnya sekitar jam 9 pagi. Jam 13 siang hari masakannya sudah habis. Meskipun demikian, pelanggan sering kecewa karena Pak Putu sering menutup Warungnya berhari-hari, kadang-kadang sampai dua minggu, kadang-kadang sampai satu bulan.
Pak Putu menutup Warung makan untuk sementara karena pulang kampung mengikuti acara agama yang berlangsung berhari-hari. Karena keadaan itu, meskipun warungnya laris, keadaannya tetap tidak ada perkembangan yang berarti sejak lima tahun lalu. Pak Putu adalah orang yang memahami ajaran Hindu. Ia pun tahu mengelola Warung Makan dengan baik, berarti melaksanakan Karma Marga Yoga, yang tidak kurang dari melakukan bhakti.. Tetapi, sama dengan Pak Made, Pak Putu tidak sanggup menentang tradisi. Ketika suara Kulkul memanggil, Pak Putu beserta istri menutup warungnya, dan pulang ke desa mengikuti acara agama sampai berhari-hari, kadang sampai dua minggu, kadang sampai satu bulan.
Penutup
Ajaran Hindu mengandung ajaran yang mendorong semangat kerja dan rasionalitas ekonomi seperti yang terkandung dalam ajaran Catur Purusa Artha. Dorongan semangat kerja tanpa terikat kepada hasilnya, karena hasilnya sudah pasti sebagai konsekuensi dari kerja yang dilakukan, termuat dalam Catur Marga Yoga, pada bagian Karma Marga Yoga. Namun, ajaran agama dan praktek beragama adalah dua hal yang tidak selalu sejalan.
Kalau ada sebagian penganut Hindu di Bali tidak memiliki semangat kerja atau tidak profesional di dunia kerja, maka tidak pada tempatnya pemberi kerja salah paham terhadap Hindu dengan menghindari mempekerjakan penganut Hindu. Kalau toh masih ada pemberi kerja salah paham terhadap Hindu, maka sebaiknya penganut Hindu di Bali introspeksi diri. Jangan-jangan sebagai penganut Hindu belum mampu mengaktualisasikan ajaran Hindu sesuai konteks dan tuntutan perkembangan masyarakat.
Catatan: Naskah ini merupakan bentuk ringkas dari naskah akademik prosiding seminar.