PERJALANAN menuju tepi air, begitulah drama sosial-religius kolosal yang senantiasa dipertontonkan Bali saban kali menjelang hari suci Nyepi datang.
Ribuan orang berbaris berduyun-duyun menuju tepi air: ada menuju tepi samudra, ada pergi ke tepi danau, ada pula mencari tepi mata air, ataupun campuhan, pertemuan antaraliran air. Ke mana pun kaki diayunkan, yang dituju tetap saja sama: tepian sumber air.
Malasti, begitulah tradisi menamakan drama kolosal ini. Dalam bahasa-bahasa Nusantara, kata lasti ataupun lasta memang berarti ’tepi air’. Malasti, dengan begitu, dalam tradisi religius Bali Nuswantara Raya memang dimaksudkan sebagai langkah laku manusia berkesadaran hidup menuju tepi sumber-sumber air. Kenapa menuju tepi air?
Untuk malis, begitulah tradisi memberi jawaban. Lis berarti ’bersih’, ’suci’. Malis, dengan begitu, berarti berbersih, bersuci. Malis dalam arti berbersih hati, bersuci pikiran inilah, memang, syarat wajib pertama yang patut dijalani dan dijalankan oleh setiap Pejalan yang berkehendak menempuh lapis-lapis Kesadaran Kehidupan hingga bertemu Yang Mahasadar. Itu sebab lis dan malis senantiasa mengawali setiap kegiatan pemujaan ataupun latihan spiritual dalam peradaban-peradaban besar kehidupan manusia di dunia sepanjang zaman.
Buat apa perlu malis, berbersih, bersuci?
Supaya makiis, begitulah runutan jawabannya. Kata dasar kiis ini besar kemungkinan variasi pengucapan kata dasar kiris dalam bahasa-bahasa Nusantara yang berarti ’bersih cemerlang’. Dalam ungkapan bahasa Bali ini setara dengan ungkapan kedas nyalang. Kesucian hati dan kebeningan pikiran itu sejatinyalah memang kedas nyalang, terang cemerlang.
Sampai di sini menjadi jelas: malasti, malis, dan makiis ini bukan istilah yang dapat saling dipertukar-tukarkan dengan seenaknya, apalagi hendak ditafsir-tafsirkan sekenanya. Ini justru konsep utuh-holistik nan mendasar dalam tradisi kesadaran spiritual Nuswantara Raya yang masih dipertahankan dilakonkan di Bali hingga kini.
Runutan tradisi dari perjalanan malasti (menuju tepi air), untuk berbersih (malis) jiwa raga, hingga makiis kedas nyalang ini memberi tuntunan pengertian: betapa sang Mahahening itu dapat ditemukan, dirasakan, dan dipahami kehadiran-Nya dalam wadah kedas nyalang bernama hati dan pikiran yang lis, bersih, suci.
Hening itu hadir bukan karena kebetulan dan serba gratis, melainkan kesengajaan yang mesti diasah, dilatih, terus-menerus, hingga menjadi kebiasaan, menjadi kebutuhan dasar hidup.
Selamat Berbersih Menuju Tepi Air, Sahabat. Semoga Terang Cemerlang Jiwa Raga. [T]